Chapter 9

11.5K 1.6K 422
                                    

[Ini hanya permulaan, sayang. Mimpi burukmu yang sebenarnya masih menggantung dalam udara, perlahan mendekatimu.]

◾◽◾

Yoojung terduduk lemas di sudut kamar mandi dengan bathrobe yang kini telah menutupi tubuhnya. Suasana hening membuatnya semakin takut dan semakin membuat telinganya peka terhadap bunyi sekecil apapun. Bahkan suara detik jarum jam kini membuatnya takut.

Ia tak tahu apakah penguntit tersebut masih berada dalam apartemennya atau sudah keluar. Namun nalurinya mengatakan bahwa penguntit itu masih berada di dalam apartemennya. Yoojung tak pernah menyangka akan menghadapi situasi se-menyeramkan ini.

Ia pikir mungkin semua teror hanya akan sebatas mengiriminya foto polaroid itu. Namun kemudian hari teror semakin mengerikan seperti blitz kamera dari kamar apartemen 127 yang menyorot lurus dalam kamarnya. Lantas menjadi lebih mengerikan setelah ia mendapat penyerangan di dalam kamar apartemen 127 kala itu yang membuatnya pingsan.

Dan kini, ia menemukan sebuah tatto telah tergambar di punggungnya. Kemudian yang lebih gilanya lagi selepas menemukan tatto itu kini ia berada dalam satu apartemen bersama penguntit yang entah sejak kapan sudah berada disini. Yoojung merasa ingin menangis ketakutan.

Ia butuh bantuan sekarang. Namun handphonenya ada di kamarnya. Bagaimana caranya ia keluar jika saja seandainya penguntit itu masih ada disini.

Yoojung mengumpulkan seluruh keberaniannya dan mengambil sikat kloset yang dapat ia gunakan untuk melindungi diri. Meski ia tak yakin bisa menjadi cukup kuat untuk melawannya. Yoojung menelan salivanya berat sebelum memutar kenop pintu kamar mandi.

Skenario terburuk yang dapat terjadi saat ia melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi adalah bahwa penguntit itu telah menunggunya di luar dan menyerangnya atau bahkan setelah itu memperkosanya. Lebih buruknya lagi ia dapat terbunuh.

Dalam situasi ini Yoojung tak dapat berpikiran positif. Semua bayang-bayang mengerikan berputar dalam benaknya.

Bagaimana jika begini...

Bagaimana jika begitu...

Bukankah semua orang akan berpikiran seperti dirinya jika dihadapkan situasi seperti ini?

Langkah terbaik yang akan Yoojung ambil saat ini adalah pergi keluar dari apartemennya. Tak peduli ia masih telanjang dengan memakai bathrobe. Yang terpenting adalah mencari bantuan.

Yoojung akhirnya melangkahkan kakinya pelan selangkah keluar dari kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya. Ia berhenti sejenak mengamati sekitar kamarnya. Hening. Irisnya dapat melihat handphonenya masih tergeletak di atas ranjang. Yoojung dengan cepat menyambar handphonenya dan menggenggamnya erat.

Lantas kira-kira siapa yang dapat ia hubungi saat ini?

Ayahnya?

Tidak. Tidak. Yoojung menggelengkan kepalanya cepat. Bahkan ia tak dekat sama sekali dengan ayah. Semenjak kematian mama, Yoojung sama sekali tak lagi berhubungan dengan ayah. Ayahnya kini pun mungkin telah sibuk karena ia tahu ayahnya adalah seorang CEO perusahan besar yang sering sekali pergi keluar negri untuk beberapa urusan.

Bagaimana jika Mark? Yoojung tak ingin Mark mengetahui masalahnya. Sungguh sejujurnya pun ia tak ingin berteman dengan pemuda tersebut kendati ia sangat baik terhadapnya. Jika ia menelpon Mark, ia takut itu akan membuat Mark berpikir bahwa mereka telah menjadi teman yang cukup dekat.

Yoojung mengigit bibirnya. Ia menatap nomor-nomor kontak yang ia simpan dalam handphonenya. Ia tak memiliki banyak teman. Hanya ada nomor ayah, saudara-saudaranya yang berada di Busan seperti Paman Jae, dan satu-satunya teman yang ia miliki, Mark.

APARTMENT 127 [SUDAH TERBIT - PREORDER DIBUKA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang