Bab VI: Seratus Warsa

66 10 1
                                    

Basta merasakan kesuaman meliputi tubuhnya.

Telinga panjangnya bergerak-gerak mendengarkan dadanya yang kembang-kempis. Bagian belakang kepalanya masih berdenyut nyeri, kaki-kakinya agak kebas untuk digerakkan. Kelopak matanya terbuka dan diterjang serbuan cahaya rembulan dan kunang-kunang di atas padang rumput selembut sutra. Ia menyisir sekelilingnya, kemudian perlahan mendongak ke atas.

Di seberang sana, di bawah sebuah ranting pohon pinus berdaun zamrud, seekor elang harpa berwarna candramawa memperhatikannya. Bulu-bulu kelabu di ubun-ubunnya mekar seperti kelopak bunga mawar; tatapannya begitu tajam dan lembut pada waktu bersamaan; sayapnya terbuka lebar meneteskan butiran-butiran kristal superkecil yang hanya bisa dilihat oleh para Ulyana.

Menengok Basta sudah sadar, sang elang harpa mengepakkan sayapnya dan mendarat elegan di samping kucing itu. Ia meluruskan kakinya perlahan dan berusaha bangkit untuk menghadap sang elang.

"Tunggu, jangan terburu-buru berdiri. Aku tidak berniat untuk menyerangmu."

Pandangan Basta tertembak pada sepasang sayap yang hendak merangkul pundaknya. Hampir-hampir saja ia hendak mencengkeram bulu-bulunya karena refleks. Beruntungnya sang elang segera memberinya ruang untuk bernapas.

"Di--di mana aku?" tanya Basta kebingungan.

Paruh sang elang terbuka. "Engkau ada di Hutan Talji, tempat Puanku, Fenabria bersemayam."

Mendengar perkataan sang elang, Basta menelengkan kepalanya dan melempar pandang dari balik sayap kelabu sang elang. Kunang-kunang berterbangan di sekitar pastura ini. Suara gemercik air menggelitik gendang telinganya, ia menduga dirinya dan Amilatura jatuh tidak jauh dari Sungai Serathin. Beberapa makhluk lain juga berkeliaran di sekitar hutan ini, bahkan ada yang menatapnya karena penasaran. Ia merasa sedikit lega.

"Uh, maaf, namaku Anglaik. Aku Ilaur dari Fenabria," ujar sang elang dengan segaris senyum di mukanya.

Ah, pantas saja ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari elang tersebut.

"Ah ... aku Basta," timpalnya dengan sedikit canggung, "Ilaur dari Amilatura."

Kadangkala Basta bertanya-tanya, apakah selamanya ia tetap pantas menggunakan embel-embel ini? Atau apakah dia nyaman untuk berdiri sendiri tanpa membawa-bawa nama Puan-nya? Ia tertawa geli dalam hati.

Anglaik tampak sedikit terkejut. "Oh, sesama Ilaur. Baguslah," balasnya.

Hening yang mengikuti setelahnya benar-benar mencabik kenyamanan Basta. Sepertinya Ilaur yang seperti ini bukan tipikal makhluk yang lebih senang menjawab daripada bertanya.

Jangan salah paham, di matanya, sang elang memang membantu, tetapi dalam opini Basta, dia sedikit ketat dan tegas. Hatinya masih tidak tenang mengingat ia secara tidak langsung menyeret Puan-nya ke dalam jaring ketidakberuntungan. Ia benar-benar berharap murka sang Puan sudah mereda sekarang.

"Apakah engkau tahu di mana Puan Amilatura sekarang?" tanya Basta tidak sabaran.

Sang elang harpa menganggukkan kepalanya. "Ya, ikuti aku. Puanmu ada di telaga sekarang."

---

Mulut Amilatura nyaris saja ternganga lebar.

Dalam jeda sepuluh dekade lamanya, sudah muncul beberapa makhluk—bahkan para Ilari—yang memberontak pada barisan Alaritar. Memberontak dalam artian mereka mengasingkan diri dari kota-kota dan pemukiman besar kemudian membentuk perkumpulan independen, menolak adanya kontak dan tidak mengakui otoritas dari adiknya sekalipun.

Fenabria berkata mayoritas dari mereka begitu ketakutan setelah apa yang Amilatura lakukan dengan kaum Eldrikh—khawatir hal yang sama akan terjadi pada mereka. Mereka tidak lagi mampu percaya pada Agni Amarta, begitu pula Mundoroz. Para pemberontak itu memilih menepi dari persimpangan penuh konflik dan memutuskan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Baru-baru saja, saudarinya membuat kesimpulan bahwa merekalah sejatinya yang memulai rantai reaksi ini—bahwa mereka hendak melepaskan diri sepenuhnya dari genggaman Alaritar.

Tentu saja Amilatura merasa campu aduk ketika mendengarnya.

Di satu sisi, ia ingin menahan tawanya dan menolak asumsi saudarinya. Sebab bagaimanapun juga, seluruh makhluk yang ada di Terra—termasuk para Ilari sendiri—akan selalu terikat ke para Alaritar, entah mereka rela atau tidak. Di lain sisi, ia harus menekan nelangsanya sebab ia tidak mengira keputusannya seratus tahun lalu bakal mengakibatkan para Ulyana terpecah belah.

"Jadi menurutmu, para pemberontak itu mencoba mengalihkan aliran arus energi ke satu titik?" tanya Amilatura pada saudarinya yang sedari tadi berbicara non-stop.

Fenabria mengangguk pelan. "Tapi untuk apa? Maksudku, kenapa harus sekarang? Kenapa tidak sebelum aku keluar dari Karkosir?" sergah sang Ibunda Alaritar.

"Kalau perihal itu, aku tidak bisa menebak-nebak sebelum aku menginterogasi salah satu dari mereka sendiri," papar saudarinya yang baru saja mentas dari telaga.

Amilatura mengibas-ngibaskan bulu putih susunya seraya mengikuti langkah Fenabria. "Yang bisa kupastikan hanya satu. Mereka membuatku khawatir, Mil. Siapa tahu mereka sedang merencanakan sesuatu yang membawa malapetaka bagi semua makhluk, bukan hanya para Alaritar."

Sang singa betina bersayap mangut-mangut. Kalau memang benar apa yang diwartakan saudarinya, tindakan mereka "menghisap" energi dari Arborvitae dan mengalihkannya ke Karkosir sejatinya sangat mengkhawatirkan. Tidak pernah ada alasan baik untuk mensentralisasi medan energi ke satu kutub. Bahkan dalam perang seratus tahun lalu, Amilatura tidak pernah melakukannya. Ya, pernah sebenarnya, tetapi hanya untuk skala kecil di sekitar Aeternum Malum. Hal-hal ini memberikannya lebih banyak alasan untuk sesegera mungkin berangkat ke Astralis dan bertemu dengan adiknya.

"Apa kata Mundoroz soal ini?" ujar Amilatura dengan alis terangkat.

Fenabria terdiam sejenak lalu berkata, "Ia sudah mengutus beberapa Ilari untuk bernegosiasi, tetapi kami belum mendengar kabar lebih lanjut sampai sekarang. Sepertinya ia khawatir akan membuat keputusan yang sama sepertimu." Kalimat terakhir itu membuat batinnya sedikit tersentak.

Ada sesuatu yang mencurigakan di balik badai Karkosir, dan Amilatura berniat untuk menyibak tabirnya.

"Puanku, Ilari saudarimu sudah terbangun."

Amilatura dan Fenabria menoleh secara bersamaan ke belakang, dan menemukan seekor elang harpa dengan satu kucing berwarna obsidian yang mengekorinya. Sang Ibunda Alaritar mengembuskan napas lega melihat Basta mampu pulih seperti sedia kala, walaupun kaki kanannya agak terpincang-pincang—kemungkinan besar karena efek dari benturan tadi. Amilatura menduga, elang yang memandu Basta adalah sesama Ilari pula.

"Kerja bagus, Anglaik. Terima kasih," ujar saudarinya. Sang Ilari menundukkan kepalanya dan tersenyum.

Amilatura kemudian dengan tenang menghampiri Ilari-nya. "Basta. Kau tidak apa-apa?"

Kucing itu tampak segan untuk mendekat, tetapi pada akhirnya, dia menatap kedua mata azura sang Alaritar. "A—aku tidak apa-apa, Puanku."

Amilatura menyentuh pundak Basta dan memandang Fenabria sejenak. Pandangannya menyiratkan kegelisahan dan keterpaksaan yang tak lagi bisa dibendung. Sang rusa betina sempat mengernyitkan dahi sebelum mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia paham maksud tatapan itu.

Amilatura kembali menatap Basta dan berujar, "Basta, persiapkan dirimu. Kita akan berangkat ke Astralis besok pagi."

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang