09 - Sakit?

212 36 8
                                    

Selamat Membaca.
.
.

Ali masih duduk diam dikursi kebesarannya, pikirannya menerawang pada kejadian bulan-bulan sebelumnya. Dimana ia mulai memantau Prilly dari jauh.

Ali selalu berusaha untuk membuat gadis itu dipecat dan datang ke perusahaannya. Seperti; membayar orang untuk mengganggu Prilly dan membuat masalah ditempat kerja gadis itu.

Dulu sebelum memberikan surat itu, Ali membayar orang untuk mengajak Prilly datang keperusahaannya. Tapi katanya Prilly sungkan, malu dan banyak alasan yang membuatnya tidak hadir.

Hingga akhirnya gadis itu bekerja dicafe, dan Ali mulai membayar orang lagi untuk mengganggu gadis itu. Dan ya? Berhasil!

Yang melempar surat itu ke wajah Prillypun adalah Yoan, karena Yoan memang dalang dari semua ini. Si pembuat ide dari semua ini.

Entahlah, saat Ali bercerita tentang Prilly kepada Yoan, laki-laki itu malah langsung mengajukan diri untuk membantu. Apa Yoan juga punya masalah dengan Prilly? Tidak tahu, atau bahkan Ali tidak mau Tahu! Tapi jika ia? Masalah apakah itu?

"Apa dia sudah jatuh cinta?" gumamnya menebak-nebak. Membayangkan wajah cantik Prilly yang tengah bersemu malu karena dipuji olehnya.

***

"Brengsek! Lepaskan aku!" pekik laki-laki dengan tubuh yang terus meronta-ronta. "Hei bajingan!"

"Diamlah!" salah satu dari 3 pria kekar menyahut, matanya menajam menatap kearah sikorban.

"Bodoh! Aku tidak takut pada matamu! Lihat? Bahkan mataku lebih tajam dan teduh." sarkasnya tidak mau kalah.

Hingga---

Bugh!

Laki-laki itu terkapar jatuh, dengan mulut yang lagi-lagi mengeluarkan banyak darah. 3 pria kekar hanya diam memperhatikan, lalu berlalu meninggalkannya begitu saja.

"Sudah lama dia disini, kenapa bos tidak membunuhnya saja ya?"

***

Prilly berjalan pelan menuju meja makan. Perutnya kosong, karena sedari pagi ia belum makan apapun. Diam didalam kamar, menolak semua panggilan dari maid-maidnya karena ia malas bicara!

"Akhirnya nona Prilly keluar. Biar bibi siapkan makanannya." bibi Una selaku maid area dapur berlari kecil, menyiapkan segala makanan untuk wanita yang hanya mampu mengangguk kecil.

Bibi Una kembali, menata makanan dengan telaten dimeja. Sementara Prilly masih diam, menyandarkan tubuhnya yang lelah. Sebenarnya bukan malas karena lelah saja, tapi karena saat berjalan iapun merasa sakit pada area-area tertentu.

"Apa nona baik-baik saja?" Prilly mengangguk lesuh, memakan makanannya dengan tidak semangat.

"Enak bi," sahutnya seketika antusias. Sudah lumayan lama Prilly tinggal sendiri, makan hanya secukupnya. Setelah kematian kedua orang tuanya, Prilly tidak tahu harus berteduh pada siapa. Ia merasa diasingkan oleh saudara-saudaranya yang lain, hingga saat mendengar kabar tragis itu Prilly dibawa jauh dari saudara-saudaranya itu.

"Ini semua salah kamu, Geffa. Kalau bukan karena mamah kamu sedang ngandung kamu, pasti kakak saya tidak menikah dengan mamah kamu yang miskin itu. Adikmu juga, gadis itu nakal dan so pintar sekali. Selalu membantah saya!"

Prilly tahu, memang keluarga besar papahnya tidak suka pada mamah, kakak dan dirinya. Entahlah apa alasannya, Prilly sendiri tidak tahu. Dan tidak mau tahu, karena semuanya sudah menjadi masalalu yang buruk untuknya.

"Non?"

"Non?"

Degh, "Ah maap bibi." Prilly menggeleng kecil, berusaha menyadarkan alam bawah sadarnya. "Lupakan toh sudah masalalu!"

"Gapapa, non yakin baik-baik aja? Ga mau diperiksa ke dokter?" Prilly menggeleng sebagai jawaban.

Hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh, dilihat Ali datang dengan jas yang ia sampirkan dilengan kanan.

"Sore love," sapanya membuat Prilly mengerutkan dahinya. Masih sore kenapa sudah pulang? Prilly menatap jam diatas tv dengan kerutan. "Kenapa? Ga seneng aku balik?"

Prilly menggeleng dan mengangguk membuat Ali hanya mampu berdecak dalam hati. "Ckck, dia ga suka diromantisin apa?!"

"Kenapa?"

"Maaf tuan, nona Prilly seperti tidak enak badan." sahut bibi Una.

"Kamu sakit?" Ali mendekat, menyimpan punggung tangannya dikening Prilly. "Ga panas kok!"

"Emang ga sakit!" Prilly menurunkan tangan Ali, melanjutkan acara makannya tanpa mempedulikan tatapan Ali.

Sementara bibi Una terdiam melihat itu. "Tuan aneh, selama beberapa tahun aku belum pernah melihat tuan begini." "Tuan mau makan juga?"

"Tidak bi,"

"Baiklah saya permisi." bibi Una berlalu pergi, memberi ruang untuk majikannya bicara berdua.

"Katakan apa yang sakit, jangan diam!"

Prilly menghela nafas, menatap Ali dengan malas. "Anunya!" sahutnya ketus.

Ali diam, hingga beberapa saat tertawa karena menyadari apa yang Prilly maksud. "Maaf-maaf."

"Suami brengsek!" makinya dalam hati, ya karena kalau secara langsung pamali. Eh?

Prilly bodoh, Ali lebih brengsek dari yang kamu pikirkan!

"Biar ku obati?"

Prilly mendelik, "ga perlu tuh!"

.
.
-Tbc.

Next lagi, udh lama ngilang pdhl cerita ini udh end didraftttt😩 aga capruk, tapi ko seru pas dibaca sendiri sama guwejh teh😭.

Sebuah DENDAM [Every Day]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang