Chapter 19

9.4K 1.4K 280
                                    

[Bahkan kau tak boleh mempercayai orang yang paling dekat denganmu sekalipun.]

◾◽◾

          Yoojung makin hari semakin merasa risau akan ayahnya. Ia tak dapat melakukan apapun. Tak berani menelpon pamannya yang seorang detektif, pun menelpon polisi. Ia tahu ancaman itu bukan hanya gertakan sambal.

Duduk risau dengan menggigit kukunya membuat perhatian Mark terus tertuju padanya. Mark memiringkan kepalanya dan mengangkat bokongnya bergerak mendekati Yoojung. Seluruh atensi kelas terutama kaum hawa tertuju pada Mark.

"Hey!" tegur Mark pada gadis yang sedari tadi menatap kosong keluar jendela. Yoojung tersentak dan menoleh menatap Mark. "Apa yang kau pikirkan? Sesuatu terjadi?"

Yoojung menghela nafas kecil, menggeleng pelan dan tetap terdiam. Karena bangku di sebelah Yoojung sedang kosong lantaran pemiliknya yang sedang keluar kelas, Mark menjatuhkan pantatnya disana. Menumpu dagu sembari menatap Yoojung. "Pasti sesuatu terjadi. Iya, kan? Wajahmu tak bisa menyembunyikannya. Ceritakan saja padaku apa masalahmu!"

Yoojung kembali menoleh, kini dengan ekspresi memelas. Ia tak tahu namun perkataan Mark membuatnya terdorong untuk mengatakan semua yang sedang ia alami. Masalah pelik yang tak dapat ia ceritakan pada siapapun. Yoojung berperang dalam benaknya.

Sebagian hati menyuruhnya mengatakan seluruhnya pada Mark dan berharap pemuda itu dapat membantunya. Sebagian hatinya yang lain menolak dan menahannya untuk terus menyimpannya sendiri. Namun entah bagaimana otaknya menyuruh bibirnya mengatakan sesuatu yang di tolak batinnya yang lain. "Malam itu..."

"Ya?" Mark menaikkan kedua alisnya.

"Saat kau mengantarku pulang setelah aku ketiduran di dalam gudang. Apakah kau benar-benar tak merasakan ada blitz kamera mengarah kepada kita?"

"Blizt?" Mark mempoutkan mulutnya berusaha mengingat dengan jelas. "Tapi aku benar-benar tak melihat ada blizt tuh!"

Yoojung mengerjap. Ini aneh. Ia benar-benar merasakannya tapi kenapa Mark tak merasakan blitz itu? Padahal flash kamera itu menyorot jelas ke arah mereka, apalagi saat itu malam hari.

Yoojung menghela nafas resah untuk ke sekian kalinya.

"Aku ke apartemenmu kemarin, tapi kau tak ada disana. Semalam juga."

"Kau datang semalam?"

Mark mengangguk cepat. "Ya. Aku menekan bel apartemenmu beberapa kali tapi kau tak keluar. Kau dimana?"

"Ah, aku tak tinggal disana untuk sementara waktu. Aku pulang ke rumah." Ucap Yoojung pelan lantaran ia kembali teringat ayahnya yang belum kembali karena diculik oleh penguntit sinting tersebut. Mark menyadarinya dan langsung menggenggam jemari Yoojung di atas meja membuat gadis itu kembali mendongak menatap Mark. Tak peduli desisan para gadis di dalam kelas, perkataan Mark cukup membuat Yoojung yakin ingin memberitahukan semuanya pada pemuda itu.

"Sesuatu pasti telah terjadi. Aku yakin. Ceritakan saja padaku, kau bisa mempercayaiku. Kita kan teman."

Teman?

Teman. Ya, teman. Entah bagaimana kali ini Yoojung merasa tak keberatan dengan kata tersebut. Senyum Mark sedikit menenangkannya.

"Kau mau ikut ke rumahku sepulang sekolah nanti?" Yoojung sedikit membuat lekukan tipis di bibirnya. Mark mengangguk dan mengacak rambut Yoojung sembari bangkit dari duduknya.

"Baiklah. Kita pulang bersama saja, naik motorku!"

---

Yoojung memeluk erak perut Mark di belakang. Mengenakan helm dan menyandarkan kepalanya pada punggung Mark sementara pemuda itu fokus akan kemudinya. Mereka tiba di rumah Yoojung 15 menit kemudian. Memarkirkan motor masuk ke halaman rumah Yoojung yang luas dan mendapat sambutan hangat dari sosok wanita paruh baya yang Yoojung panggil dengan sebutan 'bibi Baek'.

APARTMENT 127 [SUDAH TERBIT - PREORDER DIBUKA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang