Bab VII: Arborvitae

47 12 1
                                    

Axis Mundi. Tempat di mana langit dan bumi saling menatap dan memeluk satu sama lain.

Di sinilah penciptaan makhluk-makhluk pertama dirampungkan. Amilatura masih mengingat dirinya meniup segumpal tanah kecil dalam genggaman tangannya, kemudian gumpalan tersebut berangsur-angsur memadat menjadi sebuah biji berwarna coklat keemasan. Ia dan para Alaritar lalu naik ke atas sebuah bekas kaldera berisi air hijau kebiruan dengan pulau kecil di tengah-tengahnya. Kiaila dan empat bersaudara Alaritar segera menerima benih itu kemudian menanamnya dengan baik. Usai diberkati oleh kidung kasih dari Ailfrid dan Sirrin, barulah pohon itu tumbuh, begitu gagah dan menjulang tinggi di antara gegana-gegana dan pegunungan.

Maka dinamakanlah pohon itu sebagai Arborvitae, Ibunda Segala Pohon Amarta. Tiada celaka bagi makhluk yang mendekatinya, tidak pula mendewa para makhluk yang memakan sesuatu darinya. Yang demikian adalah simbol bagi semua makhluk fana, supaya mereka mengingat yang sudah, yang kini, dan yang akan.

Beberapa hari sebelum perang besar antara Eldrikh dan Alaritar, Sang Ibunda Alaritar turun dari dirgantara untuk kedua kalinya usai merampungkan kelananya di antara bintang-bintang. Terpukaulah dirinya ketika ia menyisir pusat dunia saat itu, di mana telah berdiri Kota Astralis yang dihuni para singa, tidak jauh dari Arborvitae yang masih berdiri kokoh. Dari pohon itu pula, kaum singa mendapatkan umur panjang dan akses terhadap medan magis yang terpendam di dalamnya.

Itu kira-kira terakhir kali Amilatura mengunjungi Arborvitae.

Kini ia tengah ditemani Basta dan Fenabria menyusuri Sungai Ilkar yang memanjang hingga berhulu di salah satu akar besar Arborvitae. Sayap Amilatura masih nyeri dan kekuatannya masih belum pulih benar, apalagi Basta yang agak trauma dengan ketinggian setelag insiden kecil itu, jadi terpaksa mereka berjalan cepat untuk bisa sampai ke Axis Mundi.

Barisan bambu kemuning bercabang seolah-olah menyambut mereka di sepanjang tepi sungai, lengkap dengan burung pengicau belang tiga yang mengidungkan senandungnya pada arunika. Aroma bawang beku kembali menyelimuti moncong hidung Amilatura dan membuatnya tersenyum sejenak. Mereka sudah hampir sampai ke batas luar Axis Mundi.

Amilatura bergumam dalam hati. Terkadang ia benar-benar lupa untuk berhenti beberapa detik dan menyerap semua yang ia persepsi secara indrawi. Bahwa ia masih hidup dan bernapas, layaknya makhluk fana lainnya. Untuk bisa hadir sepenuhnya dalam apapun yang ia jalani saat ini.

Lain halnya dengan Basta. Dia tengah asyik mengejar seekor kupu-kupu pancawarna yang tadi hinggap di atas kepalanya seraya terkekeh-kekeh—meskipun kakinya agak tertatih-tatih. Biasanya dulu saat melatih sang Ilari, Amilatura akan menegur dan menceramahinya berulang kali perihal distraksi. Rentang perhatiannya bisa dibilang di bawah rata-rata, tetapi setelah menghabiskan beberapa tahun dengannya, sang singa betina menjadi lebih terbiasa dan menerima perlakuannya yang agak kekanak-kanakan asal ia bisa fokus saat latihan. Setidaknya itu bisa ia terima.

Namun, soal Fenabria ... entahlah, sudah seratus tahun berlalu dan hatinya masih menginginkan seratus hari lebih lama di Hutan Talji dengan saudarinya. Fenabria telah menitipkan Hutan Talji pada Anglaik—sang Ilari setianya—sebelum berangkat ke Astralis. Selama perjalanan ia hanya berbicara jika sungainya bercabang atau Basta memerlukan istirahat beberapa menit. Tiap kali ia hendak berbicara padanya, kalimat-kalimat pembuka selalu saja tersekat di ujung lidahnya. Amilatura begitu khawatir jika ia kehilangan kepercayaan yang diberikan padanya sebagai pemimpin para Alaritar.

"Ooh, Puanku, kita hampir di sana!" sorak Basta kegirangan seraya mengibas-ngibaskan ekor hitamnya.

Amilatura menengadahkan pandangannya ke atas dan melihat sebuah pohon raksasa yang menjulang tinggi di atas bukit. Ia semestinya bisa menyaksikan kumpulan dedaunan azura keperakan dan vermillion keemasan melambai-lambai tertiup angin dingin dari Karkosir. Pun dengan bunga-bunga merah muda yang menyiratkan cahaya dwiwarna pada pastura di sekitarnya.

Hanya saja, ia tidak bisa bersaksi atas apa yang ia bayangkan.

Seluruh bukit Arborvitae diselimuti warna hijau dengan bercak-bercak kecoklatan—seperti robekan kertas putih yang disemburkan di atas cairan jelaga. Bercak-bercak itu tak lain adalah guguran daun dari kanopi Arborvitae. Begitu banyak jumlahnya hingga seluruh bukit seakan-akan menjadi kanvas kosong yang ternoda.

"Demi Unus," sahut Fenabria, "engkau menyaksikan ini, 'kan, Mil?" Ia menatap tidak percaya pada hamburan dedaunan di sekitar Arborvitae. Seumur-umur belum pernah Arborvitae merontokkan sayap-sayap dwironanya sebanyak ini, bahkan pada saat musim gugur sekalipun. Kenapa harus sekarang?

"Ya, sejelas matahari," pungkas sang singa betina. Hatinya merasa pedih.

Jika dilihat lebih lanjut, pada salah satu bercak tersebut ada satu titik kuning keemasan yang menyala-nyala. Amilatura mencoba memalingkan pandangannya pada sisi bukit yang lain, tetapi tidak ada tanda-tanda dari titik kuning itu yang bermunculan di mana-mana.

Tunggu. Titik kuning? Tanpa Amilatura sadari, dahinya mengernyit dan mulutnya terbuka sedikit. Sayapnya perlahan ia lipat ke belakang. Langkahnya semakin ia percepat. Jantungnya mulai berdegup kencang.

"Yang Mulia? Jangan cepat-cepat, tolong!" gerutu Basta, tetapi sang singa betina tetap saja mulai berlari menuju salah satu akar besar Arborvitae.

Dengan lincah Amilatura meloncati bebatuan di sekitar Sungai Ilkar dan meluncurkan dirinya untuk bergerak zig-zag seraya menjaga keseimbangan. Pahanya masih terasa seperti ditusuk-tusuk jarum kecil. Semestinya untuk ukuran Alaritar, luka tersebut sudah sembuh sebelum fajar. Apa ini memang efek samping dari proses pemfanaan dirinya? Pergerakannya jauh lebih terbatasi dalam tubuh ini. Ia benar-benar tidak bebas melayang dan menembus apa saja secara bebas, berbeda ketika wujudnya berupa gumpalan energi murni.

"Amila, tunggu!" pinta saudarinya di kejauhan. Suaranya nyaris terdengar sayup-sayup jika bukan karena pendengaran spektakulernya.

Amilatura mencengkeram akar yang sudah dipanjatnya erat-erat dan kembali memandang ke seberang bukit. Ia lambat laun menyadari bahwa apa yang dilihatnya bukanlah sebuah titik kuning keemasan saja, akan tetapi sepasang sayap kelelawar besar dan dipenuhi corak aurum. Tidak, bukan sayap kelelawar. Sayap seekor naga.

Ia—ia bisa melihatnya dengan jelas sekarang. Empat tanduk kukuh berwarna perunggu melintang di kepala naga tersebut, sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik-sisik keemasan. Tidak salah lagi!

Amilatura lambat laun mengerem pergerakan kaki-kakinya yang sedari tadi dipacu oleh adrenalin. Anehnya, ia ingin sekali putar balik dan terbang dari sana. Ia belum siap. Ia belum siap mengelus wajah reptilian naga itu dengan kedua netra azuranya sekaligus. Ia tidak siap membiarkan luka lama di pelupuk hatinya kembali mencuat dan meronta-ronta. Ia enggan mengungkat-ungkit kesalahannya seabad lalu dan hendak bersimpuh di hadapan sang naga. Seketika ia menyesal karena sudah meninggalkan Basta dan Fenabria jauh di belakang.

Telinga naga aurum itu berangsur-angsur berdiri mendengar derap langkah sang Ibunda Alaritar. Kepalanya yang menengadah ke atas kanopi Arborvitae turun hingga selevel dengan bahu. Sang naga kemudian memutarkan badannya untuk menghadap Amilatura.

Kedua mata mereka saling bertaut.

"Selamat datang kembali, Kakak," ucap sang naga dengan senyum hangat.

Seketika itu, waktu seakan-akan berhenti hanya bagi mereka berdua.

AlaritariumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang