Bab 9

412 23 8
                                    

Sepuluh tahun lalu ....

Derasnya guyuran hujan sore itu membuat sepasang manusia yang tengah menikmati kebersamaan itu terpaska harus mencari tempat berteduh agar badan mereka tidak basah. Fendi, lelaki itu membuka jaket yang ia pakai, lantas ia rentangkan ke kepalanya dan kepala Ria. Ria mendongak, lantas melirik Fendi bingung.

"Terus kamu gimana, Mas? Masa jaketnya dibuka?"

"Jangan pikirin aku. Kamu lebih penting. Aku nggak bisa biarin kamu sakit kena hujan gini."

Ria tertegun mendengarnya. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum yang sangat indah di penglihatan Fendi.

"Ayo kita cari tempat berteduh!"

"Iya!"

Mereka pun berlari-lari mencari tempat berteduh di area kawasan Dufan—tempat Fendi mengajak Ria bermain guna mencari insipirasi untuk lukisan Ria. Ria memeluk pinggang Fendi untuk mendempetkan tubuh mereka. Sepanjang jalan yang mereka lalui, sebanyak itu juga keduanya saling tertawa menikmati permainan hujan.

"Neduh di sini aja, yuk?"

Akhirnya mereka sampai di sebuah gedung istana boneka yang kebetulan sedang direnovasi. Ria menurut. Ia biarkan Fendi menarik tubuhnya ke teras gedung itu.

"Basah, ya, rambunya?" tanya Fendi khawatir. Ia usap-usap rambut Ria, membuat gadis itu menatapnya lurus-lurus karena kini wajah mereka berdekatan.

"Mas juga basah," balas Ria. Tangannya terulur menyentuh rambut Fendi.

Kala pandangan mereka bertemu di titik yang sama, di sanalah mereka saling terdiam dan memandangi satu sama lain. Fendi menatap lekat-lekat manik nan indah itu. Wajah Ria imut. Sangat enak untuk dipandang. Fendi rasa jika ia menatap wajah Ria seharian pun tidak akan membuat dirinya bosan. Dan wajah itu juga yang selalu hadir di pikirannya belakangan ini.

"Cantik," pujinya tanpa sadar.

Ria tersenyum malu, membuat Fendi buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain karena salah tingkah.

"Kamu barusan muji aku, Mas? Kenapa malu-malu gitu, hm?"

Wajah Fendi merona. Terlebih saat ia rasakan Ria meraih tangannya ke dalam genggaman.

"Ayo duduk," ajak Ria.

Fendi pun mendudukkan Ria di depan pintu istana boneka itu. Ia pakaikan jaketnya ke tubuh Ria agar tubuh gadis itu tidak kedinginan. Beruntung jaket Fendi berbahan parasut di bagian dalamnya sehingga air hujan yang tadi mengenai sisi luar jaket tidak merembas ke dalam.

"Kok jaketnya dikasih ke aku? Kamu juga kedinginan, Mas."

Fendi memeluk lengannya sendiri. "Aku udah biasa. Kamu tuh cewek. Gampang sakit. Jadi kamu yang lebih butuh."

Ria tersentuh mendengarnya. Bersama lelaki ini ia merasa aman dan dilindungi. Fendi sangat sopan padanya. Lelaki itu memperlakukannya dengan lembut selama ini. Bagi sosok Ria yang merupakan anak bungsu—yang orang tuanya selalu sibuk dan kakaknya berkuliah di luar negri—tentu mendapat perhatian dari lelaki yang lebih dewasa darinya ini seakan membuat Ria merasakan punya seorang sahabat, kakak, dan teman sekaligus. Pesona Fendi nyatanya mampu membuat Ria yang kala itu masih remaja jatuh cinta.

Semakin hari, semakin besar pula rasa itu.

"Pinjem tanganmu sini."

Ria melirik tangannya yang digenggam oleh Fendi, kemudian digosok-gosok oleh cowok itu.

"Biar hangat," sambung Fendi seakan mengerti isi pikiran Ria.

Jeda.

Suara rintik memenuhi pendengaran mereka. Dan kalau saja mereka lebih peka, mungkin mereka bisa mendengar suara detak jantung masing-masing karena keduanya saling deg-degan menikmati momen ini.

Sialan, Dia [COMPLETED]Where stories live. Discover now