Dear Surga part 12 - Akhirat as a Goal

49 10 0
                                    

DS 12. Akhirat as a Goal

Dunia yang begitu rendah di sisi-Nya dan juga segera sirna, setelahnya ada akhirat yang kekal. Dan di akhirat hanya ada dua pilihan; siksaan yang pedih atau ampunan dan rida Allah. Lalu setelah itu semua, apa masih ingin menjaga erat harta? Tentu saja aku tidak.
—Reynand Ghava Melviano

🍁🍁🍁

Terjadi keheningan di dalam mobil. Aura canggung benar-benar terasa. Tidak ada yang bersuara, mereka memilih berdiam dan sibuk dengan urusan masing-masing.

Fatimah melirik Rey di sampingnya. Lelaki itu hanya diam sejak Fatimah memutuskan ikut ke rumahnya karena Calista menelepon dan mengatakan ingin bertemu.

Fatimah memperhatikan lebih dalam. Rey seolah mencoba menghindari kontak mata dari Fatimah dengan terlihat memfokuskan diri pada jalanan tanpa pernah menoleh. Rahang Rey mengetat seolah lelaki itu sedang merasa tidak nyaman.

Itu pasti karena keberadaan Fatimah. Tetapi, Fatimah juga tidak akan ikut jika bukan Rey sendiri yang memintanya untuk pergi bersama.

"Maaf kalau kalimatku tadi menyinggung kamu, Rey," ujar Fatimah memecah keheningan, tertuju untuk kalimatnya di kafe tadi.

Rey menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan yang mulai menunjukkan kemacetan. "Tidak sama sekali," jawab lelaki itu. "Terima kasih, Fatimah."

Kening Fatimah mengerut. "Terima kasih? For what?"

"Mengingatkanku," ucap Rey tanpa menoleh, tetapi berhasil membuat Fatimah tersenyum.

"Bukannya tugas sesama saudara harus saling mengingatkan?" tanya Fatimah.

Rey tersenyum tipis. "Kamu benar." Fatimah senang mendengarnya. Rey sudah semakin banyak berubah.

Mobil berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Fatimah menghela napas lalu menoleh ke arah jendela mobil yang terbuka. Jendela mobil Rey memang sengaja dibuka agar mereka tidak terlalu terlihat bersama di ruang tertutup.

Saat itu pula suara seorang penjual asongan terdengar mendekati mobil mereka. Tidak mendekati Fatimah, penjual kacang rebus itu ada di samping Rey. Mirisnya, si penjual adalah bocah laki-laki kecil di bawah umur.

Fatimah menggigit bibir. Takut kalau Rey menolak hadirnya—bahkan mengusir bocah itu. Fatimah sudah menyiapkan uang untuk membeli jualan bocah itu. Namun, pergerakannya berhenti ketika melihat Rey tersenyum pada si penjual kacang rebus itu.

Fatimah terperangah. Lelaki itu tidak menunjukkan senyum yang biasa Fatimah lihat. Senyumnya berbeda—tampak tulus.

"Berapa?" tanya Rey.

"Dua ribu satu bungkusnya," jawab bocah itu.

Fatimah tersenyum miris. Seharusnya bocah lelaki seperti dia belajar di sekolah. Tidak berada di jalanan untuk menjajakan dagangan.

"Kamu mau?"

"Hah?" Fatimah mengerjap dan menoleh pada Rey. Lelaki itu terkekeh kecil melihat tingkahnya. Fatimah merasa malu. "Boleh."

"Semuanya," ujar Rey tenang kepada bocah tersebut. Membuat Fatimah merasa tawaran Rey percuma jika pada akhirnya akan membeli semua. "Berapa?"

"Aku nggak tau. Aku nggak bisa hitung. Jumlahnya terlalu banyak. Terserah Kakak saja," ujar bocah itu semakin membuat Fatimah menggigit bibir—semakin merasa miris.

Fatimah menoleh pada Rey. Menunggu respon lelaki itu. Rey membuka dompetnya dari saku dalam jas sebelum memberi anak itu beberapa lembar pecahan uang seratus ribu. Fatimah yakin betul jumlahnya tidak sebanding harga kacang itu. "Ini uangnya. Aku ambil dua saja, sisanya kamu jual lagi. Uangnya mungkin sisa banyak, jangan lupa kamu bagi sama teman kamu, ya."

Dear Surga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang