Aurora - 31

34.2K 7.7K 1.4K
                                    

Untuk ke sekian kalinya, ponsel gue bersuara. Ada balasan dari Bryan yang mengatakan kalau dia ingin bertemu gue di apartemen Loey saja. Rupanya larangan untuk ke apartemen dia masih berlaku untuk gue.

"Aku antar," ucap Sean mengejutkan gue.

"Tidak perlu! Aku pakai taksi saja!" tolak gue.

"Jangan menolak. Aku sakit hati kalau kau menolak bantuanku."

Skak mat! Gue kicep.

Gue terdiam sebelum akhirnya mengangguk.

Akhirnya gue mengangguk. Mungkin ini langkah awal Sean untuk memperbaiki semuanya. Gue sedih melihat dia. Tapi di sisi lain, gue bangga dengan sikap gentleman dia. Nggak salah penggemarnya memilih Sean sebagai idola. Terlepas dia sempat khilaf, tapi dia sadar dan mau memperbaiki semuanya.

Hei, manusia itu tempatnya khilaf dan dosa, kan? Semua orang pernah melakukan kesalahan. Itu manusiawi. Yang terpenting adalah bagaimana kita berkaca dari kesalahan itu dan menjadikannya sebagai pembelajaran.

Cielah, gue sok dewasa banget. Tapi gue bener, kan?

***

Gue berdiri di dalam lift apartemen Loey dengan hati berdebar. Gue berusaha mengantisipasi diri gue dari pertemuan ini. Sembilan hari itu waktu yang sangat lama buat gue. dan sekarang, gue deg-degan sendiri karena sebentar lagi kerinduan gue bakal terbayar.

Sean mengantar gue hingga ke depan pintu. Dia pun memencet bel. Sementara gue berkali-kali menarik napas panjang. Pintu terbuka. Gue dan Sean disambut oleh seraut wajah ramah milik Loey. Dia nggak terlihat terkejut dengan kedatangan Sean yang mengantar gue.

"Au-ya, selamat datang," ucap Loey.

Gue tersenyum. Saat Bryan muncul dari belakang, senyum gue semakin lebar. Bryan membalas senyuman gue dengan sangat manis. Huhuhu, gue jadi mau gigit dia saking manisnya!

"Uhm, Noona," panggil Sean yang membuat gue mengurungkan niat untuk masuk.

"Ya?"

"Aku sampai di sini saja. Aku pulang dulu," ucap Sean.

"Kenapa tidak bergabung?" heran Loey.

"Aku sedang tidak enak badan. Aku mau tidur saja," sahut Sean yang membuat gue tersenyum pahit.

Badan atau hati lo, Sean? Gue membatin dengan sedih. Gue sakit melihat dia yang seperti itu. Gue nggak munafik kalau gue memang mulai menyimpan sedikit rasa buat dia. Tapi gue sadar diri dan berusaha menyingkir sebelum perasaan gue melenceng terlalu jauh.

Plek!

Sean menempatkan telapak tangannya yang besar di puncak kepala gue. "Noona, aku tinggal dulu, ya."

"Hati-hati. Maaf, ya...."

"Tidak apa-apa," sahut Sean tersenyum. Dia memaksa gue berbalik dan menatap Bryan. "Masuklah."

Di saat yang sama, gue melihat ekspresi Bryan yang seketika suram. Pahit banget rasanya, sampai-sampai gue mengabaikan kepergian Sean yang pasti membawa luka dalam hatinya.

"Au-ya, ayo masuk," ucap Loey menyeret gue yang bengong.

Dia memaksa gue melangkah ke hadapan Bryan. Lalu dengan lagak sok kenal sok dekat, dia merangkul bahu gue dan Bryan.

"Kenapa kalian malah diam? Apa karena ada aku di sini?" heran Loey memandangi gue dan Bryan bergantian. Karena nggak ada yang menyahut, akhirnya dia mengoceh lagi.

"Hhh.... Ya sudah. Kalian duduk saja dulu. Aku buatkan minuman untuk Au-ya," kata Loey melepaskan rangkulannya dari gue dan Bryan.

Si tiang berjalan itu meninggalkan kami. Sepeninggal Loey, gue menghambur untuk memeluk Bryan.

Gini ya rasanya ketika rindu menumpuk?

Gini ya rasanya terpisah sembilan hari dari dia?

Gue yang biasanya ketemu dia, mendadak harus terpisah. Cuma sembilan hari, tapi rasanya bukan main karena kerinduan itu semakin menumpuk saat melihat wajah dia di televisi. Rasanya menyiksa.

Bryan membalas pelukan gue. Tapi nggak seperti biasanya.

"Sean menyukaimu, Aurora," bisik Bryan.

Gue nggak menjawab. Gue tau dan gue nggak mau membahas itu.

"Kau juga mulai menyukainya," lanjut Bryan yang membuat hati gue perih.

"Tidak...." Gue menjawab pelan.

"Terlalu jelas. Kau menyukainya."

Gue melepaskan pelukan gue dan menatap wajahnya lekat-lekat. "Tidak. Aku dan Sean telah mengakhiri drama itu. Kami sudah berjanji untuk tidak akan pernah bertemu lagi."

Bryan mengernyitkan dahi. "Ini belum satu bulan, Aurora."

"Aku tidak bisa bersandiwara lebih lama lagi. Hanya bersandiwara, tapi hatiku tidak tenang. Aku merasa bersalah padamu...."

Bryan tersenyum aneh. "Merasa bersalah? Oh ya, kenapa kau bisa datang bersama Sean? Berarti kau pergi dengannya kan sebelum ini? Kenapa tidak izin padaku?"

Gue menghela napas. Gue tau, kali ini gue harus berbohong demi kebaikan. Gue nggak mungkin cerita kalau Sean nyamperin gue di apartemen. Bisa-bisa ada perang antara mereka.

"Iya. Aku memang bersama Sean sebelum datang ke sini. Tapi untuk mengakhiri drama itu," ucap gue pelan. "Maaf karena tidak memberitahumu."

"Tidak apa. Terima kasih," kata Bryan mengejutkan gue.

Gue mengerjap. "Untuk?"

"Karena kau mau menjaga hatimu. Kau melakukan ini karena sadar kalau Sean mulai menyukaimu, kan?"

Gue membisu.

Gue nggak berani membantah atau mengiyakan. Kalau gue mengiyakan, Bryan akan semakin berprasangka buruk ke Sean. Kalau gue bantah, gue terlalu capek menemukan alasan lain. Segini aja gue udah capek. Ekspektasi gue tuh Bryan bakal menyambut gue dengan romantis. Tapi ternyata malah kayak gini.

Lelah adek, Mas....

Bryan menyentuh pipi gue dengan jari halusnya. Tanpa izin, dia menempelkan bibirnya di bibir gue. Hati gue menghangat saat kelembutan itu menjalar ke seluruh tubuh gue dan membuat gue damai.

"AAAAA!!!"

Teriakan Loey di dapur menghancurkan momen romantis gue sama Bryan.

"AU-YAAAA!!!" teriak Loey memanggil nama gue.

Dengan segera gue melesat ke dapur bersama Bryan.

"Ada apa, Loey?!" panik gue.

"Kecoa!" jerit Loey menunjuk ke sudut dapur. Sementara Bryan yang melihat kecoa itu sontak berlari menjauh dari dapur dengan wajah ketakutan.

Brengsek!!!

Loey menghancurkan momen romantis gue hanya karena kecoa?!

Boleh gue getok nggak nih orang?!

—Bersambung

Fangirl TaleWhere stories live. Discover now