Bab 4

418 22 8
                                    

Sepuluh tahun lalu ....

Aroma semerbak kopi yang begitu pekat menemani suasana pagi Ria. Bunyi air yang diseduh itu menjadi bunyi yang menenangkan baginya. Menghembuskan napas panjang, Ria mencoba mencari ketenangan di tempat ini. Kafe yang ia pilih untuk sekedar menenangkan pikiran dan menyalurkan bakatnya. Ia memilih duduk di dekat pojok jendela, sehingga matanya langsung berhadapan dengan pemandangan di luar sana.

Kafe ini bergaya vintage. Cocok untuk rekomendasi anak-anak muda yang ingin mengerjakan tugas kuliah dan sekolah mereka. Salah satunya Ria penikmat fasilitas itu. Ia datang ke sini bersama buku sketsanya untuk sekedar mencari insipirasi.

Kembali Ria teringat semua permasalahan hidupnya di rumah. Sejujurnya, ini lebih tepat disebut ajang melarikan diri lantaran sang ayah tidak merestui hobinya. Jika Ria ketahuan masih suka menggambar diam-diam, pasti ayahnya yang merupakan pengusaha mebel itu akan merobek buku gambarnya.

"Ayah nggak suka kamu ngegambar kayak gini. Fokus sekolah, Ria. Kamu udah kelas sebelas sekarang. Gimana caranya kamu lulus jurasan kedokteran kalau kamu nggak belajar yang rajin? Papa sudah mahal-mahal bayar les kamu!"

Ucapan itu terniang di benak Ria. Bahkan saking berambisi memasukkannya ke jurusan keokteran, ayah Ria itu sampai mengikutkannya pelajaran tambahan walau ia baru duduk di bangku kelas dua.

Jangan tanyakan soal ibunya. Menjadi anak dari anggota dewan ternyata tidak seindah yang orang kira. Ibu Ria adalah salah satu dari anggota dewan itu. Dan kesibukannya menyebabkan Ria kurang kasih sayang. Sehari-hari ia diantar jemput dengan menggunakan jasa supir. Dan meski dirinya di sini anak bungsu sekali pun, tetap saja Ria kesepian karena kakaknya berkuliah di Australia.

Untuk mengatasi rasa kesepian sekaligus menyenangkan dirinya sendiri dengan melakukan hal yang disukai, sabtu pagi ini adalah hari bebas bagi Ria. Ia beralasan pergi ke rumah teman untuk belajar kelompok pada orang tuanya. Nyatanya ia malah melipir ke kafe ini.

"Espresso Machiato hangat untuk Mbak Cantik yang selalu sendirian ke sini."

Suara itu membuat lamunan Ria buyar. Ia tersenyum ramah kala barista itu mengantarkan secangkir kopi ke mejanya. Ah, bahkan saking seringnya ke sini, barista itu sudah hafal pesanannya. Ria tidak perlu repot-repot menuliskannya di buku menu karena lelaki ini paham apa seleranya.

"Terima kasih, Mas ...."

Barista tersebut tersenyum ramah. "Sendirian lagi?"

"Iya. Aku selalu sendiri ke sini."

"Maaf, ya, kalau tadi pertanyaan saya menyinggung kamu."

"Enggak, kok. Kenyataannya aku memang selalu sendiri ke sini."

Sekilas ia melihat nama yang tertera di name tag seragam yang barista itu kenakan. Fendi. Ia mengeja dalam hati.

"Kalau gitu saya tinggal dulu, ya, Mbak. Selamat menikmati ...," kata Fendi ramah sebelum akhirnya berlalu dari meja Ria.

Tanpa sadar secuil senyum terbit di bibir Ria. Wajah cowok itu tampan juga. Kulitnya yang putih pucat, mata sipit yang ditutupi oleh kacamata, bibirnya yang tipis, rambut yang dipapas tipis namun tebal di bagian atasnya membuat Ria berpikir lelaki itu keturunan Tionghoa. Dan yang paling Ria suka dari lelaki itu adalah ... suaranya. Mendengar suara itu membuat jantung Ria bertalu-talu. Cowok itu memiki tipe suara bass yang rendah dan dalam. Dan itu berhasil membuat perasaan Ria tenang.

Ria menundukkan wajah, menatap sketsa gambarnya yang masih kosong. Sebuah ide terbesit di benak Ria. Mengambil pensilnya, Ria pun mulai menggambar sketsa wajah cowok itu untuk pertama kalinya. Ya. Si Mas barista!

Sayangnya, Ria tidak tahu kalau ternyata Fendi—Barista itu—merasa diperhatikan sejak tadi. Selesai membuatkan kopi untuk pengunjung lain dan mengantarkan ke meja pengunjung tersebut, Fendi melipir ke meja Ria.

"Halo, Mbak?"

Ria mengerjap kala Fendi tiba-tiba sampai di samping mejanya. Buru-buru ia tutup halaman buku itu karena takut ketahuan jika ia menggambar lelaki itu diam-diam.

"Ya, Mas?" Ria mencoba tenang.

"Maaf, kalau saya boleh tahu, kenapa dari tadi Mbak merhatiin saya terus?"

Matilah dirinya. Ia tertangkap basah memerhatikan cowok itu. Ah, pasti sekarang lelaki itu berpikiran yang tidak-tidak kepadanya.

"Maaf, Mas. Aku ... aku nggak bermaksud mandangin Mas," ujar Ria gugup.

Melihat hal itu membuat Fendi tersenyum. Ia memberanikan diri menarik kursi kosong di sebelah Ria untuk ia duduki. Lelaki itu duduk dengan posisi sedikit miring. Ia tumpu dagunya dengan tangan yang diletakkan ke atas meja.

"Kenapa, nih, mandangin? Saya ganteng ya?"

Muka Ria memerah mendengarnya. Dan entah kenapa hal itu membuat Fendi tersenyum gemas. Ternyata cantik juga ....

"Duh, bukan gitu, Mas. Aku cuma...." Menjeda ucapannya sejenak, Ria terpaksa mengambil buku gambarnya itu dan ia buka sketsa yang ia buat barusan. Ria menyerahkannya ragu-ragu, namun Fendi buru-buru meraih benda itu.

"Mas jangan marah. Tadi aku emang gambar muka Mas di situ. Maaf ...."

Alih-alih marah, Fendi justru tertegun melihat gambar yang dibuat oleh gadis itu. Ia berdecak kagum. Ditolehnya Ria dengan mata berkilat jenaka.

"Gambar ini ... kamu yang buat?!"

"Iya, Mas. Jelek ya?"

"Ini bagus banget," puji Fendi, membuat Ria yang ketakutan itu akhirnya perlahan mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca, pertama kali mendapat pujian dan apresiasi dari orang lain atas sketsa-sketsanya.

"Kamu kuliah? Jurusan seni rupa?" tanya Fendi memastikan.

Ria menggeleng. "Aku masih sekolah, Mas. Kelas dua SMA."

Fendi sedikit tercengang. Tidak ia duga si cantik ini masih SMA. Dan yang lebih membuatnya terkesima, bagaimana bisa anak itu menggambar sedetail ini? Ya meski dibilang untuk ukuran awam gambar tersebut tidak sebagus gambarnya yang merupakan mahasiswa design grafis. Timbul niat ingin mengenal gadis itu lebih jauh. Dan entah apa yang menggerakkannya, Fendi pun mengulurkan tangan memperkenalkan diri.

"Aku Fendi," ujarnya ramah, membuat Ria menatap lama tangan itu.

"Aku Ria ...."

Keduanya sama-sama tersenyum.

Dan setelahnya mengalirlah percakapan antara mereka. Fendi bercerita tentang dirinya yang merupakan seniman di kampusnya. Dan itu membuat mata Ria berkaca-kaca. Ia merasa tertarik minta diajari basic menggambar pada Fendi.

"Serius Mas ini mahasiswa seni? Kebetulan banget. Boleh, dong, kapan-kapan aku minta diajarin ngelukis?" pinta Ria penuh harap.

Fendi menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ah, gambarku juga nggak terlalu bagus."

"Tapi Mas pasti lebih tahu banyak dariku soal dasar-dasar menggambar. Kapan-kapan kalau Mas senggang, ajarin aku, ya?"

Fendi pada akhirnya mengangguk mengiyakan. "Iya, nanti aku ajari kalau sabtu depan kamu mampir ke sini lagi. Oh ya ..." Mengeluarkan ponselnya ragu-ragu, Fendi pun menekan papan nomor. "Boleh minta nomor hapenya? Buat komunikasi aja, sih. Tapi kalau keberatan ngg—"

Belum selesai Fendi bicara, Ria mengambil ponsel cowok itu dan menuliskan nomornya di sana. Terbit secuil senyum di bibir Fendi. Senyum yang menjadi awal dari segalanya.

Awal perkenalan mereka di mulai ....

Sialan, Dia [COMPLETED]Where stories live. Discover now