Bab IX: Astralis

43 8 0
                                    

Kedatangan Amilatura, Mundoroz, Fenabria, dan Basta disambut meriah oleh penduduk Astralis.

Bagaimana tidak, sedangkan baru selangkah mereka melintasi gerbang Kota Gemintang, para singa mengidungkan senandung tua yang dulu digunakan untuk menjamu Amilatura dan para Alaritar setelah kedatangan pertama. Gelora suara mereka yang membara membuat bulu kuduk Basta sampai berdiri, dan hati Amilatura berkobar-kobar. Di tiap sudut-sudut jalan berdesak-desakan para singa muda yang menyaksikan Ibunda Alaritar untuk pertama kali. Padanya mereka melakukan salam penghormatan, dan ia memberikan senyum murah hati pada mereka yang telah tunduk. Para prajurit berbaris di sepanjang jalan utama, tegap dan tak gentar, mengantarkan mereka menuju alun-alun.

Ikutlah juga Zumaridi dan Uru—raja dan ratu mereka—yang hendak menjamu mereka bertiga di paviliun paling atas Istana Gemintang. Amilatura nyaris tidak melihat satu garis kerutan pun padah wajah mereka. Tampaknya berkat yang sudah ditanamkan di Arborvitae masih berlangsung hingga saat ini, meski kekuatannya masih belum benar-benar pulih. Begitu luar biasa keramahtamahan mereka, sampai-sampai rasa suka cita Amilatura membuncah. Betapa rindunya ia pada mereka dan Astralis.

Mereka berempat menaiki tangga alami dari bebatuan pipih yang sudah dipasang di sepanjang jalan keluar-masuk istana. Basta tak henti-henti mendongak dan memandangi bukit-bukit runcing di mana keturunan para darah biru bersemayam dan memerintah dari sana. Dengan corak warna yang nyaris persis dengan kombinasi antara rona tanah liat dan tulang belulang, istana ini memiliki bilik-bilik luas dengan sekat pada bagian tertentu. Di dinding istana, pohon-pohon rasberi gurun merambat dengan subur, dikerumuni kawanan merpati yang menyenandungkan kidung suci arunika. Melalui sela-sela dedaunan, angin pagi mengalirkan aroma penuh ketuduhan bagi siapapun di sekitarnya. Termasuk para Ulyana sendiri.

"Terima kasih sudah mengakomodasi kami," ucap Amilatura secara formal pada sejoli penguasa, memecah keheningan di tengah jalan.

"Sebuah kehormatan bagi kami, Yang Mulia, kedatangan anda sekalian adalah berkah bagi kami semua," tutur Zumaridi yang sejenak menundukkan kepalanya dengan hormat.

Sampailah mereka pada sebuah balkon terbuka dengan lantai coklat kemerahan, sebuah telaga kecil di tengah-tengahnya, tempat duduk dan tidur dari batu marmer pipih, pepohonan rasberi lebat, dan semak-semak yang memagari batas-batas balkon tersebut. Zumaridi lantas memberi gestur perintah pada para penjaga untuk meninggalkan mereka bertujuh sebentar di sana.

"Yang Mulia pasti sudah lelah dari perjalanan mereka," sahut singa betina di sebelah Zumaridi. Amilatura jadi tersenyum sendiri, mengingat mereka sama-sama menggunakan pluralis majestatis ketika berbicara di situasi spesifik.

Ia lantas tertawa kecil. "Seratus tahun sudah terlalu banyak untuk lelah. Kami sudah terlalu lelah untuk lelah." Yang demikian mungkin adalah upaya terbaiknya untuk membaur kembali ke dalam peradaban masa kini, ya, walau mungkin tidak semua makhluk akan memahami konteksnya.

Zumaridi dan Uru terkekeh-kekeh di bawah bayang-bayang istana. "Ternyata Yang Mulia masih sama seperti dulu rupanya. Kami bersuka cita atas kedatangan anda sekalian. Semoga, kebahagiaan kami dapat dirasakan pula oleh penduduk Astralis dan para Alaritar," ungkap Uru dengan air muka yang cerah ceria.

"Pastinya," sahut Mundoroz di samping kakaknya, "kami akan selalu mencoba untuk melimpahkan kebahagiaan itu kembali kepada pemberinya." Sang Ibunda Alaritar turut menganggukkan kepala mendengarnya. Bahkan setelah puluhan tahun lamanya, prinsip hidup sang adik nyaris tidak pernah tergoyahkan.

Zumaridi, dengan suara tegasnya, berkata, "Sekali lagi, terima kasih, Yang Mulia. Kami akan membiarkan anda sekalian untuk beristirahat di sini sementara kami kembali ke hadapan majelis untuk menyiapkan jamuan besar malam ini."

Alis mata Basta naik satu. "Tunggu, katamu akan ada jamuan besar? Siapa saja yang datang?"

"Untuk itu, kami kira akan lebih baik jika sang Naga Agung yang menjelaskannya kepada anda sekalian. Kami undur diri dulu," jawab Uru, mengerlingkan kedua mata beningnya pada naga bersayap aurum di sebelah Amilatura. Dengan salam penghormatan pendek, sejoli penguasa itu pun lekas beranjak dari hadirat para Ulyana dan kembali ke paviliun utama.

"Aku tidak mengira kau akan mengundang seluruh singa juga untuk ini," ujar Fenabria mengernyitkan dahinya.

Mundoroz menghela napasnya. "Inilah yang ingin kubicarakan ke kalian. Aku tidak mengundang seluruh singa saja. Tapi seluruh Alaritar."

Seketika mulut Basta dan Fenabria terbuka lebar. Amilatura berusaha mengendalikan emosinya yang campur-aduk dari luar. Mendengar kalimat itu saja, sang singa betina rasanya mau kembali saja ke Karkosir daripada mengorek-ngorek luka lama. Pada saat bersamaan, ia tampak mengerti maksud adiknya mengadakan pertemuan berskala besar seperti ini. Jika tebakannya benar, maka akan ada masalah lain yang perlu dikhawatirkan selain kedatangan keduanya.

Fenabria langsung menginterupsi, "Apa? Tunggu, tunggu, tunggu. Aku mengerti niat baikmu, tapi masalah mendesak apa yang kiranya membutuhkan perhatian sebesar ini? Maksudku, kenapa ... sekarang?"

"Saudariku, engkau semestinya dari sekian banyak Alaritar tahu mengapa. Ada hawa-hawa tidak sedap yang melintasi suakamu selama beberapa bulan terakhir. Baunya bertambah kuat sekarang. Aku khawatir, bau itu berasal dari percikan api yang kita takutkan selama ini," papar Mundoroz dengan sangat hati-hati.

"Api makar, adikku?"

Seketika itu semua wajah langsung menoleh ke sang Ibunda Alaritar. Ia terlihat kurang senang sekaligus gelisah dengan perkataan sang naga.

Mundoroz yang agak terkejut mendengar kakaknya angkat bicara kemudian menatapnya dengan serius. "Tiada lagi selain itu, kakak. Selama engkau berhibernasi, bahaya laten ini sudah merambahkan sulur-sulurnya bahkan ke tempat yang belum pernah tersentuh cahaya baskara. Aku hanya ingin kita mengambil tindakan preventif sebelum terjadi sesuatu ... yang tidak diinginkan." Ternyata tebakan Amilatura tepat sasaran.

Masuk akal, mengingat ia sudah merasakan dampak dari percikan api itu secara langsung. Ada sesuatu yang mencurigakan di luar sana. Jika dibiarkan terlalu lama, api tersebut akan membumbung menjadi kebakaran besar dan lambat laun merambat hingga mengepung Axis Mundi. Inilah sebenarnya yang ditakutkan oleh para Alaritar, khususnya Mundoroz dan Amilatura. Mereka tidak bisa membiarkan sejarah terulang kembali.

"Bahkan sekarang, kobaran api itu sudah menyebar dari titik terdingin di dunia ini. Maka dari itulah dalam kehendakku, aku mengumpulkan saudara dan saudari kita kemari," tambah Mundoroz. Amilatura hanya membalasnya dengan termenung. Fenabria pun juga begitu. Hanya Basta yang menoleh kebingungan.

Sedari tadi, Amilatura merasa janggal dengan pemilihan kata yang adiknya gunakan. Seingatnya, Mundoroz jarang sekali—atau bahkan tidak pernah—menyelubungi kalimat-kalimatnya dengan tabir berlapis-lapis, dengan makna bercabang-cabang. Apakah dia tengah berusaha menyembunyikan sesuatu dari Amilatura, ataukah dia berusaha agar ia tampak tidak mencurigakan di mata makhluk lain? Sang singa betina kurang mampu membaca air muka sang adik.

Basta hendak membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi sudah telanjur didahului oleh sang singa betina.

"Aku paham. Basta, Fenabria, sebaiknya kalian beristirahat dulu. Aku ingin bicara dengan adikku, sendirian."

"T—tapi Puanku ...," sergah Basta hendak memprotes, tetapi kemudian terhenti oleh tatapan tajam Amilatura.

Menahan gerutunya, Basta membalas, "Baiklah, baiklah. Terima kasih, Yang Mulia." Dia terlihat agak kesal bahkan saat dituntun oleh Fenabria ke dalam bilik. Amilatura lalu melepas pandangannya pada Mundoroz.

Setelah kini mereka berdua sendirian di balkon, Amilatura bertanya pada adiknya dengan suara rendah, "Mengapa engkau tidak mengatakannya secara blakblakan, Muhn?"

Mundoroz mendekati Amilatura dan berbisik di dekat telinganya.

"Karena beberapa percikan api itu, saudariku, ada di kota ini."

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang