Chapter 17

9.8K 1.4K 282
                                    

[Aku kemarin coba bikin trailer ff ini.Harusnya sih udah telat yaa kalo baru bikin sekarang. Tapi, yaudalayaa~]

Gimana menurut kalian?~🙈🙈






"Kau harus segera membawanya..."

"Tidak sekarang."

"Kapan?"

"Sebentar lagi..."

---

Yoojung tengah risau di dalam kamarnya. Dugaannya benar tentang website Astaroth tersebut. Mengenai judul cerita terakhir bernama nama baptisnya, rupanya semua cerita itu memang tentang para korban. Dan dirinyalah korban selanjutnya.

Kiriman paket ketiga yang ia dapatkan memperjelas semuanya. Ia tengah diincar. Ia sudah ditandai. Yoojung harus segera mencari pertolongan. Namun teringat ancaman yan diberikan oleh si sinting itu, Yoojung benar-benar tak ingin melihat ayahnya tak lagi bernyawa jika ia melaporkannya pada polisi.

Pikirannya tertuju pada Paman Jae. Apakah kira-kira ia dapat meminta tolong pada pamannya tersebut. Toh, pamannya juga detektif yang bertanggung jawab akan kasus yang sama.

Malam ini Yoojung tak bisa tidur. Tidak akan bisa. Sudah puluhan kali ia mondar mandir di dalam kamarnya mengkhawatirkan ayahnya. Semua pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Apakah ayahnya baik-baik saja?

Jam menunjukkan pukul 1 lewat dan Yoojung sama sekali tak dapat memejamkan matanya. Bahkan rasa kantuknya telah pergi semenjak ia mendapat paket tersebut.

"Aku harus melakukan sesuatu." Gumamnya pada dirinya sendiri.

---

Yoojung pergi ke taman bermain tempat terkahir kali ia melihat korban dengan kedua mata yang menghilang tersebut sepulang sekolah. Ia pulang sore dan memilih membolos les. Mungkin di taman nanti ia mendapatkan petunjuk.

Namun tentu saja ia tak seratus persen yakin bahwa ia akan mendapatkan petunjuk disana. Toh, polisi dan detektif telah beberapa hari menyelidiki sedetail mungkin tempat ini. Dan benar saja, kedatangannya ke taman bermain yang berada tak jauh dari apartemennya memang sia-sia. Yang ada benaknya malah melayang ngeri membayangkan kondisi korban yang tempo hari ia lihat.

Yoojung tak tahan berlama-lama di taman bermain karena semakin lama disana, ia merasa semakin ngeri akan bayang-bayang mayat seorang gadis dengan kedua bola mata yang menghilang tersebut. Langkah kakinya kini berjalan memasuki Gedung Taeil.

Tujuannya adalah apartemen nomor 127. Tentu saja, karena itu adalah awal semua teror yang ia dapat. Penjaga gedung yang sudah mengenal Yoojung lantaran telah beberapa kali datang hanya untuk melihat apartemen 127 tersenyum dan menemani Yoojung memasuki apartemen tersebut.

"Ada masalah apa lagi nona? Bukankah ini sudah kali ketiga nona kesini? Eh ataukan keempat? Kelima?" pria paruh baya penjaga gedung tersebut menggaruk tengkuknya mencoba mengingat sudah berapa kali Yoojung datang.

"Ahjussi," Yoojung memanggil pria paruh baya itu pelan. Sang penjaga gedung mendongakkan kepalanya dan menatap gadis SMA dihadapannya yang kini tengah menatap serius kamar di apartemen 127. "Apakah ahjussi benar-benar yakin tak pernah ada satupun orang yang pernah tinggal disini selama beberapa tahun belakangan ini?"

"Tentu saja! Paman sudah bekerja disini selama 9 tahun. Dan sedari pertama kali paman bekerja disini hingga sekarang, tak pernah ada satupun orang yang membeli apartemen ini."

Yoojung terdiam sejenak. "Kalau begitu apakah paman tahu siapa yang terakhir kali tinggal disini?"

Si paman penjaga Gedung Taeil berpikir sejenak. Mengusap dagunya lantas menjentikkan jarinya. "Ah, ya! Wanita itu! Si pemilik gedung!"

"Pemilik gedung? Gedung Taeil?" Yoojung menatap serius si penjaga gedung tersebut.

"Ya. Yang terakhir kali tinggal di apartemen ini adalah si pemilik gedung ini, Nyonya Lily."

---

Yoojung duduk termenung di atas ranjang mengingat pembicaraan panjangnya bersama paman penjaga gedung Taeil. Berpikir serius sembari memeluk erat bantalnya.

"Nyonya Lily pindah ke Jerman setahun sebelum aku bekerja disini."

"Apakah ia tinggal disini sendirian sebelumnya?"

"Eiy, tentu saja tidak. Ia tinggal bersama dengan dua anaknya."

Yoojung menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Lalu, mengapa Nyonya Lily pindah?"

"Sebenarnya ini adalah insiden yang mengejutkan. Sangat mengerikan." Sang penjaga gedung melipat tangan di dada seraya melanjutkan, "dua anaknya, anak pertamanya adalah laki-laki dan anak keduanya adalah perempuan. Ah.. aku tak tahu siapa namanya. Intinya, suatu hari anak perempuan Nyonya Lily, si bungsu ditemukan meninggal di kamarnya. Tak ada yang tahu penyebab meninggalnya putri Nyonya Lily. Semua seakan disembunyikan. Orang-orang yang tinggal di Gedung ini menyebarkan banyak rumor. Ada yang mengatakan si bungsu bunuh diri, ada yang mengatakan di bunuh oleh mantan suami Nyonya Lily, dan rumor lain mengatakan si bungsu dibunuh oleh kakak laki-lakinya sendiri. Ough, mengerikan sekali."

Yoojung mendesah resah.

"Jadi, setelah itu Nyonya Lily pindah ke Jerman bersama putranya?"

Paman penjaga gedung itu mengernyitkan keningnya. "Entahlah. Ada yang bilang putranya ikut tinggal di Jerman. Namun ada juga yang bilang putranya tetap tinggal di Korea namun keberadaannya tak di ketahui."

"Tapi apakah nama pemilik gedung benar-benar bernama Lily? Itu tidak terdengar seperti nama orang Korea."

"Entahlah. Semua orang memanggil pemilik gedung dengan sebutan Nyonya Lily."

---

Di sebuah jalanan di Seocho-gu, melewati lampu merah penyebrangan jalan, seorang pemuda dengan hoodie berwarna hitam menggenggam ponselnya menempel telinganya. Ia tengah berbicara dengan seseorang melalui handphonenya. Sebuah nomor dari luar negri.

"Ya, ibu. Aku baik-baik saja disini."

"Tidak. Jangan khawatir, aku makan dengan teratur. Aku tak bohong."

Si pemuda terkekeh renyah. "Tidak. Aku tidak punya kekasih. Aku serius."

"Aku tidak berbohong, ibu. Aku sungguh sedang single sekarang. Tapi.. ada seorang gadis yang kusukai."

"Dia cantik dan manis. Yah, intinya aku sangat menyukainya. Hahaha.."

"Namanya? Em.. rahasia. Akan kuberitahu inisialnya. Inisialnya adalah K-Y-J. Jika ibu bertemu dengannya ibu pasti akan menyukainya."

"Kenapa aku yakin ibu akan menyukainya? Tentu saja, karena aku sangat menyukainya pasti ibu juga akan menyukainya."

"Seberapa besar rasa sukamu pada gadis itu?" sang ibu terkekeh ringan di seberang.

"Sangat besar hingga rasanya aku ingin terus memeluknya dan tak akan kulepaskan lagi."

Si pemuda berhoodie hitam tersenyum miring. Menaruh tangan kirinya ke dalam saku hoodienya. Matanya memandang etalase toko tempat sebuah manequin berdiri. Matanya berbinar menatap sebuah gaun berwarna hitam yang menjuntai mewah. "Ibu, sudah ya. Aku ingin membeli hadiah."

"Untuk siapa? Tentu saja untuk si K-Y-J ku."

Untuk Maria ku.

"Hihihi..."


To be continued.

APARTMENT 127 [SUDAH TERBIT - PREORDER DIBUKA]Where stories live. Discover now