Chapter 5 | Money Tragedy

42 19 0
                                    

Ini sudah mulai tegang, kawand! Wehehehe, Bisa di-play musiknya biar nambah menghayati :D Happy reading!

_____

15 February at 01:46 AM, Inside Gardandila Apartment

Seraya menunggu pintu lift terbuka, Shean menatap lekat bergepok-gepok uang di dalam paper bag. Tak kerjap sekalipun kedua matanya melihat banyak sekali uang-uang yang baru pertama kali ia genggam dengan tangannya sendiri. 'Uang ini banyak sekali. Aku lupa siapa namanya tapi yang jelas, terima kasih, tuan baik hati. Suatu saat akan kubalas kebaikanmu.'

Tak lama pintu lift terbuka. Langkahnya memasuki lift dan telunjuk kirinya menekan tombol untuk menutup pintu lift. Ketika telunjuknya hendak menekan tombol bertuliskan F.4 (Floor 4), kesepuluh jari Shean tiba-tiba tremor seakan-akan enggan untuk menuju F.4. Dia mencoba berpikir agar lebih tenang. 'Dari pada semakin lama berada di luar (apartemen), aku akan kena masalah semakin besar. Jadi, tenangkan dirimu, Sheanne Lawson.' Akhirnya itikad untuk menekan tombol F.4 terlaksana. Shean langsung melangkah mundur ke pojok kanan lift seusai menekan tombol.

Lampu lift menunjukkan F.1, Shean mencoba mengatur nafasnya supaya sedikit lebih tenang. Lampu lift menunjukkan F.2, Shean masih berusaha mengatur nafasnya. Lampu lift menunjukkan F.3, nafas Shean memburu, detak jantungnya berpacu sangat cepat. Hingga lift berbunyi 'ting' menandakan posisinya sudah berada di F.4. Nafas Shean terhenti sejenak.

Hatinya berkomat-kamit dipenuhi kata-kata doa. Pintu lift terbuka sedikit demi sedikit sampai terbuka menyeluruh. Kedua kaki tanpa beralaskan apapun melangkah keluar dari lift dengan sangat hati-hati. Mengedarkan pandangannya dari lorong kanan dan kiri. Masih aman. Langkahnya kembali bergerak menelusuri lorong sebelah kiri.

Keringatnya mulai bercucuran deras, nafasnya sedikit berat. Berkali-kali dia harus menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang kering akibat nafasnya menderu cepat. Hingga tiba saat derap kaki tanpa alas itu terhenti tepat di depan kamar bertuliskan angka 134. Serangan panik muncul saat itu juga. Rasa takut begitu hebat mendominasi mengakibatkan jemarinya bergetar dan berkeringat dingin saat mengetuk pintu tersebut.

Satu detik, dua detik, tiga detik terlampau. Tidak ada jawaban maupun balasan dari dalam sana. Shean penuh waspada mengetuk pintu kembali. Kali ini lebih keras. Pada ketukan ketiga, gagang pintu bergerak. Secara otomatis, Shean terperanjat hingga mundur beberapa senti ke belakang. Matanya membulat sempurna dan mulutnya terkatup rapat.

Daun pintu mulai terbuka disertai dengan suara derit pintu memberi atmosfer horor. Terlihat sesosok pria berkali lipat lebih tinggi dari Shean menyambut gadis itu penuh makna tersirat. Perawakan pria berjanggut tipis, rambut berantakan, dan dada bidang tersebut tersenyum lebar. Mata menyipit dan tercium bau menyengat alkohol dari tubuhnya.

Shean tidak membalas senyuman pria itu. Yang hanya bisa dilakukannya adalah berdiri mematung dengan tatapan ketakutan. Seperti berhadapan dengan seekor aligator yang begitu besar.

"Ada apa, sayang? Kenapa kau berdiri saja? Masuklah," masih dengan senyum lebarnya melambaikan tangan untuk gadis di hadapannya.

Bak robot yang sudah diprogram sesuai perintah user, Shean menuruti perintah lelaki itu. Langkahnya masuk menelusuri ruangan. "Selamat datang, sayangku," bisik pria itu di dekat telinga kanan Shean dan hal itu membuatnya bergidik ngeri.

'Celaka aku.'

***

"Aku hanya pergi sebentar, Keith. Sungguh!" Suara Shean bergetar.

Keith memukul dengan baton tepat pada betis kanan Shean. "Siapa yang mengajarimu berbohong? Sejak kau menjatuhkan lemari itu hingga jam setengah 11 malam, kau tidak ada! Pulang-pulang membawa obat dan uang yang banyak ini. Cepat katakan padaku, Jalang! Habis dari mana saja kau?!"

Beautiful Flowers: Always Got Picked UpWhere stories live. Discover now