Bab XII: Para Pemberontak

42 7 0
                                    

Seekor elang harpa bersayap kelabu hadir di sisi lain pintu ruang pertemuan Dewan Adiksi. Dia tertatih-tatih, debu dan darah bercampur aduk di sela-sela bulu sayapnya, kelopak mata kirinya membiru, kakinya bagai batang-batang kangkung yang nyaris patah. Bunga-bunga es bertebaran di sekitar alis, dada, dan pipinya. Sekujur tubuh sang elang gemetaran bukan main, padahal sekarang pertengahan musim panas tengah berkobar di atas langit Axis Mundi.

Para singa penjaga di sana terperanjat oleh kedatangan sang elang dan menggedor pintu ruang pertemuan keras-keras.

"Siapa itu? Bukalah pintunya!" teriak satu Alaritar di sisi lain.

Pintu dengan cepat dibuka, menampakkan waktu yang seakan-akan berhenti, membekukan wajah para Alaritar dalam keterkejutan dan kengerian. Mata mereka membelalak menyaksikan seekor elang harpa tertatih-tatih menuju tengah ruangan. Untuk beberapa saat, tidak ada pergerakan dari dua belah pihak.

"Anglaik!" jerit Fenabria histeris. Sang elang pun jatuh tergeletak ke lantai.

Mundoroz berlari ke arah sang elang dan berjongkok di hadapannya. "Kakak, Fen, Inti, aku perlu bantuan kalian!" teriak sang Naga Agung, diikuti dengan ketiganya menuruni batu pipih masing-masing untuk menyalurkan energi mereka pada Anglaik.

Selagi keempatnya menyatukan tenaga untuk mempercepat regenerasi kulit sang elang harpa, Keanurth berdiri dan berbicara kepada para penjaga di luar untuk kembali menutup pintunya sekaligus mengabarkan pada Zumaridi, Uru, dan Basta jika terjadi hal-hal di luar kendali. Para Alaritar lainnya mondar-mandir, dibanjiri perasaan gelisah, beberapa dari mereka mengerumuni Anglaik, penasaran akan apa yang terjadi. Untungnya, Keanurth cepat-cepat meminta mereka untuk memperluas lingkaran kerumunannya, membiarkan Anglaik punya ruang untuk bernapas.

Mundoroz menyentuh dahi Anglaik perlahan dengan cakarnya dan berkata, "Anglaik? Engkau bisa mendengarku? Kau aman sekarang, tenanglah."

Anglaik menghela napas dalam-dalam dan berbisik kepada sang Naga Agung sembari terengah-engah, "Terima kasih, terima kasih, Yang Mulia."

"Terima kasih kembali. Aku," lanjut Mundoroz hati-hati, "perlu menanyakan sesuatu padamu." Nadanya lembut, tetapi ada intonasi pada empat kata terakhir.

Anglaik memejamkan matanya. "Aku tahu, Yang Mulia."

Sang naga aurum merasakan jantungnya semakin merosot. Dia takut hari ini akhirnya datang. "Apa yang terjadi di Hutan Talji?" tanyanya selunak mungkin, pandangannya menyorot sepasang mata kuning yang sembap.

"Hutan Talji sudah tidak ada lagi."

---

Sebagian besar Alaritar sempat berteriak-teriak meminta penjelasan dari Anglaik, tetapi Mundoroz—dengan nada tajamnya—menyatakan bahwa sang elang harpa tidak dalam kondisi stabil untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka serta meminta Fenabria untuk membawa Ilarinya ke bilik lain, dikawani oleh Intiarma. Setelah sebagian besar Alaritar ditenangkan oleh Keanurth, pertemuan tersebut telah tereduksi menjadi kerumunan domba-domba yang saling berbisik ketakutan.

Suasana itu berlangsung beberapa saat sampai Kertabama—salah satu dari Alaritar dengan wujud burung garuda bersayap merah keemasan—berkata dengan suara lantang, "Mundoroz. Aku tahu kita berada di tengah-tengah percakapan tentang keputusan akhir bagi kakakmu. Namun, agaknya ada masalah mendesak yang perlu kita bahas." Gemuruh suaranya memotong desas-desus di antara Alaritar lain.

Sang Naga Agung menghela napasnya dan menengok kepada khalayak. "Aku tahu. Ada alasan kedua kenapa aku mengumpulkan kalian semua kemari. Sepertinya, apa yang kutakutkan jauh-jauh hari, benar-benar terjadi." Air mukanya disesaki kegelisahan.

Taumiel mengernyitkan dahinya. "Maksud Yang Mulia?"

"Kalian semua tahu apa yang terjadi selama seratus tahun terakhir. Yang kumaksud adalah para pemberontak. Ini terkait dengan kondisi Anglaik sekarang," ucap sang naga emas setenang mungkin.

Azhir mengangkat kedua bahunya. "Ada apa dengan mereka? Bukankah engkau sendiri pernah mengatakan untuk meninggalkan mereka sendirian, meski mereka tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan seabad lalu? Kita sudah membahas ini, Yang Mulia."

"Yang demikian bukanlah pilihan, Azhir. Para pemberontak semakin lama semakin menunjukkan taring mereka secara terang-terangan. Aku percaya bahwa mereka ada hubungannya dengan kondisi Anglaik saat ini," jelas Keanurth.

Bisikan-bisikan para Alaritar kembali membanjiri ruang pertemuan, banyak yang memahami bahaya laten ini. Amilatura, di sisi lain, tampak tercengang mendengar perkataan saudaranya. Titik-titik imajiner dalam khayalnya mulai bersatu padu membentuk susunan benang merah yang membentuk potret kabur. Jika ia terus menapak dan mengikuti jejak dalam potret ini, akan muncul suatu realisasi akan ketakutan mendalam yang selama ini ia pendam.

Bahwa, jauh di Karkosir sana, para pemberontak sudah lama menanti dan menyiapkan pembalasan, bahkan sebelum Amilatura menyadarinya. Bahwa, arus medan energi yang bergeser bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah peringatan keras. Taring-taringnya gemeretak, napasnya nyaris saja menderu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk di depan netra. Apa yang sebenarnya hendak mereka lakukan?

"Yang Mulia Mundoroz telah mewartakan padaku tentang apa yang dialami oleh kakaknya baru-baru ini. Dengan bukti-bukti yang ada, kami percaya bahwa para pemberontak berniat mengakumulasi energi dari semua penjuru Terra ... untuk tujuan yang belum kami ketahui secara pasti," papar Keanurth resah.

"Bukankah sudah jelas tujuan mereka, untuk meruntuhkan kita, para Alaritar?" raung Lahyim, salah satu Alaritar lain yang berwujud kuda berkulit putih cemerlang dengan sayap besar bercorak merah muda layaknya jambu air yang sudah ranum.

Mundoroz menimpali, "Mungkin yang demikian benar. Namun, kita tidak tahu bagaimana mereka akan menggunakan kekuatan itu untuk membumihanguskan kita."

"Kata-katamu ... membuatku semakin khawatir," ucap Kertabama yang sedari tadi enggan duduk di batu pipih. Para Alaritar yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ternyata sentimen mereka juga sama.

"Kendati demikian," sergah Taumiel, "bagaimana bisa mereka memutarbalikkan senjata kita sendiri? Tidakkah kalian terpikir bahwa mereka, hanya makhluk fana? Tubuh mereka dan tubuh kita sekarang akan hancur mumur jika menghadapi dan menyerap energi sebanyak itu dalam jangka waktu lama."

"Yang demikian adalah benar, Taumi," kata Ailfrid. Sang alaritar berwujud feniks itu akhirnya angkat bicara setelah sekian lama diam dan memperhatikan bersama Sirrin di sampingnya, membuat pertemuan ini menjadi hampir sunyi. "Tapi fakta telah berbicara, dan dari yang mampu aku deduksi, entah bagaimana caranya, mereka berhasil melakukan sesuatu pada hutan dan Ilaur kesayangan Fenabria. Itu cukup buatku untuk mempercayai kata-kata Keanurth dan Mundoroz."

Di sebelah kanan Ailfrid, Sirrin ikut bercakap, "Benar. Kita semua tahu anomali gempa beberapa hari lalu. Kini tiada keraguan siapa dalang di balik mengalih-arahkan medan energi dari Axis Mundi ke Padang Es Utara. Fakta bahwa mereka mampu melakukan itu dalam hitungan hari tanpa meledakkan tempat yang mereka jadikan paku energi atau diri mereka sendiri sungguh tidak bisa dipercaya. Namun, yang demikian benar adanya."

"Pertanyaanku," lanjut Ailfrid menyapu seluruh ruangan dengan mata apinya, "siapa yang mengajari mereka?"

Mata Amilatura perlahan membelalak.

T-tidak mungkin.

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang