Bab 7

417 23 11
                                    

10 tahun lalu ....

"Mau makan siomay nggak? Aku traktir."

Hari itu, sepulang kerja dari kafe, Fendi mengajak Ria pulang bersama. Dan kebetulan mereka belum makan. Oleh karenanya saat melihat tukang siomay nangkring di depan kafe tempatnya kerja, Fendi mengajak Ria makan sebentar. Ia baru gajian. Tidak ada salahnya menraktir anak itu walau bukan traktiran yang nominalnya besar.

"Bener nggak ngerepotin, Mas?" tanya Ria.

"Enggak. Aku emang pengen traktir kamu. Itu siomaynya enak banget. Kamu harus cobain," kata Fendi.

Ria mengangguk malu. Ia pun menurut kala Fendi membawanya ke gerobak siomay itu.

"Mang, siomaynya dua ya."

"Oke, Mas."

Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, akhirnya siomay mereka datang juga. Untuk pertama kalinya Ria makan siomay seumur hidupnya. Biasanya ia makan steak, pizza, burger, dan aneka makanan high class lainnya yang menjadi menu andalan di rumahnya.

Ria pun mencecap rasa kuah kacang itu dengan lidahnya. Berselang satu detik mata Ria berbinar-binar. Ia menelengkan kepala, menatap Fendi yang juga sedang melirik ke arahnya.

"Gimana? Kamu suka?"

Ria mengangguk riang. "Ini enak banget, Mas! Aku suka!"

Fendi merasa bersyukur kala itu. Bahkan hanya dengan melihat Ria makan saja Fendi sudah kenyang duluan.

"Kamu nggak makan? Ntar dingin, lho, siomaynya." Ria berujar.

"Habis sayang banget bidadari cantik gini dianggurin. Enaknya diperhatiin terus. Soalnya mukanya enak dipandang," gumam Fendi dengan suara khas serak dan dalamnya.

Ucapan Fendi itu sukses membuat Ria salah tingkah. Bibir perempuan itu berkedut hendak tersenyum. Dan hal itu merupakan pemandangan yang membuat Fendi semakin ingin mengenal sosok itu lebih dalam.

"Mending Mas makan daripada lihatin aku. Aku grogi," gerutu Ria.

Fendi terkekeh mendengarnya. "Iya udah, Mas makan. Selamat makan, Ria ...."

Dan setelah itu mereka benar-benar makan dengan tenang. Fendi sesekali melirik Ria, begitu juga dengan Ria yang tertangkap basah sedang melirik Fendi. Mereka sama-sama membuang wajah ke arah lain—tersipu malu.

Suap demi suap, akhirnya siomay itu ludes juga. Usai membayar, Fendi diajak oleh Ria menuju taman untuk mencari inspirasi. Fendi pun mengiyakan. Ia membawa Ria ke taman yang ada danau buatannya. Mereka duduk di di tepian danau seraya memandangi ciptaan Tuhan nan indah itu.

Nyaman. Satu kata yang mampu menggambarkan perasaannya pada Fendi saat itu. Berada di sisi lelaki ini membuat Ria merasa terlindungi. Semakin hari, kedekatan mereka semakin erat saja. Mereka bahkan tak segan bertukar cerita tentang kehidupan pribadi mereka masing-masing.

"Kapan-kapan mau main ke kampusku, nggak?" tawar Fendi.

Ria mengangguk riang. "Memangnya boleh, Mas?"

"Tentu boleh. Nanti kita ke ruang sekretariat seni. Aku tunjukin lukisan-lukisan bagus yang dibuat sama mahasiswa seni rupa di fakultasku. Mungkin bisa jadi insiprasi kamu juga."

Mendengar hal itu membuat Ria tersenyum senang. Tentu saja ia mau. Selama ini bahkan ia dilarang menyentuh alat-alat gambarnya oleh sang ayah. Dan mendapatkan sosok yang mau mendukung hobby-nya ini adalah suatu penemuan besar bagi Ria.

"Aku mau, Mas. Aku senang banget kalau kamu mau ajak aku. Makasih, ya."

Fendi tersenyum hangat. Wajah Ria, senyum wanita itu, kecariaannya, selalu menjadi semangat tersendiri bagi Fendi di tengah peliknya hidup yang ia jalani.

"Ngomong-ngomong, kamu rencana kuliah kedokteran apa nggak pusing? Apalagi kamu pernah cerita kalau ayah kamu yang pengen masukin kamu di kedokteran."

Ria terdiam mendengar pertanyaan itu. Sepoi-sepoi angin sore menerbangkan rambut mereka.

"Aku cuma menjalani hidupku aja, Mas. Kalau dipikirin, nggak akan maju-maju aku jadinya. Lagian Ayah benar. Kedokteran itu jurusan yang pasti dan terjamin. Aku harus bisa bedain hobi sama profesi. Jadi dokter pun nanti aku masih bisa ngelukis, kok. Kan ngelukis nggak terikat waktu," jelas Ria.

Fendi berdecak kagum yang kesekian kalinya melihat perempuan itu. Padahal gadis ini 6 tahun lebih muda darinya. Namun pemikirannya sangat dewasa. Jujur, rasa di hati Fendi makin besar dari hari ke hari setelah mengenal Ria lebih dalam.

"Aku kagum sama kamu," kata Fendi.

Ria terbatuk mendengarnya. "Ya? Aku salah dengar kah?"

"Enggak. Aku serius. Aku beneran kagum sama kamu. Pola pikir kamu sangat dewasa. Beda sama anak-anak seusia kamu."

Ria terkekeh. "Sayangnya kurang pergaulan, Mas. Nggak ada yang mau temenan sama aku."

"Terus aku nggak dianggap gitu?"

"Bukan gitu. Maksudku di taraf pertemanan."

"Berarti kita lebih dari teman?" goda Fendi.

Muka Ria memerah mendengarnya. Gadis itu merengut-rengut dengan suara yang kurang jelas. Dan itu menjadi suatu pemandangan tersendiri bagi Fendi.

"Aku bercanda, kok. Nggak usah tegang gitu mukanya."

"Siapa yang tegang, sih? Enggak, tuh. Aku biasa aja," elak Ria.

Fendi mencebikkan lidah. Tanpa sadar tangannya terulur mengacak puncak kepala gadis itu gemas.

"Iya deh biasa aja. Kalau gitu lihat aku, dong. Masa nunduk terus sih, anak kecil?"

"Ih, siapa yang anak kecil?" protes Ria.

"Ya kamu."

"Enggak, ya!"

Mereka pun bergelut bersama. Tawa Ria benar-benar lepas kala itu, dan itu semua karena ulah Fendi. Ria seakan menemukan dunianya sendiri. Dunia yang ia cari, yang mau menerima segala kekurangannya dan juga hobinya yang menurut ayah sangat tidak berguna itu.

"Makasih, ya, Ri...."

Ria yang sedang merapikan rambutnya karena ulah Fendi itu pun mengernyitkan dahi. "Makasih untuk apa, Mas?"

"Udah lahir ke dunia dan nemuin aku. Aku ngerasa punya semangat lagi buat jalani hidup ..."

Siapa sangka? Ucapan sederhana itu ... nyatanya mampu membuat Ria jatuh pada Fendi untuk kesekian kalinya. 

Sialan, Dia [COMPLETED]Where stories live. Discover now