Prolog: Eksulansis

3.5K 272 41
                                    

"Kau itu sebenarnya apa?"

Setengah dari baskara sudah terbenam ketika Mundoroz melihat penampakan itu di ujung matanya. Bayangan hitam tersebut melata melalui celah-celah ruang peristirahatannya menuju sudut ruangan, seakan mengawasi dirinya yang baru saja terbangun. Dalam posisi terayan-ayan, penglihatannya menangkap barisan pelita keemasan yang menempel di dinding Istana Dracomirator. Mereka meredup untuk sesaat, mencetak bayangan-bayangan kasar di lantai pualam. Dua mata reptilian Mundoroz memancarkan kabut keemasan ketika ia menatap gerakan bayangan itu dengan keheranan. Sepasang sayap kelelawar aurumnya yang semula tegang kini mulai turun perlahan-lahan dan menghadap makhluk itu.

Laiknya api hitam yang berkobar, bayangan itu membentuk tubuh seekor pegasus dengan surai kelabu dan sepasang mata seputih satin yang bercahaya. Sayap hitam metaliknya menyerupai sayap milik Mundoroz, hanya saja wujudnya tidak stabil—nyaris tampak laiknya abu dan asap hitam yang diikat paksa ke satu tempat. Pandangan makhluk itu menimpa naga keemasan di hadapannya. "Kau semestinya tidak boleh mengetahui presensiku," ujar makhluk itu, "masih belum saatnya."

"Apa kau salah satu dari makhluk asing yang belum kuketahui?" tanya Mundoroz penasaran.

Makhluk itu terlihat ragu-ragu. "Mungkin."

"Apa kau tidak nyaman dan takut akan kehadiranku?" kata makhluk itu perlahan bergerak dari ujung ruangan.

Air muka Mundoroz menyiratkan kebingungan yang mendalam. "Hm, sejujurnya, tidak," jawab Mundoroz.

"Apa yang demikian terlihat normal bagimu?"

Mundoroz mencoba membenarkan posisi duduknya. Dari makhluk itu ia bisa merasakan kebimbangan dan keraguan yang asing. "Aku tidak yakin perihal itu," ujar makhluk itu.

"Kau makhluk yang menarik juga," Mundoroz bergumam pelan, "tetapi sejak kapan kau berada di sini?"

Kobaran api hitam itu bergejolak dan berdansa lembut di bawah tatapan Mundoroz. "Sejak malam kau pertama kali datang kemari."

Kelopak mata Mundoroz melebar mendengar pernyataan itu. Ia lalu menggeser posisi duduknya dan menyimpulkan senyum kecil untuk makhluk itu. Pandangannya mengisyaratkan agar makhluk itu mendekat padanya. "Ah, kau pasti mengetahui aku salah satu dari para Alaritar. Kemarilah, duduk di sebelahku," undang Mundoroz.

Makhluk itu tertegun untuk beberapa saat. Dengan segan hati, dia akhirnya melangkah melewati bayangan-bayangan pilar istana menuju takhta Mundoroz yang bertingkat. Semakin dekat, bentuk dan rupanya semakin jelas. Kulit putihnya yang tidak rata terekspos oleh semburat cahaya aurum yang terpancar dari kedua sayap Mundoroz. Ada tonjolan-tonjolan tak lazim di sekujur tubuhnya—dari kaki hingga lehernya. Sayap obsidiannya persis seperti bongkahan kayu mahoni yang baru saja dipelitur. Surai hitam elegannya mirip janur yang ditiup angin sepoi-sepoi. Cahaya dari kedua netra putihnya mulai luntur, digantikan dengan sepasang mata pegasus jantan yang normal dengan iris semerah saga. Perlahan ia duduk di atas takhta Mundoroz. Wajah mereka saling berhadapan.

Mundoroz melanjutkan pembicaraan. "Kaulihat sekarang? Bahkan yang paling tersembunyi dalam kegelapan tidak akan terlihat menakutkan dalam penerangan cahaya."

"'Tapi aku nyatanya memang menakutkan!" sanggah makhluk yang khawatir itu tiba-tiba.

Mundoroz yang sedikit terkejut terlihat meringis. "Mungkin bagi makhluk yang lain," kata Mundoroz tenang, "'tapi tidak bagiku."

Makhluk ini menatap Mundoroz dengan keheranan, seakan dia tak mampu memahami kenapa Mundoroz tidak memancarkan rasa ketakutan sedikit pun dalam jangkauannya. Andaikata naga ini seekor mortal, perutnya pasti sudah kenyang dengan rasa takut yang dimakannya. Sunyi sejenak mengambil alih takhta di hadapan mereka, sebelum Mundoroz berujar lagi, "Beritahu aku, wahai makhluk asing, apa kau punya nama?"

"Nama?" tanya makhluk itu tertegun.

Naga bersayap perunggu itu mengangguk. "Ya, kau tahu, panggilan untuk dirimu sendiri. Begini. Contohnya seperti aku yang dipanggil Mundoroz, sang Penjaga Agni Amarta, oleh sahabat-sahabatku," katanya bangga.

Makhluk itu kembali kebingungan. "Sahabat?"

Ekor mata Mundoroz naik ke atas untuk beberapa saat sebelum ia mendapatkan sebuah jawaban. "Menurut definisiku, yang demikian adalah mereka yang selalu ada di sampingku baik dalam suka maupun duka," jelas Mundoroz dengan pasti, "dan tentunya bisa dipercaya. Versi sederhananya, jika mereka saling berbuat baik pada satu sama lain—tanpa memedulikan dari golongan mana mereka berasal—kurasa mereka bisa disebut sahabat."

Pegasus putih itu menatap mata naga keemasan di depan sekali lagi. Matanya penuh determinasi dan ketakjuban akan konsep yang baru saja ia cerna. "Aku ... aku sering disebut Askarth oleh sesamaku."

Usai berpikir agak lama, Mundoroz melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka oleh makhluk tersebut. Ia mengulurkan cakar kanannya ke depan pegasus tersebut seraya tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, Askarth, maukah kau menjadi sahabatku?"

Pegasus itu tampak tercengang dengan permintaan Mundoroz. Ada jeda beberapa saat sebelum dia berpikir ulang. Namun pada akhirnya, dia mengangguk pelan dan menjulurkan tapak kudanya ke samping cakar naga tersebut dengan sedikit canggung. Ketika mereka saling berjabat tangan, Mundoroz tersenyum hingga gigi taringnya tersingkap.

Dan makhluk itu membalasnya dengan sebuah seringai.

===

Ilustrasi: Pinterest

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang