Aurora - 34

31.2K 5K 1.2K
                                    

"Bryan mau ketemu lo."

Gue termenung.

"Lusa. Jam delapan malem di apartemen dia, Ra," lanjut Lisa.

Gue masih membisu.

"Kenapa bengong? Lo nggak pengen tersenyum bahagia gitu?" heran Lisa menatap gue.

Gue memainkan pulpen. Harusnya gue excited banget dengan hal ini. Sudah dua minggu gue nggak melihat wajah tampan dia yang ngangenin. Jujur, gue kangen. Kangen banget. Tapi....

"Lo kenapa sih?" Lisa kembali bertanya.

Gue tersenyum, lalu menggeleng.

"Gue kangen banget sama dia...."

Lisa memutar bola matanya dengan malas. "Iya. Gue tau. Lo udah bilang dua kali. Bilang sekali lagi, gue bawain payung cantik buat lo."

Senyum gue merekah. Gue kembali menghadap ke jendela. Menatap lurus ke depan di mana gue bisa melihat gedung apartemen Bryan dari sini. Ada perih yang menjalar di hati gue.

Selama dua minggu ini, siapa yang membersihkan apartemen dia? Siapa yang menyiapkan pakaian? Siapa yang menyiapkan makanan? Apa dia makan dengan baik selama gue nggak ada? Apa dia melirik gadis lain?

Pertanyaan besar yang paling mengganggu gue adalah, apa dia sama sekali nggak pernah merindukan gue?

Bryan bener-bener nggak pernah menghubungi gue. Dia seolah menghilang begitu aja selama dua minggu. Di acara televisi pun, dia terlihat bahagia dan selalu tersenyum. Gue seneng kok lihat senyum dia. Tapi di posisi yang merindukan dia kayak gue sekarang, hati gue malah merasa tercubit. Kayaknya dia baik-baik saja tanpa gue.

Gue menghela napas dan kembali menekuni tugas kuliah.

***

Skandal gue berakhir sejak beberapa hari yang lalu. Gue udah dikonfirmasi putus. Itu menandakan datangnya kemerdekaan bagi hidup gue. Gue udah nggak butuh masker dan topi lagi. Gue udah bisa melangkah bebas ke mana pun yang gue mau meskipun masih ada tatapan aneh dari beberapa orang. Gue malu, tapi gue harus mengabaikan pandangan miring orang.

Sepanjang perjalanan, gue terpekur di dalam taksi. Dada gue berdebar. Gue nggak tau harus bersikap bagaimana untuk menghadapi momen pertemuan ini. Telapak tangan gue rasanya dingin. Gue grogi. Gue gugup karena ada banyak hal yang pengen banget gue sampaikan ke dia.

Sebelum melangkah masuk ke gedung apartemen, gue berkali-kali menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Pelan tapi pasti, kaki gue mulai menjejaki bangunan modern itu.

"Aurora."

Gue terkejut setengah mati melihat Bryan yang telah menanti gue di lobi. Meskipun dia mengenakan masker, tapi gue masih paham seluk beluk wajah dan postur dia. Mata dia menyipit yang mengindikasikan kalau dia sedang tersenyum.

"Ikut aku," ucap Bryan langsung menarik tangan gue untuk memasuki lift.

Setelah menekan tombol, Bryan melepas maskernya dan menatap gue.

Gue hanya bisa mematung.

And again ... I lost my words.

"Tidak ingin mengatakan sesuatu?" tanya Bryan tersenyum manis.

Gue menarik napas panjang. "Banyak."

Mata Bryan melebar. "Oh? Apa saja?"

Pintu lift terbuka. Bryan masih memegang tangan gue dengan kuat. Gue mengikuti langkahnya sampai ke dalam apartemen. Begitu pintu tertutup, Bryan langsung memeluk gue erat. Erat banget.

Fangirl TaleWhere stories live. Discover now