Bab II: Eldrikh

655 60 44
                                    

Seratus tahun yang lalu, Amilatura, Ibunda Para Alaritar, nyaris menghancurkan sepertiga dari Terra.

Tidak ada tahu yang secara pasti kapan ia hendak melakukannya. Namun para Ulyana setuju ia melakukannya karena satu alasan. Jika ada satu hal yang Amilatura sesali, itu adalah miskalkulasi. Ia sama sekali melupakan berapa lama interval antara kepergian dan kedatangannya. Konsep waktu yang benar-benar asing baginya, kini menjadi nyata senyata-nyatanya. Planet yang ia anggap sebagai bayi--yang sudah ia asuh sejak awal penciptaannya--sekarang tak lagi terasa familiar. Ada alasan tersendiri mengapa ia nyaris menjalankan keputusan itu.

Kedatangan kedua mereka ditandai dengan turunnya para Alaritar dari atas Makhkota Mayapada saat bilah-bilah cahaya baskara menyentuh daun pertama dari Pohon Dunia. Mereka semua turun dengan penuh keagungan, bersinar terang laiknya puluhan meteor keemasan yang jatuh dari Firmanen di awal penciptaan. Para singa yang membangun pemukiman di dekatnya berbondong-bondong berkerumun di bawah kanopi Arborvitae--bahkan saat pohon itu belum meneteskan embun pertamanya. Mata para singa bersayap itu dipenuhi ketakjuban ketika pilar-pilar abhati merekah di pelataran Pohon Dunia, dan mereka dibuat bersimpuh karenanya.

Amilatura yang mengenakan gaun dari cahaya azura melangkah perlahan ke arah pemukiman penduduk dan meminta siapapun dari mereka yang diberi tanggung jawab atas pemukiman ini untuk maju ke depan. Seekor singa betina bertubuh ramping dan tinggi dengan sepasang mata biru laut muncul dari tengah-tengah pemukiman ditemani oleh seekor singa jantan dengan kulit krem yang tampaknya menjadi pasangannya. Mereka berdua menunduk ketakutan di hadapan Amilatura dan para Alaritar sementara para Alaritar sendiri menatap mereka dengan heran, sebab mereka termasuk dari golongan kaum mortal, bukan dari Ulyana sendiri.

Mengejutkannya, Amilatura hanya tersenyum dan mengelus kedua kepala mereka--sebuah pemberian berkat yang pertama kali dilakukan di Mahkota Mayapada pada sepasang makhluk fana--sebagai tanda diterimanya presensi mereka. Selagi para pemukim bersuka cita merayakan kedatangan para Alaritar yang kedua, sejoli singa tersebut--Nyota dan Amani--berterima kasih pada Amilatura dan menawarkan tur ke pemukiman yang mereka sebut dengan nama Astralis, kota penuh bintang. Namun Amilatura menolak dengan halus, kemudian bertanya di mana keberadaan adiknya dan kenapa dia tidak hadir di sini.

Sepasang penguasa ini lalu memberitahukan bahwa adiknya telah membangun kastel sendiri di bagian selatan Pangea sejak kepergiannya dan memerintah seluruh Terra dari sana. Namun kadang-kadang ketika ia datang ke kota ini, para singa akan memberinya tempat beristirahat khusus di pusat pemukiman mereka. Biasanya Mundoroz akan bersemayam di Menara Ahadi--sebuah menara gading yang puncaknya terbuat dari emas murni dan merupakan tertinggi di Astralis. Selama generasi ke generasi, ia memberi restu pada calon penguasa Astralis dan mengizinkan mereka memerintah daerahnya sendiri dengan tetap berada di bawah kekuasaan para Alaritar.

Mendengar para penduduk yang begitu memuja nama adiknya beserta tindakannya, Amilatura kini mengalihkan fokusnya ke arah Samudra Panthalassa. Setelah menugaskan hampir setengah dari para Ilaurnya untuk tinggal dan menjaga Astralis, Amilatura berangkat ke selatan Pangea ketika baskara baru sepenggalan, hanya untuk menemukan istana yang dihuni oleh adiknya sedang dalam keadaan relatif kosong. Ketika Amilatura bertanya pada Ilaur yang menjaga ruang takhta Mundoroz tentang keberadaan adiknya, mereka mengatakan jika Mundoroz dan Ilaur yang lain sedang pergi ke Pulau Malum--pulau yang berada di selatan Samudra Panthalassa sejak tiga hari terakhir dan berjanji akan kembali hari ini. Di sini Amilatura merasakan ada kejanggalan dan firasat buruk yang memintanya untuk segera mengecek pulau yang tak pernah didengarnya itu.

Maka benarlah berita yang mereka wartakan. Di selatan Samudra Panthalassa, sebuah daratan baru yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya berdiri tegak, penuh dengan pohon-pohon sequoia raksasa yang menjulang tinggi dan palem-palem purba di tepi pantainya. Namun yang paling menarik dari semuanya adalah bukit tinggi di tengah-tengah daratannya yang dilingkupi tumbuhan perintis. Sekilas, memang tidak ada yang salah dengan pulau ini. Itulah yang para Alaritar asumsikan sebelum mereka melihat pulau itu lebih dekat.

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang