Bab XIII: Fragmentasi Realita

58 9 6
                                    

Amilatura merasa lidahnya terpotong-potong, jantung diremas-remas, dan ubun-ubunnya disambar petir di siang bolong. Ia merasa kecolongan dan dikhianati, lagi dan lagi. Pertama, seratus tahun lalu ketika Kaum Eldrikh diam-diam berkembangbiak di Terra tanpa sepengetahuannya. Kedua, saat Desa Nadzieja berubah menjadi desa mati. Ketiga, ketika ternyata ada dari para Ulyana yang mendukung para pemberontak memuluskan rencana buruk mereka-entah untuk apa tujuannya.

Ia baru saja keluar dari ruang pertemuan setelah Keanurth membubarkan jamuan kali ini. Banyak di antara mereka yang memilih pulang secepatnya ke daerah kekuasaan mereka masing-masing untuk melakukan pengawasan jikalau ada tanda-tanda para pembelot. Tentu saja, Amilatura tidak berdaya mencegah mereka, begitu pula adiknya dan Keanurth. Wibawanya sebagai Alaritar sudah nyaris tergerus habis selama seratus tahun terakhir.

Ini salahku. Oh, Unus, ini salahku.

Sang singa betina mondar-mandir di bawah sorotan purnama kebiruan. Ia enggan menatap bola itu lagi. Tiap kali ujung pandangannya tak sengaja bertemu dengan benda itu, ia seakan mendengar laungan kaum Eldrikh dan desas-desus tidak mengenakkan dari saudara-saudarinya sendiri. Angin malam pun tak mampu menenangkan hati kalang kabutnya. Gigi gerahamnya gemeretak, kedua netranya kembali berkaca-kaca.

"Kakak? Engkau tidak apa-apa?"

Amilatura membalikkan badan laiknya sebuah pendulum usang dan melihat seekor naga aurum berdiri tegak di dekat pintu kamarnya. Suaranya seterang arunika, sepasang mata keemasannya begitu rapuh dan khawatir. Sang singa betina melangkahkan kakinya menuju sumber suara itu dan memeluknya. Kedua sayapnya memeluk pundak Mundoroz erat-erat selagi tangis pecah membanjiri wajahnya.

Dalam sedu sedannya, sang Ibunda Alaritar berkata, "Aku tidak baik-baik saja, Muhn. Aku tidak baik-baik saja." Seluruh beban seratus tahun longsor seketika dari pundaknya, tubuhnya gemetaran dan napasnya setengah tersengal-sengal.

"Shhh ...." Mundoroz memeluk kakaknya lembut dengan kedua sayap kelelawarnya. Jika Amilatura diberi kesempatan untuk tidur dalam pelukan adiknya selama seratus tahun, ia akan mengambilnya tanpa pikir panjang. Namun bayang-bayang purnama masih menghantui dan menghalanginya untuk merasakan kesuaman sejati, termasuk kehangatan pelukan adiknnya. Kepalanya terbenam di pundak sang adik selagi Mundoroz berujar, "Tenanglah, kakak. Semua baik-baik saja. Tarik napas dalam-dalam, embuskan secara perlahan. Katakanlah apa yang mengganggu dirimu."

Ia terisak dan tersenyum pahit dalam tangisnya. Ia hendak melepas pelukan itu dan menatap dalam-dalam kedua netra adiknya.

"Amilatura!"

Terperanjat, Amilatura menelengkan kepalanya ke belakang, menuju arah Ilaur yang mendekatinya. Kelincahan dan pergerakan kucing hitam itu tampak memudar, jauh berbeda dari terakhir kali ia bertemu dengannya. Telinga kucing tersebut berdiri tegak, dengan mata yang memperhatikan gerak-gerik puannya. Ia berusaha menegakkan ekornya yang sedari tadi terjepit di antara bebatuan, seraya mengibas-ngibaskan bulu obsidiannya. "Kau tidak apa-apa, Yang Mulia?" tanyanya menatap singa betina itu tegang.

Mila hanya bisa ternganga dan membalas, "Hah? Aku tidak apa-apa."

"Bahkan setelah seratus tahun, kau keahlianmu untuk menyembunyikan ekspresi masih melekat erat. Apa karena tanggung jawabmu masih belum terlepas?" cebik Basta di belakangnya.

Amilatura menutup matanya rapat-rapat, membiarkan gemuruh angin Karkosir menepuk-nepuk tengkuk dan daun telinganya. Ia bergumam, "Fokus, fokus, Mila. Ini realitamu sekarang." Mindanya terpusat pada ingatan penciptaan pertama, di mana ia mengidungkan Simfoni Agung bersama saudara-saudaranya selagi lanskap utuh di belakangnya luntur dan lebur layaknya lukisan dari pasir pancawarna. "Engkau bisa melakukannya, harus bisa. Demi semuanya. Demi-"

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang