Bab VIII: Jukstaposisi

37 8 1
                                    

"Muhn?"

Sang naga di depan Amilatura melippat kedua sayap aurumnya perlahan-lahan dan tersenyum. "Ya, itulah aku," katanya dengan suara sejernih air telaga kecil di pagi hari. Amilatura bisa merasakan suara itu membelainya dengan lembut, mirip angin sepoi-sepoi. Tiada hal yang lebih ia rindukan daripada pertemuan ini dalam seratus tahun terakhir.

Langkah demi langkah Amilatura mendekat, rasanya seperti menunggu keabadian. Tubuhnya gemetaran walau cahaya pagi menerjang dirinya dengan penuh kesuaman. Kedua netranya berkaca-kaca, meronta-ronta hendak menumpahkan segala perasaan campur-aduk yang tercerai-berai. Sampai akhirnya, jaraknya dengan sang naga hanya tinggal sehasta.

"Selamat datang kembali, kakak."

Tanpa aba-aba, Amilatura mendekap dan merengkuh Mundoroz dengan kedua sayap putihnya. Bulu putih lembutnya bergesekan dengan sisik-sisik gemilang di bawah terik arunika. Sesuatu yang hangat menjalar dari pagar matanya bertubi-tubi—dinding tak kasat mata yang ia bangun baik-baik di dalam kalbu langsung luruh tak bersisa—nyaris saja ia sesenggukan jika tak menutup mata.

Mundoroz yang agak terperanjat diam-diam menyandarkan kepalanya pada leher Amilatura, napasnya hampir tidak terdengar. Salah satu kakinya merambah ke leher Amilatura dan membelainya dari ujung hingga pangkal temgkuk. Dia tampak begitu menikmati pelukan kakaknya.

Lama sekali mereka berpelukan, sampai-sampai Mundoroz melihat Fenabria dan Basta berjalan mendekati mereka. Cakar-cakar sang naga dengan lembut menyentuh pipi sang Ibunda Alaritar, mengalihkan tatapan Amilatura langsung menuju kedua netranya. Dia menghapus jejak sungai yang mengalir dari sepasang mata cemerlang itu. Dahi mereka bertemu, dan mereka berdua tersenyum karenanya. Setelahnya mereka saling merenggangkan rengkuhan, dan masing-masing mengembuskan napas asak kelegaan.

"Yang Mulia ...," ujar Basta yang terharu melihat reuni mereka.

Amilatura membersihkan sisa-sisa tirta netranya dan menegaskan, "Aku tidak apa-apa, Basta."

Mundoroz mengalihkan pandangannya menuju seekor rusa sambar yang berdiri di tengah-tengah timbunan dedaunan Pohon Dunia. "Fenabria," ucap Mundoroz seraya memeluk saudarinya juga, "lama tidak bertemu."

"Aku merindukanmu," kata saudarinya, kedua tanduk mereka saling bertemu dan bertaut untuk beberapa saat.

Mundoroz melepaskan rengkuhan sayapnya dari Fenabria dan menilik seekor kucing berwarna obsidian yang tertatih-tatih. "Oh, ya, aku sampai lupa. Halo, Basta," sapanya pada sang Ilari. Entah kenapa, Basta merasa sedikit terintimidasi olehnya, tetapi ia menepis segala prasangka dan cepat-cepat membungkukkan dirinya untuk melakukan salam penghormatan.

"Yang Mulia, senang bisa bertemu denganmu kembali," lontarnya dengan penuh kehati-hatian, penghormatannya disambut dengan anggukan singkat dari sang naga.

Mulut Amilatura hendak terbuka, tetapi adiknya jauh lebih dulu menyambar.

"Mari, saudari-saudariku, kita bicara lebih lanjut di dalam istana. Kalian semua, tentunya sudah lelah dari perjalanan dan perlu istirahat," bujuk sang naga aurum.

Amilatura mengalihkan tatapannya ke arah tenggara.

Padang rumput hijau segar terbentang luas di antara mereka dan Kota Astralis yang berdiri megah. Pohon akasia dan palem raja tersebar luas dan lebat mengerumuni tempat transisi ini. Di seberang sana, berdirilah kristal-kristal bercahaya kuning yang mencuat dari permukaan bumi, mengelilingi kota layaknya dinding kokoh. Lebih jauh lagi, dibaliknya, tampak gundukan-gundukan hijau yang mirip iglo, sekitar sepuluh ribu lebih banyaknya, semuanya menduduki pola melingkar mengelilingi sesuatu yang mirip sebuah gugusan rayap dalam skala masif. Jauh lebih besar dan tinggi dari gundukan rayap asli, tentunya.

Di pusat yang dinamakan Istana Gemintang tersebut, tiap gundukan memiliki lubang, jembatan penghubung, dan rute naik-turun tersendiri. Dari jauh bisa terlihat gugusan tersebut membaur dengan alam, seolah berkamuflase dengan sulur-sulur tanaman rambat dari akar Arborvitae. Bunga-bunga dari Pohon Dunia bermekaran memancarkan cahaya alami mereka, bahkan pada pagi hari. Sebuah formasi bebatuan impresif yang menjadi suaka sekaligus istana para darah biru, penguasa Astralis.

Amilatura penasaran. Apakah dua sejoli yang dulu pernah ia berkahi masih duduk di atas takhta para singa? Ia masih mengingat nama mereka. Bintang dan Kejenjaman. Pun juga dengan warna netra mereka. Zamrud dan berlian biru, sesuai warna mata mereka masing-masing.

Pada saat itu daerah sekitar Astralis masih berupa sabana luas yang dihuni beberapa ratus singa dalam gundukan-gundukan kecil, sebagian besar dari mereka masih tidur, beburu, dan beranak-pinak di bawah kanopi Arborvitae. Dua sejoli tersebut—singa jantan dan betina berkulit krem yang menjadi wali para Alaritar—dahulu bersimpuh padanya di Mahkota Mayapada.

Ketiga Alaritar dan satu Ilaur mulai menuruni bukit Arborvitae, dengan Amilatura yang tidak henti-hentinya berusaha mengatupkan mulut. Ia terdiam saking terpukaunya dengan apa yang saja yang sudah berubah drastis selama seratus tahun terakhir. Ilaurnya sendiri bisa dikatakan sebelas dua belas dengannya. Mereka berjalan membelah pastura berisi deretan bunga pensil, sangketan, dan kaktus centong. Bau bawang beku kini tergantikan dengan serbuan aroma lelehan madu dan kunyahan daun salam.

Di satu sisi, ia merasa seperti seekor singa yang tiba-tiba berpindah ke masa depan—sesuatu yang tidak pada tempatnya. DI lain sisi, hati kecilnya memberontak untuk segera berbicara dengan Mundoroz. Begitu banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi hanya satu maaf yang ia butuhkan. Ia tidak akan menjustifikasinya kali ini.

"Yang Mulia, lihat!"

Lamunan Amilatura terpecah begitu Basta menyerunya, cakarnya menunjuk tepat ke arah gerbang Astralis.

Di atas kristal-kristal yang mencuat, para singa jantan dan betina mulai terlihat berkerumun dan memanjat, mungkin untuk menyaksikan pendatang baru. Anak-anak singa pun tak kalah penasaran, dengan nakal mereka berlompatan mengejar satu sama lain di balik pagar kristal. Di antara mereka, ada seekor singa bersurai lebat dan bermata sehijau zamrud yang menarik atensi sang Ibunda Alaritar. Dia tampak lebih karismatik daripada singa-singa lainnya.

Basta berceloteh, "Banyak juga mereka, Yang Mulia. Aku tidak menyangka dalam seratus tahun Axis Mundi bisa berubah sedrastis ini."

Melihat kawanan singa di kejauhan, Mundoroz menghentikan langkahnya sebentar dan mengangkat telapak cakarnya ke arah kerumunan singa tersebut. Telapak tangan tersebut disambut dengan auman lantang dari sang singa bernetra zamrud. Beberapa detik kemudian, para singa yang lain mengikutinya satu per satu, kemudian serentak.

Suara auman mereka begitu menggetarkan pastura antara Arborvitae dan Astralis, sampai-sampai tubuh Basta dan Amilatura seperti diguyur air hangat dari dahi sampai ujung kaki. Basta bahkan sempat ternganga, sementara Fenabria masih memandang dengan penuh ketakjuban. Yang demikian adalah cara mereka menyambut kedatangan Alaritar, dan sang Ibunda Alaritar dibuat tersenyum karenanya. Mereka berempat disambut layaknya para bahadur terdahulu, berkebalikan dengan apa yang Amilatura prasangkakan.

Para singa tersebut berbondong-bondong menuruni pagar kristal dan bergerak menuju gerbang utama Astralis yang mereka tuju. Sebagian lagi terlihat mengintip dari balik lubang-lubang, jembatan-jembatan, dan panggung-panggung yang ada di Istana Gemintang.

Mundoroz menoleh dan menyeringai kepada mereka bertiga.

"Apa yang kalian tunggu lagi? Astralis menunggu kalian," cakapnya sambil melanjutkan langkah.

Untuk pertama kalinya, sang singa betina bersayap putih merasa benar-benar kembali ke rumah yang sesungguhnya.

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang