Bab IV: Tremor

775 42 28
                                    

"Uh, Yang Mulia? Mungkin ini bukan ide yang bagus."

Amilatura mengepakkan sayap selembut satinnya tinggi-tinggi di atas Pegunungan Karkosir dengan ritme yang pasti sementara Basta yang mengerut di dalam pelukan cakarnya. Angin dingin berkali-kali menghantam wajah Basta yang keriput dan merayapi kaki Amilatura. Aroma bawang dingin menusuk-nusuk lubang hidung kucing itu, membuat ia menyipitkan kedua matanya dan mendekap bulu-bulu lembut Amilatura. Lambungnya terguncang setiap kali kestabilan puannya terganggu oleh turbulensi di angkasa. Sepanjang pandangannya hanya tersaji lanskap candramawa yang menjemukan. Purnama dan gemintang yang mengawaninya nyaris hilang ditelan awan-awan badai yang lebih tinggi dari sebelumnya--menyisakan bilah-bilah cahaya redup yang menembusnya di kejauhan.

 Purnama dan gemintang yang mengawaninya nyaris hilang ditelan awan-awan badai yang lebih tinggi dari sebelumnya--menyisakan bilah-bilah cahaya redup yang menembusnya di kejauhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Miskalkulasi, miskalkulasi. Adalah sebuah ironi melihat yang terkuat dari Alaritar berjuang mati-matian melawan sesuatu yang ia gagas sendiri. Niatnya memang bukan untuk meremehkan, tetapi perkiraan jatuh di tempat dan waktu yang salah. Tanpa Agni Amarta dan sisa-sisa kekuatannya entitas sekaliber dirinya pun mustahil bisa mencapai Astralis sebelum fajar menyingsing. Di satu sisi ia benar-benar kehabisan rencana, di sisi lain dia apa yang ia rencanakan sebelumnya selalu gagal atau tertunda.

Pertama, kebangkitannya yang tak terduga. Kedua, kota kesayangannya terkubur di bawah salju. Ketiga, gempa bumi dadakan. Lalu apa lagi? Arborvitae tercabut dari akarnya?

Serabut-serabut nadi di ujung kakinya mulai membeku sedikit demi sedikit. Kakinya kebas digerayangi semut imajiner. Kepalanya pening berusaha memaksimalkan kecepatan manuvernya di udara. Di bawah sana, bebatuan tajam dan jurang yang sempit siap memeluknya jikalau ia kehilangan kendali sedikit saja. Basta sendiri sudah kelihatan seperti plastik bekas penuh air yang bisa meledak kapan saja. Dari awal perjalanan, Amilatura menghitung ada sekitar tiga belas keluhan yang dia lontarkan setiap beberapa puluh menit sekali. Tentang cakarnya yang kesemutan, perjalanan yang membosankan, atau lambungnya yang terombang-ambing. Sekarang dia malah berpikir ini bukan ide yang bagus.

"Demi Unus. Tolong ingatkan aku lagi kenapa aku menunjukmu sebagai muridku," desah Amilatura di sela-sela napasnya.

Saat ini singa betina bersurai itu hanya ingin mengutuk dirinya sendiri tentang betapa buruknya ia dalam mengambil keputusan. Dengan menyapu bersih badai di Terungku Es, ia telah menghabiskan sekitar seperempat dari energi yang telah disimpannya dan seperempat energi lagi habis untuk resurgensi Basta tanpa ia ketahui. Amilatura tidak yakin ini efek samping dari transformasi rupa dan transfer mindanya ke tubuh mortal atau karena faktor eksternal yang tidak ia ketahui. Ia merasa seperti terperangkap di dalam penjara yang ia bawa ke mana-mana. Lebih buruknya, sekarang sisa-sisa dari badai besar itu bertiup tepat ke arah di mana Arborvitae harusnya berdiri.

Seratus tahun terterungku dalam gua itu sungguh tidak mudah bagi Amilatura. Mindanya ikut membeku bersama tubuhnya, dan dirinya secara tidak langsung terekspos ke alam, meninggalkan Terra di dalam kondisi yang tidak menentu. Meski memorinya kabur, ia tak ingin mengenang satu memori pahit yang memaksanya untuk bersemayam dalam Terungku Es. Mengingat sebagiannya saja sudah membuat Amilatura naik darah dan terharu biru. Ia merasa terhantui oleh rentetan kilas balik yang menyakitkan itu—seperti sebuah kaktus yang ditancapkan berulang-ulang pada sebuah beludru tipis.

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang