Prologue

552 24 8
                                    

"Aku udah bilang berapa kali, sih, Mas? Kalau misalnya kamu nggak ada uang, jangan maksa bayar. Biar aku aja!"

Fendi Lukman Hakim menghela napas berat saat omelan itu harus kembali ia dengar dari pacarnya—Taria Anas Tasya. Ini sudah kesekian kalinya dalam hubungan mereka perdebatan konyol ini terjadi hanya karena masalah tempat makan. Ralat—bukan cuma sekedar tempat makan, melainkan Ria yang gemar mengomel hanya karena tak sependapat dengan Fendi yang uangnya cukup untuk sekedar makan di pinggir jalan.

Sebagai anak kuliahan, uang Fendi hanya cukup untuk menraktir Ria pecel ayam sepuluh ribuan. Apalagi mengingat dirinya yang hanya pekerja di sebuah coffeshop. Sementara cewek itu maunya makan di tempat mewah. Ya mana ada ia uang segitu?!

Diajak jalan salah, enggak diajak jalan makin salah. Fendi benar-benar risih dengan hubungan cinta monyetnya yang ribet ini. Apalagi mengingat Ria itu anak baru gede yang saat ini duduk di bangku SMA. Pikirannya masih labil, dan Fendi tahu itu. Mereka terpaut jarak 6 tahun. Hanya saja, di sini orang tua Ria memang sangat berada. Berbeda dengan dirinya yang berasal dari keluarga sederhana. Perbedaan usia dan status ekonomi antara mereka tentu menjadi suatu penghalang dari hubungan tersebut. Fendi tahu resikonya sejak awal. Hanya saja dia benar-benar jengah. Bosan dirinya dengan suasana hubungan yang seperti ini saja setiap harinya.

"Ya udah, besok-besok kita pacarannya lewat telfon aja. Nggak usah jalan kayak gini!"

Ria membelalakkan matanya. "Kok malah kayak gitu, Mas?!"

"Ya terus kamu maunya gimana? Duit aku cuma dua puluh ribu. Sepuluh ribunya lagi isi bensin!"

"Astaga. Kok kamu malah perhitungan, sih, Mas?!"

Fendi mengacak rambutnya frustrasi. "Siapa yang perhitungan? Aku cuma jujur di sini!"

"Itu namanya perhitungan, Mas. Pakai segala sebutin sisa harta kekayaan kamu di dompet. Kan udah aku bilang. Aku aja yang bayarin. Kamu malah sosoan nolak. Selalu gitu. Padahal aku kan niatnya baik, bantuin kamu aja."

Ya mana bisa begitu! Gengsi, dong, cowok makannya dibayarin!

Fendi benar-benar tidak habis pikir dengan pacarnya itu. Di matanya Ria itu ribet. Semuanya harus sesuai mau cewek itu. Lagi pula, setelah menghabiskan waktu bersama selama mereka pacaran, makin ke sini Fendi menyadari jika mereka semakin tidak satu frekuensi. Ria harus diperlakukan like a queen. Keluarganya juga penuh tuntutan. Terlebih status backstreet mereka dari keluarga Ria yang menentang mereka.

Fendi tiba di titik lelahnya ....

"Kamu tahu nggak, sih? Aku tuh lagi bokek, Ri. Uangku pas-pasan buat kebutuhan penting. Kan kamu tau aku belum gajian. Mana kamu yang katanya selalu ngertiin aku? Tolong jangan egois!" gerutu Fendi berkomat-kamit.

"Ya kan dompetku ada. Kamu itu kayak sama siapa aja. Nggak usah bilang aku egois segala. Aku juga gini demi kebaikan kita...."

"Nggak begitu konsepnya, Ri. Aku tuh cowok. Pas kita nikah nanti aku yang nanggung semua kebutuhan kamu. Aku nggak mau harga diri aku diinjak sama orang lain karena mereka pikir aku bergantung hidup sama kamu. Apalagi di mata Bunda kamu!"

"Ya ampun, ribet deh! Masalah makan aja kamu sampai ungkit harga diri! Kenapa malah larinya ke Bunda sih?!"

"Karena bagi aku harga diri itu penting!"

"Tapi, Mas. Aku beneran nggak masalah bayarin kamu. Asal kita bisa jalan kayak gini dan kamu punya waktu buat aku. Kalau nunggu kamu punya uang, kapan kita jalannya? Kamu bahkan nolak terus pas aku ajak jalan-jalan. Alasannya kerjaan, lah. Tugas, lah. Banyak tau alasan kamu buat nolak aku," lirih Ria, sedih.

Jujur, Ria merasa serba salah di mata lelaki itu. Fendi itu gengsinya selangit. Padahal, menurut Ria ia juga tidak telralu berlebihan di sini. Cuma sekedar membayari makan dan minum kecil-kecilan. Kalau menunggu Fendi yang bayar, ya contohnya sekarang. Ria kesal karena cowok itu membatas-batasi selera makannya. Sudah tahu makan Ria itu banyak, enggak akan kenyang makan nasi secuil dan ayam yang banyakan tulang seperti ini!

Makin ke sini Fendi sangat menyebalkan. Cowok itu berubah seiring waktu. Yang katanya dulu akan mempertahankan cinta mereka mati-matian, sekarang lebih sering mengeluh dan marah-marah kepadanya. Namun ia tetap bertahan dengan cowok itu karena cinta dan Fendi yang lebih dewasa darinya. Alasan klise.

"Susah memang sama orang yang nggak sepemikiran sama aku!" Fendi kembali bersuara. Kali ini nada bicaranya terdengar menyindir.

"Bentar, deh. Maksud kamu apa bilang gitu? Kamu nyesel pacaran sama aku?"

Fendi mengangkat bahunya. "Kayaknya sih."

Ria meremas kedua tangannya. Kata-kata itu sangat menyakitkan untuk ia dengar.

"Setelah delapan bulan, baru sekarang kamu bilang nyesel sama aku? Kenapa, Mas?"

"Ya gimana? Baru kerasa sekarang."

"Terus kamu mau apa?!"tantang Ria.

Fendi menjawab dengan enteng, "bagusnya gimana ya? Kalau udah nggak cocok, bagusnya kita ngapain?"

Rahang Ria hampir jatuh mendengarnya. Jadi, cowok ini secara tidak langsung memutuskannya? Perasaan ria terobrak-abrik. Harapannya yang setinggi angkasa itu terjun ke kerak bumi.

Jadi ini yang katanya mau memperjuangkan restu Bunda? Baru delapan bulan saja lelaki itu sudah angkat tangan.

Ria tersenyum miris. Lagipula, percuma mempertahankan seseorang yang ingin lepas darinya.

Maka dengan wajah tegar Ria menjawab. "Fine. Kita putus."

Please, tahan aku, Mas. Ngemis balikan sama aku. Eh, kok diam, anjir. Ngomong dong—

"Oke. Kita usai di sini. Makasih waktunya delapan bulan ini, ya?"

Dan hubungan yang mereka jalin delapan bulan lamanya itu usai begitu saja dengan alasan paling konyol yang pernah ada. 

Sialan, Dia [COMPLETED]Where stories live. Discover now