09. kilas balik

149 3 0
                                    

Selama aku tak sadarkan diri. memori tentangku yang membully Vivian-nama anak yang sudah menusukku hingga aku sampai disini. Berputar bagaikan film lama tetapi setiap peristiwa dan kejadiannya begitu jelas teringat. Bagaimana caraku menyiksa Vivian karena ucapannya menilaiku seenak hati dan membuatku sangat marah padanya hingga sampai membully-nya. Bahkan, pembully-an yang dilakukan anak-anak kepadaku tidak ada apa-apanya dengan yang kulakukan dulu pada Vivian. Aku memberikan tikus mati dimakanan Vivian saat istirahat. juga, saat dikelas aku akan memberikan uang satu juta per-orang yang bisa membuat Vivian dihukum, bahkan dimarahi oleh guru. bahkan tidak jarang Vivian tidak bisa mengikuti pelajaran penuh. Pulangnya pun, aku akan mengajak teman-temanku untuk memukulinya.

"Hei sayang, bagaimana namaku? Indah bukan, kau sangat ingin tau namaku. Kan?"

"Tidak perduli, dan pergilah dari sini!" Whiter jadi kesal sendiri dengan kehadirannya, lagian untuk apa juga dia datang dan kenapa selalu menempel pada Whiter seperti ini sampai Whiter muak dengan wajahnya dan membalikkan badannya.

"Kau ini, aku sudah bersusah payah untuk datang. Mana ada yang boleh datang jam segini kau tau?" Rengek Axelas seperti anak kecil membuat Whiter membalikkan lagi badannya menghadap Axelas "Mangkanya pergilah, kepalaku mulai pusing lagi."

"Aku mengerti sekarang, kenapa saat itu. Kau melihat remeh padaku." Axelas tersenyum penuh arti mengatakannya sambil melihat Whiter yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit.

Whiter terdiam sejenak sambil berpikir sebelum menjawab, "saat itu?" Axelas memiringkan kepalanya juga mengangkat sebelah alisnya lalu menjawab. "Saat aku hendak turun dari kamarmu yang tinggi. Aku pikir kau aneh tidak terpesona, setelah tindakanmu saat ini, pantas saja tidak terpesona."

Axelas terdiam sebentar memikirkan kata yang cocok lalu secara tiba-tiba mendorong diri untuk lebih dekat dengan Whiter dan kini bibirnya berada ditelinga Whiter berbisik lirih. "Kau lebih gila dariku."

Whiter langsung menatap Axelas membuat wajah mereka berhadapan satu sama lain. Jarak mereka sangat dekat hingga mereka bisa merasakan deruan nafas masing-masing menyapa pipi mereka-Terlihat sangat romantis. Tetapi jika merasakan aura dari tatapan mata mereka, mereka memiliki kobaran kebencian terhadap masing-masing.

***

Saat itu usiaku 10 tahun. Ayahku sakit dan tidak bisa bekerja untuk menghidupi keluarga kami, setiap harinya, lbuku marah-marah karena Ayah yang hidup menyusahkan dengan penyakitnya. Saat itu, aku tidak membela Ayah sedikitpun bukan karena takut dengan amarah Ibuku tapi aku bersependapat dengan Ibuku. Aku juga berpikir Ayah hanyalah beban bagi kita, dia sudah tidak bisa bekerja, mencari uang untuk kami makan. Tidak jarang, kami kelaparan karena Ayah yang sakit-sakitan.

Semakin hari, penyakit Ayah semakin parah. Dia mulai kesusahan untuk berdiri dari tempat tidurnya. Terkadang aku menolongnya untuk ke kamar mandi.

Usiaku 12 tahun, Ayah meminta tolong padaku untuk ke kamar mandi. Aku turuti menolongnya, sambil menggerutu dan tidak tahu kebodohan apa yang sudah keperbuat sampai aku masih menyalahkan diriku sendiri sampai sekarang. Aku berucap dengan sangat keras agar Ayah yang sedang dikamar mandi mendengarnya. "Aku benci hidup bersama Ayah, jika Ayah mati dan Ibu bisa menikah dengan orang kaya mungkin hidupku dan Ibu bisa bahagia."

Setelah ucapan itu, tidak terdengar suara air lagi, aku pikir Ayah sedang buang air besar. Ini sudah terlalu lama, aku gedor dan kudobrak, dengan mudah karena pintu kamar mandi sudah usang. Aku kaget sampai terjatuh, Ayah bunuh diri menggunakan ujung sikat gigi yang sudah dikikisnya.

Hidupku dipenuh rasa penyesalan yang teramat hingga aku sering bermimpi hal itu lagi dan lagi. Seperti sekarang.

Aku terbangun, lalu meminum air putih dimeja nakas dan membuka laci kecil yang didalamnya terdapat foto ayahku yang tersenyum sangat manis. "Ayah, Redera kangen."

Antagonis vs AntagonisМесто, где живут истории. Откройте их для себя