(Mungkin) Lain Kali - FINAL

16 2 1
                                    

Pagi yang berkabut dan dingin sudah berubah lebih cerah dan hangat. Judy meletakkan kardus terakhir berisi barang-barang ke bagasi mobil. Ia menutup bagasi dan pintu di bagian belakang mobil itu tertutup dengan bunyi kencang.

Judy menghela napas. Segala barang-barangnya sudah siap. Ia akan berangkat.

Matanya memandang rumah keluarga Lencheister. Tak ada tanda-tanda ada Nenek, ataupun Frey di situ. Harapannya seketika pupus.

Baiklah, mungkin tak akan ada jawaban. Sia-sia saja selama ini.

Judy kembali ke rumah, dan tersenyum menatap sang Ibu yang berdiri di teras rumah. Mata sang Ibu berkaca-kaca. Judy segera menarik wanita itu ke dalam pelukan dan mengusap punggungnya.

"Tak apa-apa, Ibu," bisiknya menenangkan. "Aku akan hidup dengan baik di sana."

"Ibu tahu. Ibu percaya padamu," kata wanita itu dan membelai rambut Judy. Mereka berpelukan untuk waktu yang lama.

Ketika memisahkan diri, Judy dapat melihat wajah sembap sang Ibu yang berlinang air mata. Diusapnya air mata yang mengalir itu dengan kedua ibu jarinya, senyum masih terpoles di wajahnya. "Jangan menangis. Aku jadi tak mau pergi kalau begini, Ibu."

Ibunya tertawa. Ia menepuk pundak Judy dan berkata, "Kau tunggu di sini dulu. Aku akan ambil makanan di dapur. Untuk makananmu di perjalanan. Kau tahu, kan, Stuttgart itu cukup jauh. Kau pasti akan merasa lapar."

Judy mengangguk sambil tersenyum manis. Ibunya berjalan perlahan ke dalam rumah. Dan, kepala Judy kembali mengarah ke rumah keluarga Lencheister. Masih tak ada siapa pun di luar. Itu adalah hal yang cukup aneh, mengingat Nenek pasti selalu rutin menyiram tanamannya pada jam seperti ini.

Apa Nenek sudah mengetahui pesan itu, dan melarang cucunya untuk keluar menemui Judy?

Pemuda itu menghela napas frustrasi. Setidaknya, dia butuh jawaban. Dia tak ingin gadis itu menghindar. Tak apa bila Frey memberi jawaban yang berupa tolakan, tapi setidaknya, itu sebuah kepastian bagi Judy. Tak perlu ia menunggunya dengan harapan kosong begini.

Ibunya kembali dan membawa sebuah kotak. Diserahkannya kotak itu pada Judy. "Ini. Sosis panggang kesukaanmu. Aku membuatnya tadi pagi, sebelum kau bangun. Kuharap ini cukup untuk bekal makanmu."

"Sudah lebih dari cukup," Judy tersenyum. Ia memeluk Ibunya lagi, kali ini lebih erat. Mati-matian ia menahan air mata. Setelah mereka melepaskan diri, sang Ibu mengusap rambutnya lagi dan berjinjit untuk mengecup keningnya, lalu pipinya.

"Berangkatlah, Nak. Berangkatlah untuk belajar. Ibu akan menunggu hasil terbaikmu di sini," kata Ibunya. Ia terisak lagi dan memeluk Judy singkat, dan mengusap punggungnya. "Ibu sayang padamu, Judy."

Wanita itu melepas pelukan dan segera kembali ke dalam rumah begitu selesai mengucapkan kalimat itu. Judy tahu, Ibunya hanya tak sanggup melihatnya naik ke dalam mobil dan menatap mobil itu pergi, membawa putranya menjauh dari desa. Jadi, pemuda itu hanya menghela napas dan melambaikan tangan—ia yakin Ibunya masih melihat—lalu berbalik badan dan bersiap naik ke mobil.

"Judy, putraku yang hebat!" sapa sang Ayah dengan ceria dari kursi pengemudi. "Sudah siap?"

"Ya...hanya saja..." ia melirik ke rumah keluarga Lencheister.

Ayahnya melirik ke arah yang sama dengannya, dan seketika paham. "Kau mau mengucapkan salam perpisahan?"

Judy mengalihkan pandangan dari rumah itu, dan menatap Ayahnya. Seketika, ia tertawa hambar. "Apa? Oh, tidak! Jelas tak perlu. Kami sudah membuat pesta perpisahan sebelum Hank berangkat waktu lalu, Ayah."

Ia baru saja hendak naik ke dalam mobil ketika pintu rumah keluarga Lencheister menjeblak terbuka. Lalu sesosok gadis mungil menuruni undakan di depan pintu. Mata Judy melebar. Freya!

Jude & FreyWhere stories live. Discover now