Aurora - 6

68.4K 9.4K 1.2K
                                    

Setelah diwarnai oleh adegan tersedak sosis, akhirnya gala dinner gue dan Bryan dengan menu nasi goreng pun selesai. Gue membereskan piring dan gelas, lalu mencuci benda itu sambil melamun. Sangat sulit bagi gue untuk menerima kenyataan kalau Bryan membelikan kado untuk gue. Ini serius Bryan mau kasih kado??? Tadi gue sempat bertanya sih ke dia. Katanya biar anti mainstream karena kado gaun itu sudah terlalu biasa. Rasanya gue mau makan orang mendengar jawaban dia.

Gue membilas piring sambil mencuri pandang ke arah Bryan. Majikan gue itu sedang tiduran di sofa sambil memainkan ponselnya. Di saat bersamaan, bel apartemen berbunyi. Gue pun segera meninggalkan pekerjaan gue untuk membuka pintu.

"Biar aku saja," kata Bryan menahan gue.

Gue mengangguk. Akhirnya gue kembali lagi ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan gue yang sempat tertunda. Karena piring kotornya nggak banyak, gue bisa selesai lebih cepet. Gue mau buru-buru pulang. Capek.

Ada sebuah kotak kado di meja saat gue mendekati Bryan. Gue tebak, itu adalah kado buat gue. Gue hanya menghela napas dan nggak mau berpikir terlalu jauh.

"Bryan, aku boleh pulang sekarang?" tanya gue memastikan.

"Tunggu dulu," tahan Bryan mengambil kado di depan dia. Dia menyodorkan kado itu dengan senyuman yang bikin gue bisa kena penyakit AIDS (Aku Ingin Dihalalin Sekarang). Ya ampun, gue receh banget. Hhhhh....

"Selamat ulang tahun. Maaf terlambat. Ini kado untukmu," ucap dia yang bikin hati gue penuh bunga-bunga bermekaran.

"Terima kasih."

Gue menerima kado dari Bryan dengan wajah memerah (lagi). Gue suka dapat kado. Tapi begitu ingat apa isi kado itu, rasanya gue mau melemparkan diri ke pelukan Sean dan menyembunyikan wajah gue di dadanya yang sebidang landasan helikopter.

"Ayo dibuka. Tidak usah malu," perintah Bryan yang membuat gue keki.

Gue membuka kado itu dengan debaran jantung yang nggak karuan. Rasanya tulang belulang gue mau rontok, apalagi setelah melihat apa isi kado itu. Di dalam kotak itu, teronggok bikini dan pakaian dalam berwarna hitam.

"Bagaimana? Bagaimana? Kau suka?!" Bryan nanya ke gue dengan riang banget, meanwhile gue masih tercengang dalam perasaan malu.

"Kau tidak suka, ya???" Sekarang Bryan terdengar kecewa melihat gue yang belum bereaksi. "Kalau kau tidak suka, aku akan menukar---"

"Tidak! Sudah! Cukup! Terima kasih," potong gue sambil menahan malu.

Ya Tuhan, dosa apa hamba-Mu ini bisa punya majikan model begitu???

🍃🍃🍃

Gue selalu jatuh cinta dengan perpustakaan. Tempat itu adalah surga bagi penyuka buku berkantong tipis seperti gue. Gue bisa membaca buku sepuasnya tanpa harus membeli. Dan yang pasti, gue nggak akan pernah merasa bosan karena perpustakaan kampus menyediakan buku yang nggak akan habis gue baca. Merugilah mereka—para mahasiswa—yang nggak pernah ke perpustakaan. Padahal tempat itu bagus untuk meningkatkan kualitas diri dan otak.

Lisa menghampiri gue dengan dua buku tebal di tangan kirinya.

"Ra, tugas dari Profesor Lee udah lo kerjain?" tanya dia.

Alis gue beradu. "Yang mana, Sa? Emang ada?"

"Bikin essay. Lupa lo?"

"Astaga!" Gue menepuk jidat. "Kapan deadline-nya?!"

"Besok. Buruan nyari buku gih!"

Tanpa banyak bicara lagi, gue segera mencari buku sebagai referensi essay. Setelah mendapatkan buku, gue segera mengajak Lisa pulang ke apartemen abal-abal kami. Baru akan melangkah ke halte, ponsel gue berdering. Gue sih hapal banget siapa yang menelpon. Siapa lagi kalau bukan majikan gue?

Fangirl TaleWhere stories live. Discover now