Bab III: Karkosir

356 42 33
                                    

Ia terbangun.

Refleks, mata azuranya langsung menatap bongkahan-bongkahan es di dekatnya, lalu menyisir cahaya yang keluar dari terowongan di hadapannya. Angin dingin berembus kencang menabrak wajahnya.

Ada hal yang salah di sini. Ia tak semestinya terbangun. Tidak sekarang. Kecuali sudah saatnya, pintu itu tak seharusnya terbuka.

Namun faktanya ia masih hidup dan mengeluarkan uap air dari moncong hidungnya. Tunggu, moncong?

Dirabanya ujung hidung yang masih tertutup butir-butir salju dengan tangannya. Atau, apa yang dulunya menjadi tangannya.

Jadi seperti ini rasanya di dalam tubuh makhluk fana, pikirnya keheranan selagi netranya menelanjangi seluruh bagian tubuhnya yang baru—mulai dari kulit seputih satinnya hingga ujung ekornya yang tajam. Setelah beberapa saat, ia baru menyadari presensi surai perak keemasan yang menjulur hingga ke bahunya dan sepasang sayap yang berkilau laiknya untaian mutiara putih.

Meregangkan dan melemaskan otot-otot alat geraknya, ia menarik napas dalam-dalam sebelum menilik bongkahan es yang bercahaya di belakangnya. Meskipun cahayanya redup, ia masih bisa melihat apa yang ada di balik dinding es itu. Walaupun memorinya masih sedikit kabur, hanya dengan melihat hal itu saja sudah menyebabkannya mendesah lega—karena siapapun yang telah membangunkannya, dia atau mereka melakukannya dengan setengah-setengah. Kalau dipikir-pikir, ia juga penasaran siapa yang berani membangunkannya di tengah-tengah badai salju seperti ini.

Ah, ya, badai salju.

Singa betina itu mengepakkan sayapnya perlahan-lahan sembari menghadap ujung terowongan. Menutup kedua matanya, ia berkonsentrasi dan menghela napas sedalam mungkin. Dari ujung netranya mulai memancar kabut kebiruan yang bercahaya. Ia bisa merasakan garis-garis energi murni yang berkumpul di satu titik—tepat di tempatnya berada. Dibengkokannya aliran tersebut langsung ke tempat ia berdiri sebagai neksus sementara. Mindanya terfokus pada proses konversi energi yang ia alihkan keluar gua. Sesaat kemudian singa betina itu kembali mengepakkan sayapnya dengan lebih keras. Alih-alih masuk ke gua, arah embusan angin malah berubah ke arah sebaliknya.

Ketika ia membuka matanya yang bercahaya, serangkaian gelombang kejut dari atas gua menyapu habis badai salju yang mengamuk di luar sana dalam hitungan detik. Kini keadaan di luar jadi jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Kabut kebiruan tak lagi bocor dari binar netranya yang meredup. Ia melangkah keluar dari mulut gua nyaris tersendeng-sendeng, berusaha menyesuaikan matanya dengan intensitas cahaya yang terpancar dari dua benda di dirgantara.

Singa betina itu menyapu permukaan bulan yang meretak dengan mata azuranya. Hawa dingin dari utara Karkosir menusuk-nusuk sisi kanan tubuhnya, 'tapi ia tidak menggeletar sedikitpun. Moncongnya nyaris tak mampu merasakan apapun setelah terterungku di dalam Terungku Es dalam waktu yang tidak diketahui. Netranya harus berkedip beberapa kali untuk bisa beradaptasi dengan cahaya dari matahari di sebelah kanan bulan yang semakin redup. Masih, anggota tubuhnya—terutama selimut bulu azuranya—kesulitan untuk lepas dari kebekuan tersebut.

Sejauh netra memandang, yang ia dapat hanya padang es dengan salju yang berlapis-lapis. Kendati demikian, jantungnya berdesir hebat menilik pemandangan yang tersaji di depannya. Di bawah lembah yang ia pandang, tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Hanya salju. Seingatnya, dahulu ada sebuah desa di sini. Kecil, hangat, dan penuh suka cita yang ditandai dengan adanya festival musim dingin tiap tahunnya—Nadzieja, desa yang menyambutnya seribu tahun lalu. Ke mana perginya desa itu?

Setelah sepuluh, atau mungkin seratus tahun, akhirnya ia berhasil keluar dari Terungku Es, tetapi tidak tahu-menahu di mana keberadaan orang-orang yang dulu bermukim di sini. Berpikir keras, ia berusaha merememorisasi ingatan terakhir dari tempat ini. Ada sesuatu yang naik ke permukaan memori. Ia tidak mungkin sendirian di sini. Mestinya ada rencana yang ia persiapkan dengan matang sebelum ia diterungku. Jika bukan karena Basta—Ilari sialan itu—mungkin ia masih bisa mengingat dengan baik. Tunggu—Basta!

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang