Bab 8

412 23 8
                                    

Fendi berjalan buru-buru keluar dari lift. Tujuannya hanya satu, yaitu melihat Ria di booth. Sayangnya, booth itu sudah kosong yang menandakan pemiliknya sudah pulang.

"Permisi," Fendi memberanikan diri bertanya pada orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar sana. "Kamu lihat Mbak Ria, nggak?"

"Mbak Ria pulang udah dari tadi, Pak."

Detik itu juga Fendi menelan kekecewaan. Padahal tadi pagi ia sempat melihat Ria. Namun karena sikap gadis itu yang dingin padanya kemarin membuat Fendi mengurungkan niatnya untuk menyapa gadis itu. Fendi sendiri tidak tahu kenapa dirinya memikirkan Ria saat ini.

Berjalan tergesa menuju parkiran, Fendi pun memasuki mobilnya. Sulit bagi Fendi menyingkirkan Ria dari pikiranya. Senyuman gadis itu, cara bicaranya, gerakannya, semuanya hadir begitu saja dalam bentuk rentetan ingatan.

"Ternyata aku masih belum melupakan kamu," celetuknya.

"Fen!"

Sebuah suara yang berasal di belakangnya membuat Fendi menoleh. Itu Naina, anak dari pemilik bank sentral yang bekerjasama dengan perusahaannya. Tadi pagi Fendi sempat berbincang dengan Naina di lobi sewaktu ia tak sengaja melirik Ria.

"Iya?" Fendi yang hendak membuka pintu mobil itu menghentikan kegiatannya sejenak.

"Udah mau pulang aja?"

"Begitulah."

Naina menyibak rambut panjangnya ke belakang telinga. Wanita itu senyum-senyum sendiri ke arah Fendi.

"Aku juga mau pulang."

"Oh, gitu."

Naina cemberut mendengar respon Fendi. Namun seolah pantang menyerah, ia kembali berujar.

"Aku nggak bawa kendaraan hari ini, Fen."

Fendi mengangguk. "Mau aku pesankan taksi?"

Lagi, Naina berdecak. Ia terheran-heran melihat Fendi yang tidak peka itu. Padahal Naina mengode agar lelaki itu mengajaknya pulang bareng. Tapi kenapa Fendi diam saja? Naina kesal sampai ke ubun-ubun mendapat pengabaian begini.

"Nggak perlu. Aku bisa pesan sendiri. Aku cuma mau membahas sesuatu sama kamu sambil jalan pulang. Ini masalah pekerjaan. Bagaimana kalau kita membahasnya di restoran? Sekalian makan malam?"

Fendi dengan tegas menggeleng. "Maaf, Mbak Naina. Saya tidak suka membahas pekerjaan di jam santai saja. Kalau sudah jam pulang, artinya semua hal tentang pekerjaan juga selesai. Mungkin kita membahas besok saja di ruangan saya. Permisi."

Tanpa berbasa-basi, Fendi pun masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan Naina begitu saja. Naina melongo dibuatnya. Ia pikir tadinya Fendi bisa ia rayu. Nyatanya lelaki itu tega meninggalkannya sendirian di sini. Naina bahkan sengaja tidak membawa mobil agar bisa pulang bersama Fendi. Kalau begini ceritanya, dengan apa dirinya pulang?!

"Sialan! Aku nggak terima diginiin!" gerutu Naina berkomat kamit. Sayangnya gerutuan itu tidak terdengar oleh Fendi karena lelaki itu sudah pergi.

****

Fendi melajukan mobilnya menuju kawasan Cipete, tempat dirinya membuntuti Ria beberapa hari lalu. Entah angin apa yang menggerakkan Fendi hingga akhirnya lelaki itu sampai ke sini.

Lama Fendi duduk di dalam mobil, menatap ke arah luar jendela yang berembun karena gerimis. Ya. Sore ini hujan kembali turun membasahi bumi. Dan tiap tetesannya mampu membawa kembali sejuta kenangan masa silam antara dirinya dengan Ria.

Sepuluh tahun berlalu, ia pikir dirinya bisa melupakan Ria sepenuhnya. Namun ternyata usaha move on itu berakhir sia-sia saat Ria kembali ke hidupnya dalam versi dewasa. Fendi tersenyum kecut. Bahkan waktu mereka putus ia tidak semenyesal ini. Fendi dulu pernah bersyukur karena lepas dari Ria yang ia pikir merepotkan dan banyak maunya.

Namun berselang sebulan, dua bulan, bahkan berbulan kemudian, barulah sakit karena putus cinta itu terasa. Apalagi waktu itu Fendi dalam keadaan ekonomi yang benar-benar rendah. Biasanya Ria akan selalu mendengarkan keluh kesahnya lewat telfon, atau bertemu langsung. Namun sejak putus Fendi kehilangan rumah pulangnya. Dan itu yang Fendi sesali sampai saat ini.

"Aku minta maaf ...." bisik Fendi entah pada siapa.

"Aku benar-benar nyesal, Ri. Bahkan sampai saat ini ternyata perasaanku masih sama. Masih ada kamu di hatiku."

Sayangnya Ria tidak bisa mendengar semua yang a katakan dalam sepi. Gadis itu benar-benar pergi. Dan esok entah bagaimana cara Fendi bertemu lagi dengannya.

Berjam lamanya Fendi menunggu di sana, berharap sosok Ria keluar dari gang kecil itu. Namun sayangnya, meski sudah menunjukkan pukul delapan malam pun sosok yang ia tunggu tak kunjung menampakkan wajah. Fendi galau berat. Ingin rasanya ia kitari kawasan ini hanya untuk mencari Ria.

"Apa aku masuk aja ke gang kemarin?"

Mengangguk mantap dengan pemikirannya, Fendi pun mengambil payung dan mencoba turun dari mobilnya. Persetan dengan gengsi, daripada ia mati penasaran, lebih baik ia cari saja gadis itu.

Perlahan langkah Fendi menapak di jalanan nan basah dipenuhi becekan itu. Percikan air hujan mengenai celana mahalnya. Namun hal itu tidak sedikit pun mengurungkan niatnya untuk mencari Ria. Maka Fendi masuk ke gang sempit itu. Sampai akhirnya ia tiba di tempat di mana waktu itu ia melihat Ria bertemu anak kecil.

Langkah Fendi terhenti. Ia melupakan sesuatu, yaitu anak kecil yang bersama Ria kemarin. Menepuk jidatnya, Fendi akhirnya memutuskan untuk keluar dari gang itu dan kembali ke mobilnya. Wajahnya murung, ditekuk lemas. Pikirannya kembali kacau karena mengira Ria sudah memiliki anak. Apa jadinya ia menemui Ria malam-malam begini? Sudah pasti suami gadis itu akan merasa terusik, pikirnya.

"Aku mikir apa, sih? Maafin aku, Ria. Aku hampir mengganggu rumah tangga kamu," celetuk Fendi sebelum akhirnya melajukan mobilnya menjauhi kawasan itu.

Sialan, Dia [COMPLETED]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ