Bab 2

434 22 8
                                    

"Sialan, Kenapa bisa ketemu dia sih?!"

Ria menggerutu sendiri sesampainya di dalam kamar. Meski telah sampai rumah, tetap saja rasa malu Ria enggan menghilang dari dirinya. Hal paling mengesalkan di dunia yang pernah ia temui adalah bertemu dengan mantan di saat keadaan dirinya sendiri semakin terpuruk. Bukankah itu perasaan normal yang dirasakan kebanyakan orang setelah bertemu mantan mereka? Please ... setidaknya ketemu itu waktu dia lagi cantik, kek. Masa ketemu pas dirinya sedang apes seperti tadi? Rendah sudah harga dirinya di depan mantannya itu!

Mengatur pernapasannya, Ria mencoba tenang. Setidaknya ini hanyalah sampai kegiatan itu berakhir. Lagipula dirinya cuma kerja. Dia tidak ada urusan lagi dengan Fendi karena mereka sudah lama putus. Jadi mau dirinya menjadi SPG dan Fendi bos sekali pun harusnya tidak berpengaruh pada pikirannya saat ini! Begitu pikir Ria.

Ah, omong-omong tentang Fendi, Ria kembali teringat dengan kenangan mereka berdua. Matanya reflek melirik ke arah nakas meja kerjanya yang berada di pojok ruangan. Tiba-tiba terbesit di benak Ria untuk melihat benda itu. Menghela napas panjang, Ria pun berderap ke meja tersebut, lantas membuka laci nakas dan mengambil satu foto usang yang ada di dalamnya.

Itu foto dirinya dan Fendi. Hanya satu-satunya foto yang tersisa karena semua kenangan tentang mereka telah Ria bakar sewaktu mereka putus dulu ...

Sebenarnya foto ini hampir bernasib sama seperti kawanannya yang lain. Hanya saja, Ria merasa iba membakar foto tersebut. Pose dirinya di gambar itu sangat cantik. Dan itu diambil pada waktu ulang tahunnya. Sangat memorable ...

"Udah sukses kamu sekarang, Mas," celetuk Ria tersenyum tipis. "Pasti sekarang siapa pun pacar kamu bahagia karena bisa kamu jajanin di tempat mewah. Ngak di pinggir jalan lagi kayak dulu. Eh, sekarang giliran aku yang hidup susah. Hidup sebercanda itu, ya, ternyata," kekehnya miris.

Meletakkan foto tersebut ke nakas, Ria kembali ke ranjangnya. Ia terus meyakinkan diri agar menghiraukan lelaki itu. Fokusnya di sini hanyalah mencari uang. Ada atau tidak adanya Fendi tidak akan berpengaruh untuk hidupnya!

***

Pukul delapan malam, acara hari ini akhirnya selesai juga. Ini sudah masuk hari kedua acara bazar amal itu dilakukan, dan untuk ke depannya sepertinya Ria harus stay di sini dalam waktu yang lebih lama lagi.

Ia telah berganti baju dengan baju biasa. Baju seragam seksi tadi telah berganti dengan kemeja panjang tangan dan celana jeans. Setidaknya Ria merasa nyaman mengenakan pakaian seperti ini.

"Ah, selesai juga!" ucap Ria kala selesai mengemasi booth.

Ia pun berbalik badan untuk berniat pulang. Tepat saat ia memutar badannya, ia dikejutkan oleh sosok Fendi yang entah sejak kapan berada di belakangnya. Lelaki itu juga tampak gelagapan seolah ketahuan mengintip dirinya secara diam-diam.

Sial! Kenapa harus ketemu lagi, sih?!

Tidak! Ia tidak boleh kikuk seperti ini. Ria harus membiasakan diri bertemu dengan Fendi yang sekarang menjadi atasan tidak langsungnya. Alhasil Ria pun memasang senyum lebar-lebar, bersikap masa bodoh dan pura-pura tidak terjadi apa-apa.

"Malam Pak Fendi, ada yang bisa saya bantu?" tanya Ria berusaha sesopan mungkin.

Fendi berdeham. "Sibuk kayaknya kamu? Gak pulang? Driver kamu mana?"

Ria megap-megap mendengar pertanyaan beruntun Fendi. Mencoba tersenyum, ia menjawab, "Ya, aku mau pulang. Selamat malam Pak Fendi."

Dan setelah mengatakan itu Ria berjalan keluar gedung. Tanpa gadis itu sadari, ternyata Fendi mengikutinya dari arah bekalang. Sebisa mungkin Fendi mengatur jarak agar niatnya ini tak ketahuan oleh Ria. Bisa diledek gagal move on darinya kalau ternyata ketangkap basah mengintili gadis itu.

Memasuki mobilnya yang ada di parkiran, Fendi pun berdiam di tempat, memerhatikan Ria yang tidak ada tanda-tanda memesan driver untuk pulang. Gadis itu malah berjalan kaki menuju jalan raya. Hal itu jelas membuat kening Fendi mengernyit bingung.

Merasakan tingkat penasarannya semakin dalam, Fendi pun melajukan mobilnya pelan-pelan untuk menyusul Ria.

"Dia jalan kaki? Apa nggak ada yang jemput? Malam, lho, ini!" gerutu Fendi berkomat-kamit. Ia ikuti saja langkah gadis itu. Sesekali pula Fendi mengerem mobilnya kala Ria menoleh ke belakang. Dan setelah gadis itu melanjutkan perjalanannya, barulah Fendi menggas mobilnya secara pelan-pelan.

Ini gila. Fendi bahkan tidak menduga dirinya akan sepenasaran ini dengan kehidupan baru Ria setelah sepuluh tahun mereka tidak bersua. Fendi berhasil dibuat takjub oleh gadis itu. Bagaimana tidak? Setahu Fendi, Ria adalah anak manja yang ke mana-mana selalu diantar jemput menggunakan mobil. Diajak jalan sedikit saja gadis itu sudah mengeluh duluan. Dan sekarang malah Ria berjalan kaki dengan jarak sejauh ini. Fendi bahkan terkejut saat sadar driinya sudah berada di depan stasiun MRT. Setahu Fendi stasiun itu berjarak hampir kilo dari arah kantornya.

Dan selayaknya rasa penasaran itu semakin besar, Fendi terus membuntuti Ria sampai akhirnya gadis itu menaiki MRT. Sial Fendi kehilangan jejak. Namun Fendi tidak menyerah. Pikirnya, ia harus mengecek di stasiun berikutnya. Iseng-iseng berhadiah, mana tahu ia bertemu Ria di sana.

Fendi pun melajukan mobilnya menuju ke arah stasiun Cipete. Dan selayaknya alam merestui niatnya itu. Akhirnya sosok Ria yang dari tadi mencuri tempat di pikirannya itu muncul juga. Kali ini Fendi tidak boleh lengah. Ia melanjutkan aksinya membuntuti gadis itu. Jika tidak mengingat rasa gengsinya, mungkin sudah ia tawari gadis itu untuk ia antar pulang. Timbul rasa tidak tega di diri Fendi melihat perempuan berjalan sejauh itu, di malam hari pula.

Lamunan Fendi buyar kala menyaksikan tubuh mungil itu masuk ke sebuah gang sempit. Belum habis dengan aksi mengikuti Ria itu, Fendi pun memutuskan turun dari mobilnya untuk mengikuti Ria sampai ke rumah. Setahu Fendi rumah Ria tidak berada di kawasan ini. Kalau sekarang—dari yang ia lihat—kawasan ini lebih cocok dihuni untuk kalangan menengah ke bawah.

Menulusuri gang sempit itu semakin jauh, Fendi akhirnya berhenti kala melihat Ria di ujung sana menyambut seorang anak kecil yang menyapanya. Fendi tercengang bukan main. Wajahnya berubah murung seketika.

"Ternyata dia udah punya anak?" 

Sialan, Dia [COMPLETED]Where stories live. Discover now