Eleventh ~ Marah atau Sayang?

125 10 2
                                    

#Masih di Taman SMA Petra

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

#Masih di Taman SMA Petra

"Sampai sini paham?" tanya Kaluna memastikan jika Zafran memahami penjelasannya tentang soal fisika yang dikeluhkan oleh pemuda itu. Zafran mengangguk-angguk pelan sambil tersenyum puas.

"Paham, Kal. Lo emang the best deh kalau ngajarin. Penjelasan lo itu lebih mudah ditangkep daripada penjelasannya Pak Reza yang bikin otak gue langsung ngelag." lagi dan lagi Zafran mengeluh karena ia merasa betapa susahnya menjadi anak IPA. Jika bukan karena Papanya yang menyarankan masuk IPA dan katanya lebih enak daripada IPS, ia tidak akan mau masuk IPA. Nyatanya menjadi anak IPA tidak seenak yang dibayangkan.

Kaluna yang mendengar Zafran kembali mengeluh hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Perasaan dari tadi lo muji gue mulu deh. Gue nggak sehebat itu juga kali," ujar Kaluna merendah lagi. Padahal kenyataannya gadis itu memanglah hebat. Sudah cantik, pintar, dan selalu mengharumkan nama SMA Petra.

"Lo itu emang pantes dipuji," ujar Zafran yang membuat Kaluna tersenyum malu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu mendadak salah tingkah dipuji seperti itu oleh Zafran. Sudah lama sekali ia tidak mendengar sebuah pujian dari seorang laki-laki selain Dava.

Kaluna berdehem karena tenggorokannya terasa kering. "Soal nomer berapa lagi yang lo nggak paham?" ia mengambil buku paket Zafran dan membolak-balik setiap halamannya.

"Lo haus ya? Gue beliin minum mau?" bukannya menjawab, Zafran yang peka jika Kaluna kehausan langsung menawarkan.

"Boleh deh. Air putih dingin ya." Kaluna memberi request. Ya kan mumpung ditawari.

"Beres." begitu Zafran melesat pergi ke kantin, Kaluna mendadak teringat kondisi Dava yang saat ia tinggalkan tadi masih pingsan. Entah kenapa meski sudah sekuat mungkin ia mengabaikan rasa perhatiannya pada Dava, namun selalu saja gagal. Gadis itu tidak dapat memungkiri rasa khawatirnya ketika melihat Dava pingsan seperti tadi.

"Gimana ya kondisinya Dava sekarang? Apa dia udah sadar?" gumam Kaluna tiba-tiba, "selama ini gue nggak pernah lihat Dava selemah itu. Biasanya dia selalu kelihatan kuat." pandangan mata Kaluna masih menerawang jauh.

"Kenapa juga waktu ngeliat Dava nggak berdaya, gue jadi merasa bersalah ya karena udah marahin dia?" tanpa sadar Kaluna mengutarakan isi pikirannya tentang Dava. Memang jika masalah hati itu sulit ditebak. Terutama kapan dan bagaimana sebuah rasa muncul lalu mengontrol hati dan pikiran kita.

"Aduh Kaluna kenapa lo jadi mikirin Dava sih. Lo tuh harus bisa move on dari dia. Lagipula Dava kan udah ada Giska di sampingnya. Lo juga udah ada Zafran yang baik dan selalu buat lo ketawa." Kaluna merutuki dirinya sendiri begitu tersadar dari fikiran kacaunya.

"Oke Kaluna, stop mikirin Dava. Mending lo fokus belajar buat olimpiade sains bulan depan. Semangat!" Kaluna berusaha membuang jauh-jauh fikiran tentang Dava dari otaknya. Sudah bukan urusannya lagi untuk memikirkan Dava. Ia harus bisa move on dari laki-laki yang telah menyakitinya itu.

Our Youth (On Going)Where stories live. Discover now