Bab 3

421 22 8
                                    

Semalam Fendi tidak bisa tidur. Pikirannya berkelana pada Ria yang menyapa anak kecil semalam. Mereka tampak akrab. Bisa jadi itu anak Ria, 'kan? Kegelisahan ini hanya akan berakhir kalau ia bertanya langsung pada gadis itu. Tapi apa haknya bertanya seperti itu?! Dan Fendi tahu hal ini mustahil baginya.

Membenarkan dasinya yang terasa longgar, Fendi pun keluar dari mobilnya sesampainya di pekarangan kantor. Ia langsung disambut pemandangan Ria yang kebetulan juga baru datang. Mereka berpapasan. Mata Fendi menyipit memerhatikan seragam Ria yang entah kenapa membuat dirinya jengkel.

"Pagi, Pak Fendi," sapa Ria ramah.

Fendi memalingkan wajah ke arah lain dan segera berdeham canggung. Ia pun membalas sapaan Ria.

"Pagi juga. Ohya semalam kamu nggak pulang pakai driver kah?"

Sialnya, sapaan itu bertepuk sebelah tangan. Ria berjalan lebih dulu meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaannya barusan.

Fendi merasa jengkel. Berani sekali gadis itu mengacanginya!

Dan yang aneh lagi, kenapa dirinya bisa merasa jengkel dikacangi? Hal itu wajar-wajar saja, bukan? Hei, tolong ingatkan Fendi kalau sekarang hubungan mereka tidak lebih dari sekedar permantanan!

***

"Dasar SPG sombong. Saya transfer puluhan juta sekarang pasti kamu juga mau melayani saya. Munafik!"

Fendi yang baru saja sampai di kantin kantor untuk makan siang itu menghentikan langkahnya kala mendengar suara ribut-ribut di dalam sana. Menyipitkan mata, dapat ia lihat Ria sedang dikerubungi oleh kawanan bapak-bapak.

"Saya di sini kerja. Silakan cari wanita lain yang bisa Anda rayu semau Anda!" Ria tampak melawan, namun lelaki itu lebih dulu mencekal tangannya sebelum Ria pergi dari meja itu.

"Kamu butuh nasabah, 'kan? Saya mau jadi nasabah kamu. Asal kita pergi karaoke nanti malam. Saya juga bisa ajak semua teman-teman saya untuk jadi nasabah kamu. Jangan terlalu jual mahal begini. Harga diri kamu juga nggak sebanding sama isi dompet saya! Hahahha!"

Kuping Fendi terasa panas mendengar hal itu. Ia tidak bisa membiarkan Ria menjadi bulan-bulanan Om hidung belang itu lebih lama. Alhasil ia hampiri mereka dan menggebrak meja tersebut. Pemandangan itu sukses menggegerkan semua orang yang ada di sana, termasuk Ria yang kini memandangi Fendi dengan sorot kaget.

"Kalian nggak dengar dia bilang apa? Kalau dia nggak mau nggak usah dipaksa!" sentak Fendi.

Bapak-bapak itu terlihat kaget. Raut sombong mereka berubah ketakutan dalam hitungan detik.

"P—Pak Fendi, sedang apa di sini?" tanya pria itu kikuk.

Fendi pun menarik tangan Ria untuk ia sembunyikan di belakang badannya. Ria menurut saja. Gadis itu juga ketakutan menghadapi bapak-bapak itu.

"Ini kantor saya. Saya bebas mau ke mana saja yang saya mau! Justru saya menyayangkan tindakan tidak sopan kalian. Kalian mau kerjasama perusahaan kita batal?!" hardik Fendi.

"Jangan, Pak. Saya cuma nanya-nanya sama Mbak ini. Saya—"

"Kalian tahu dia siapa?!" Fendi mempertegas ucapannya. "Dia teman saya. Beraninya kalian bertingkah tidak sopan dengan teman saya!"

"Maaf, Pak. Kami nggak tahu dia teman Bapak," ujar pria itu ketakutan.

Fendi mendengkus kesal. "Segera minta maaf sama dia, atau hubungan kerjasama kita berakhir sekarang juga?!"

Tanpa menunggu lebih lama, lelaki itu pun segera minta maaf pada Ria. Ria sedikit terkejut karena orang-orang itu mematuhi ucapan Fendi. Ia sendiri sampai gelagapan karena para pria itu menjabati tangannya.

"Maafin saya, Mbak. Saya janji nggak akan ulangin lagi...."

"Saya juga minta maaf, ya, Mbak, tadi udah nggak sopan."

Ria tersenyum canggung. "Iya, saya maafkan. Tapi lain kali jangan diulangi."

"Sudah 'kan? Ayo kita keluar dari sini!"

Dan yang terjadi setelahnya adalah Fendi menarik tangan Ria untuk keluar dari kantin itu. Setibanya di luar, Ria langsung melepas tangan Fendi.

"Terima kasih," kata Ria dengan tangan yang masih sedikit bergetar ketakutan.

Fendi berdecih melihatnya. "Lagian kamu ngapain jadi SPG CC segala? Mana bajunya terbuka banget kayak gitu. Wajar kamu digodain sama mereka!" dengkusnya.

Ria mengembuskan napas berat. Ia tatap wajah Fendi dan berkata, "ini urusanku. Kamu nggak perlu repot-repot khawatir. Tapi makasih, ya, udah nolongin."

Cuma makasih? Seasing itukah mereka sekarang?!

"Kamu ... nggak mau bilang apa-apa sama aku?"

Ria mengerjap. "Apa?"

"Entahlah."

Ria mencoba tersenyum bijak. Katanya, "apa lagi yang mesti aku omongin sama kamu? Hubungan kita udah berakhir sepuluh tahun lalu. Dan sekarang roda kehidupan kita berputar. Kamu sukses, dan aku kebalikannya. Bukannya itu cukup untuk menggambarkan kondisi kita sekarang? Toh kamu juga kelihatan baik-baik aja."

Perkataan itu membuat hati Fendi terasa sakit. Ternyata benar ... mereka seasing itu. Bahkan sejak semalam hanya dirinya yang uring-uringan memikirkan Ria dan bocah yang bertemu dengan gadis itu.

Persetan dengan gengsi. Daripada ia mati penasaran, lebih baik ia tanya saja. "Kamu sudah menikah?"

Tepat setelah pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, Fendi mengutuk dirinya sendiri. Terlebih saat Ria berlalu begitu saja tanpa berniat menjawab pertanyaannya. Sumpah, harga diri Fendi serasa jatuh ke inti bumi. Serius dirinya dikacangi? What the hell! Pemilik bisnis startup, lho, dirinya saat ini!

Kesal, Fendi pun berniat mengejar Ria. Namun niat itu harus ia urungkan saat melihat Ria bergabung dengan rekan kerjanya.

***

Fendi tidak fokus kerja sepanjang hari. Sejak peristiwa kemarin, di mana ia menyelamatkan Ria dari kawanan lelaki hidung belang itu, tingkat penasaran Fendi pada gadis itu semakin menjadi-jadi. Dan hari ini ia kembali memperhatikan Ria. Entah kenapa wajah gadis itu menjadi fokusnya belakangan ini ....

Alam bawah sadar Fendi membawa kaki lelaki itu menuju booth Ria di samping gedung kantornya. Ia perhatikan gerak-gerik gadis itu dari kejauhan. Sudah hilang gengsi Fendi yang segede langit itu. Dan saat Ria memutar badan, Fendi buru-buru bersembunyi di balik dinding agar tidak ketahuan.

"Mau ke mana dia?" celetuk Fendi melihat Ria yang berjalan keluar kantor. Apa Ria sedang berniat makan siang di luar karena trauma dengan kejadian kemarin?

Alhasil, Fendi pun membuntutinya. Ternyata gadis itu pergi ke belakang gedung kantor untuk membeli siomai yang biasa mangkal di sana. Mata Fendi menyipit, memerhatikan Ria yang makan sendirian di sana. Tanpa sadar secuil senyum terbit di bibirnya. Pemandangan itu membuatnya de javu.

Kembali bayangan masa lalu berkutat di kepalanya. Lebih tepatnya bayangan sepuluh tahun lalu .... 

Sialan, Dia [COMPLETED]Where stories live. Discover now