Epilog: Apoteosis

164 11 29
                                    

Kami adalah rasi, memancarkan raksi

Takkan kami membasi acap dikritisi

Kami adalah pelukis kata, penyesap aksara

Berkobar menggelora, api kami kerap membara

Nellaneva, Iluminasi Adiksi

===

Dari atas balkon Istana Dracomirator, Mundoroz memandang ke arah timur dengan mata sembap.

Kantung matanya tampak berat, sayapnya terasa nyeri dan berkedut-kedut. Debu dan bercak darah menghiasi pundak, perut, dan sebagian kepalanya. Kakinya serupa sulur-sulur anggur di sela-sela pagar kayu yang nyaris roboh usai diterjang badai petir. Pandangannya menyapu seluruh cakrawala, meski hanya warna-warna gelap yang netranya tangkap. Aroma kobaran api dan deru campur debu masih melekat pada benaknya. Ia sungguh tidak bisa tidur semalaman.

"Yang Mulia?"

Mundoroz menoleh ke arah kanan dan mendapati Okhiris—dalam wujud seekor buaya berwarna seputih mutiara laut selatan—tengah merayap dan memberinya tatapan gelisah. Sang naga aurum menghela napasnya dan membiarkan dirinya sendiri diterpa oleh angin dingin sebelum datangnya fajar. Ia turun selangkah dari dinding kastelnya, kemudian duduk perlahan di lantai.

"Ada ... berita baik dan buruk mengenai Amilatura," kata sang buaya putih hati-hati.

Mundoroz dengan cepat menjawab, "Yang buruk dahulu, yang baik datang sesudahnya. Wartakanlah padaku." Kepala sang naga aurum sedikit menunduk, cakarnya menempel erat ke lantai kastel.

Okhiris menelan ludahnya. "K—kami sudah berusaha menyisir dari semua penjuru Samudra Panthalassa, merambah Pulau Malum dari atas dan bawah, juga di sekitar istana. Sayangnya, tiada tanda-tanda dari kakak Yang Mulia maupun abominasi itu."

Perut Mundoroz seakan ditekan oleh batu-batu raksasa dari atas, bawah, kanan, dan kiri pada waktu bersamaan. Jantungnya berdebar tak keruan, kepalanya terasa pusing bukan main. Ia merasa bersalah sudah menyembunyikan eksistensi Eldrikh kepada dirinya sendiri, khawatir akan penghakiman dari Alaritar lainnya, hingga yang ditakutkan pun terjadi.

Amilatura berniat menyegel mereka semua dalam satu mikroplanet dengan memecah-belah bongkahan Pulau Malum menuju angkasa. Para Alaritar, termasuk Mundoroz, tampak terlalu sibuk menghentikan Amilatura hingga tak menyaksikan rekahan kosmis di atas pulau. Rasanya seperti melihat langit berdarah untuk pertama kalinya.

Jangankan Alaritar seperti Keanurth atau Okhiris, Mundoroz saja yang sudah tinggal di dekat Pulau Malumm sejak lama tak kuasa menutup mulutnya ketika menyaksikan kekuatan kolektif dari para Eldrikh. Rasa takut menyusupi benak kedua belah pihak selagi suara gemuruh, ledakan, jerit-tangis, dan teriakan mengangkasa di pesisir Pulau Malum, mengiringi sulur-sulur raksasa yang menjulur dari retakan kosmis di atas dirgantara. Beberapa Alaritar menyangka Terra akan hancur pada hari itu.

Namun, secepat datangnya rekahan tersebut, secepat itu pulalah rekahan itu hilang—menguap menjadi langit normal layaknya semburan air panas secara tiba-tiba di titik terdingin Padang Es Utara. Sang abominasi lenyap, bersama dengan sang Ibunda Alaritar. Tidak ada satu makhluk pun dari kedua belah pihak yang tahu ke mana perginya mereka.

Okhiris mendekati saudaranya perlahan. "Kabar baiknya, Keanurth dan beberapa Alaritar lain telah membuat asumsi cepat bahwa kakak Yang Mulia sudah tiada di sini ... tetapi masih hidup di tempat lain," ujarnya seraya tersenyum simpul.

Tunggu. Yang demikian itu tidak masuk akal.

"Maksudmu bagaimana?" tanya Mundoroz bingung. Ia semakin heran ketika saudaranya menatap dengan penuh harapan.

"Jika apa yang diasumsikan Keanurth benar, maka kakak Yang Mulia sedang berada di luar tempat dan waktu di mana tiada satu makhluk pun yang mampu menjangkaunya. Ia dan makhluk abominasi itu terperangkap di dalamnya," jelas Okhiris mantap.

Mundoroz seketika langsung berdiri, matanya membelalak mendengar kata-kata saudaranya. "Maksudmu—"

"Lingkaran waktu," sergah sang buaya putih. Ekornya menepuk-nepuk lantai menara istana. "Jika kita cepat, kita bisa membebaskan dan memisahkannya dari abominasi itu. Masalahnya, kita tidak tahu bagaimana cara meraihnya di tempat yang tidak bisa teraih."

Sebuah nada berdenting pelan dalam minda sang Naga Agung.

Mundoroz berpaling dari Okhiris, lalu bergegas naik ke atas balkon istana dan mengibarkan dua sayap emasnya. Di ujung cakrawala, garis-garis jingga mulai menggelora, bersamaan dengan merebaknya aroma bawang beku dari atas langit. "Katakan pada yang lain, yang masih terpencar, agar berkumpul di istana. Aku hendak menyiapkan sesuatu."

"Tunggu!" teriak Okhiris sebelum Mundoroz lepas landas. "Yang Mulia punya rencana apa?"

Di hadapan fajar, Mundoroz mengucap permohonan dan harapannya dalam diam.

"Kita akan membebaskannya, dengan Simfoni Kedua."

[ T A M A T ]

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang