I Did It!

10 2 0
                                    

Hari itu sudah berminggu-minggu sejak hari ulangtahun Frey.

Tahun ajaran baru seperti tinggal menunggu detik, dan tak lama lagi Judy akan berpisah dengan teman-teman sekolahnya. Beberapa murid sudah dikirimi surat dari universitas yang mereka tuju. Hank pun sudah mendapatkannya—ia diterima di jurusan Arsitektur di salah satu universitas bergengsi di ibukota mereka. Judy merasa bangga pada temannya, namun di saat yang sama, ia juga cemas dengan dirinya sendiri.

Ia belum mendapatkan suratnya. Ia sendiri tak mau banyak berharap. Kalau misalkan surat yang ditunggunya itu tak kunjung sampai, maka Judy meyakinkan diri bahwa masih ada banyak jalan yang tersedia di depannya.

Judy pulang dari sekolah dan baru saja menjejakkan kakinya di ruang tamu, ketika pandangan matanya menangkap sesuatu yang sudah ditunggunya sejak lama.

Sebuah...amplop cokelat.

Amplop itu bertengger manis di meja ruang tamu yang terletak di antara kedua sofa yang berhadapan. Judy duduk dan dengan gemetar meraihnya, lalu takut-takut membaca kepada siapa surat di amplop itu ditujukan.

Judy Hoffmann.

Lalu, pandangannya bergerak ke alamat pengirim.

Ia menelan ludah. Tidak mungkin. Tidak mungkin Hohenheim menerimaku.

Judy memejamkan mata untuk meredakan diri sejenak, sebelum memberanikan diri membuka amplop itu dan mengeluarkan surat yang tertera. Ia membaca surat itu dengan semangat, nyaris tak berkedip. Hingga ia sampai di kalimat terakhir surat, Judy belum sanggup mengatakan apa-apa.

Universitas Hohenheim, universitas dengan penjurusan agrikultural paling terbaik di negerinya, menyatakan dengan jelas, bahwa mereka menerima Judy untuk masuk ke dalam kampusnya. Melihat catatan nilai Judy yang bagus dan sedikit cela, mereka bersedia memberikan beasiswa penuh asalkan Judy mau memenuhi beberapa syarat setelah menjadi mahasiswa di sana.

Judy terlampau senang hingga rasanya dia mau menangis.

Urutan pertama universitas yang dia tuju dengan senang hati menerima dirinya.

Ia berlari ke kamar Ibunya, dan wanita itu sedang duduk di tepi tempat tidur, sedang merenungkan sesuatu, entah apa. Ketika Judy membuka pintu, wanita itu mendongak dan tersenyum padanya. Pandangannya jatuh pada amplop yang dipegang erat Judy.

Judy berbisik lirih, "Ibu..."

Ibunya tersenyum, menahan haru. Judy segea menghambur ke dalam pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.

"Ibu bangga sekali padamu, Jude," bisik sang Ibu sambil mengusap punggungnya. "Ibu sudah membacanya. Dan jangan kau tanya betapa bahagianya Ibu sekarang."

Judy melepaskan diri dari rengkuhan Ibunya dan mengusap wajahnya dengan punggung tangan. "Tapi Ibu tak mengizinkan aku masuk ke agrikultur. Aku bisa menolak beasiswa ini kalau Ayah dan Ibu ingin."

"Apa kau sedang bercanda?" Ibunya tertawa, menangkup pipi Judy dengan tangannya. "Mungkin awalnya aku tak setuju. Tapi surat ini adalah pembuktian dirimu. Surat ini seperti memberitahuku, kalau kau pantas mengambil langkah yang kau inginkan. Dan aku tak bisa lebih bangga lagi daripada ini, Sayang. Kami semua bangga sekali padamu."

Judy tersenyum dan kembali memeluk Ibunya erat.

Kebahagiaannya lengkap sudah.

**

Malam harinya, setelah kabar bahwa Judy diterima di Hohenheim, mereka berempat berpesta di kamar Hank. Makanan dan camilan disajikan di lantai. Judy menyorakkan kebahagiaannya kepada ketiga temannya, begitu pula Hank juga rasa bangganya sebesar Judy.

"Hei, Jude, kurasa kampus kita tidak begitu jauh, kan?" tanya Hank sambil menggigit sandwich di tangannya. "Kita bisa berkunjung satu sama lain. Saat akhir pekan, mungkin."

Judy tersenyum lebar dan mengangguk kencang. "Boleh, kalau itu maumu."

Mereka berpesta dan bersorak hingga tengah malam. Judy dan Frey pun pamit dari rumah Hank dan mereka berjalan bersisian, melangkah pelan-pelan selagi menuju ke rumah masing-masing.

Judy tak mampu menahan untuk tidak mengulum senyum. "Hei, Frey."

"Ya?" gadis itu menoleh.

"Terimakasih banyak," katanya dengan ketulusan sepenuh hati. "Kurasa semua ini—aku bisa diterima di Hohenheim, dan semua beasiswa itu—tak lepas dari dukunganmu juga. Aku tak tahu apa jadinya bila tak ada kau. Terimakasih, Freya."

"Lupakan saja. Aku tidak membantu apa-apa," Frey mengibaskan tangannya, seolah itu bukan masalah besar. "Yang penting, kau harus berusaha keras di sana. Semua ini baru permulaan. Aku akan mendukungmu apa pun yang terjadi."

Judy mengangguk, masih menatap Frey penuh senyum. "Kau juga. Belajarlah yang serius, agar bisa masuk ke universitas yang kau mau."

"Aku tahu," Frey tersenyum. "Selamat, Judy. Kau benar-benar berhasil. Ingat apa kataku-kataku, kan? Kau pasti bisa melakukannya. Dan sekarang, kau telah membuktikan, bahwa kau bisa."

Mereka kini berhenti di depan rumah keluarga Lencheister yang memang lebih dekat dengan rumah Hank daripada dengan rumah Judy. Gadis itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Judy.

"Aku harus masuk. Sekali lagi, selamat, Jude," katanya, dengan cengiran lebar yang terlihat begitu tulus dan tanpa paksaan.

"Terima kasih, Frey," ujar Judy pelan. Ia merentangkan tangan dan menarik Frey ke dalam dekapannya sejenak, lalu melepaskannya secepat mungkin. Pelukan untuk rasa terimakasih yang teramat sangat karena gadis itu sudah mendengarkan segala keluh kesahnya selama ini.

"Masuklah," ujarnya, menepuk puncak kepala Frey. "Aku juga akan pulang."

Judy melambaikan tangan dan berjalan menjauhi rumah Frey, dan berjalan menuju rumahnya.

Namun Frey tak segera masuk ke dalam. Ia hanya menatap punggung Judy yang semakin menjauh. Dan sejurus kemudian, senyum lebar menghiasi wajahnya.

Jude & FreyWhere stories live. Discover now