Kerinduan

10 3 5
                                    

Satu minggu setelah mereka kembali dari  kota, kabar mengejutkan datang. Kakek Dubois jatuh sakit. Terjadi kecelakaan di tempat kerjanya. Maka Mitchie dan Hank kembali ke kota dan menginap selama beberapa hari untuk menjenguk kakek mereka. Hanya meninggalkan Frey dan Judy di sana.

Malam itu adalah malam Sabtu. Besoknya, sekolah libur. Biasanya mereka berempat akan berkumpul di kamar Hank. Tapi karena hari ini mereka berdua tidak ada, maka Judy pun tak tahu harus melakukan apa.

Dia mencoba mengerjakan tugas sekolah yang mungkin belum ia tuntaskan. Namun sebegitu rajinnya seorang Judy Hoffmann, sehingga ketika ia mengecek kembali tugas-tugasnya, ternyata semuanya sudah rampung. Lantas apa yang akan dilakukannya sekarang?

Bersama dengan Frey? Hanya berdua saja? Apa dia yakin?

Terbersit di pikirannya untuk mengajak Luke, tetangga lain yang tiga tahun lebih muda daripada Frey dan masih duduk di bangku sekolah menengah. Tapi Luke bukanlah seseorang yang bisa diajaknya mengobrol. Satu-satunya pilihan lain adalah adik perempuan Luke yang masih bayi.

Kalau begini, dia lebih baik mengajak Frey.

Judy mengambil ponsel kecilnya yang ketinggalan zaman—yang hanya bisa digunakan untuk SMS atau sekadar menerima telepon. Ia pun mengirim pesan singkat pada Frey.

Kau mau mengobrol?

Frey: Di mana?

Sejenak, Judy berpikir. Ke mana ia harus mengajaknya?

Kamarku. Kau suka berbaring di sini sambil menatap langit dari jendela, kan?

Frey: Baiklah. Tunggu sebentar.

Berdua di kamar, hanya dengan Frey, bisa mendatangkan banyak arti bagi siapa pun. Tapi Judy tak perlu khawatir, sudah ratusan kali dia berbaring di lantai dekat jendela berdua dengannya, dan tak pernah terjadi apa-apa.

Yah, kecuali perasaan yang timbul itu.

Judy mengambil karpet tebal dan selimut di tempat tidur, lalu menggelarnya di lantai yang berada di sebelah dinding jendela. Kemudian, menyiapkan dua bantal untuk tempat sandaran kepala.

Ponsel kembali berbunyi.

Frey: Boleh aku memanjat sekarang?

Judy tertawa.

Silakan.

Ia bisa mendengar suara derit kayu yang bergesekan dengan dinding. Tak lama setelah itu, ujung dari sebuah tangga kayu hinggap di jendela yang terbuka. Judy tersenyum, menunggu Frey menaiki tangga untuk mencapai kamarnya.

Begitu sampai di ujung tangga, gadis itu melompat masuk ke kamar Judy dan nyengir lebar. "Surprise!" Ia menepuk bahu Judy dan tanpa disuruh, langsung berbaring di tempat yang tadi telah disiapkan Judy.

Pemuda itu juga ikut berbaring di sebelahnya dan memandang ke arah yang sama dengan Frey—ke arah langit malam yang belum terpapar polusi cahaya, sehingga mereka bisa melihat taburan bintang dengan jelas.

"Sepi, ya," suara berat dan dalam Judy lah yang pertama kali memecah keheningan.

"Benarkah? Kupikir tadi kita sedang mendengarkan bintang-bintang itu bercerita," Frey bergurau sambil terkekeh. Judy hanya geleng-geleng kepala.

Terjadi hening lagi. Meskipun tak ada satu pun dari mereka yang bicara, Judy tak keberatan. Mereka seperti punya komunikasi tersendiri dalam keadaan seperti ini.

Frey menghela napas dengan sedih, dan kembali menerawang menatap langit. "Berita tentang Kakek Dubois hari ini membuatku teringat sesuatu, Jude."

"Apa itu?"

"Nenekku," ia berkata lirih. "Aku...aku hanya takut suatu ketika kejadian yang menimpa Kakek Dubois juga akan menimpa Nenekku. Aku hanya belum siap untuk itu."

"Nenekmu akan baik-baik saja. Aku yakin," Judy menenangkan dengan tatapan teduhnya.

Frey memperbaiki posisi bantalnya. "Tak ada satu pun dari kita yang tahu, kan?"

Mereka terdiam lagi. Kali ini, Judy mulai merasa suasana tak enak. Kesedihan yang dialami Frey seperti membungkus emosinya juga.

"Aku hanya punya Nenek," Frey berkata dengan suara serak. "Aku tak punya siapa pun."

"Frey..."

"Aku...aku rindu dengan Ayah dan Ibuku. Aku tidak salah, kan?" gadis itu menyeka airmata yang jatuh di mata kanannya. "Aku sudah menahannya selama ini, untuk Nenek. Menurutmu, bolehkah aku merindukan mereka di saat aku ingin?"

Judy menahan napasnya. Ia menatap Frey yang berbaring di sebelahnya lama. Baru setelahnya, ia berkata pelan, nyaris berbisik. "Boleh. Atau setidaknya, aku membolehkanmu."

"Bagaimana dengan kau dan orangtuamu, Jude? Pasti menyenangkan bertemu mereka tiap hari, kan?" Frey bertanya lagi, suaranya semakin lirih, tapi dia tidak terisak. "Aku...aku tak punya siapa pun, Jude. Tak ada orangtua. Aku hanya punya Nenek yang semakin tua dan ringkuh. Aku hanya akan tinggal sendirian."

"Frey, kau jadi kedengaran agak drama," Judy menghela napas. "Berhentilah. Aku tak mengajakmu ke sini untuk ini."

"Oke, oke..." Frey tertawa, menyeka wajahnya yang sudah basah oleh airmata dengan punggung tangan. "Maaf. Situasi membuatku seperti ini. Aku tak tahu...tapi bintang seolah seperti mengatakan sesuatu tentang orangtuaku. Terlebih lagi, kekhawatiranku karena berita Kakek Dubois. Kurasa hanya itu. Ya...kurasa. Maafkan aku, Jude."

"Tak perlu," Judy menggelengkan kepala. "Jangan bilang begitu. Kau masih punya aku. Hank. Mitchie. Dan semua yang ada di sini. Kami bersamamu, Frey."

Judy mengulurkan tangannya untuk menepuk tangan Frey, berusaha menguatkan gadis itu. Namun, ia tak menyingkirkan tangannya setelah itu. Perlahan, dengan segenap keberanian, Judy mengisi celah-celah di jari Frey dengan jari-jari tangannya.

Gadis itu tak menolaknya. Dia hanya diam sepanjang sisa malam itu. Namun, ia juga membalas genggaman Judy.

Setelah itu, mereka berdua tenggelam dalam kerinduan masing-masing.

**

Aku nggak tahu bikin deskripsi cerita biar sedih tuh kayak gimana heuheu

Jude & FreyWhere stories live. Discover now