Bab 12

405 22 8
                                    

Fendi mengerem mobilnya mendadak kala melihat siluet Ria yang sedang mengobrol dengan anak kecil di lobi. Jantung Fendi bertalu. Tidak ia duga hari ini ia akan bertemu dengan Ria lagi di sini setelah kemarin ia pikir kesempatan itu akan hilang.

Buru-buru Fendi turun dari mobilnya, lantas menghampiri Ria yang sedang duduk di sofa lobi. Bersamaan dengan itu pandangan mereka bertemu di titik yang sama. Ria sedikit kaget melihat Fendi yang tiba-tiba menatapnya dari arah pintu. Reflek ia memegangi tangan anak yang sedang duduk bersamanya.

"M—Mas Fendi," sapa Ria tergugu.

Fendi pun tidak tahan untuk tidak mendekati Ria. Sampai di dekat sofa perempuan itu, Fendi langsung bertanya. "Dia siapa? Anak kamu ya?"

Ria mengerjap-ngerjapkan mata, menatap dua anak kecil yang ada di di pangkuannya. "Mmm..."

"Bukan, Om. Aku dan Tena anak yatim piatu. Dia kakak aku. Om siapa?"

Seorang anak kecil menyahut, membuat Fendi mengalihkan tatapannya pada anak itu. Jadi ... anak ini bukan anak Ria? Antara senang dan malu Fendi dibuatnya. Malu karena sudah berpikiran yang tidak-tidak pada Ria sampai galau tanpa alasan belakangan ini. Dasar pengecut. Untuk hal sekecil ini saja ia tidak berani bertanya! Fendi mengutuk dirinya sendiri.

"Ria, lama, ya? Maaf ya bikin kamu nunggu."

Suara seorang lelaki yang datang dari arah lift membuat perhatian Fendi teralihkan. Matanya menyipit tajam menatap lelaki itu dari atas sampai bawah. Hei, siapa dia? Kenapa kelihatan akrab sekali dengan Ria?

"Enggak, kok, Mas."

Lelaki itu beralih menatap Fendi. "Ini siapa, Ri?"

"Oh, ini temanku waktu SMA," kata Ria.

Fendi cemberut mendengarnya. Teman katanya?

Lelaki itu pun berjabat tangan dengan Fendi. Fendi menjabat uluran tangan itu.

"Fendi."

"Dody," sambut lelaki itu.

Keduanya tersenyum canggung, lebih tepatnya Fendi yang merasa kurang suka pada lelaki itu karena rasa panas di hatinya. Dia siapa, sih? Kenapa juga Ria hanya mengakui dirinya sebatas teman pada lelaki itu?!

"Tena sama uncle sebentar, ya? Kakak mau ngobrol dulu sama Om ini," kata Ria. Lantas beralih menatap Dody. "Mas, aku mau ngobrol dulu sama temanku. Nggak apa-apa, 'kan?"

Dody mengangguk, "silakan. Aku tunggu di sini."

Ria pun menarik tangan Fendi keluar dari gedung itu.

"Tunggu sebentar. Aku minta tolong pindahin dulu mobilku," kata Fendi seraya menunjuk ke arah mobilnya yang hampir masuk ke teras gedung itu.

Ria sedikit terkejut melihat pemandangan itu. Fendi ini memang tidak pernah berubah. Selalu saja terburu-buru dalam setiap hal.

"Iya sudah. Habis ini kita ngobrol di taman belakang," ajak Ria.

Fendi mengangguk, lantas meminta bawahannya untuk memindahkan mobil itu ke parkiran. Selesai dengan mobil, Fendi mengikuti langkah Ria menuju taman belakang perusahaan ini. Mereka lantas duduk di sebuah bangku.

Belum ada di antara mereka yang memulai pembicaraan sebelum akhirnya Ria bertanya dengan suara menggebu.

"Sebenarnya apa yang Mas mau dari aku?"

"Ya?" kaget Fendi.

Mereka saling tatap. Ada debar yang sulit dijelaskan yang dirasakan masing-masing mereka.

"Apa yang mau Mas tanyakan sama aku?"

Fendi terkejut. Ternyata Ria bisa membaca pikirannya. Wanita itu masih belum berubah sama sekali.

"Aku ... aku hanya ingin tau. Yang tadi itu anak kamu apa bukan?"

Ria menghela napas. Ditatapnya Fendi lekat-lekat. "Aku belum menikah, dan yang tadi itu bukan anak aku. Tena itu adik tiriku. Dia adalah anak dari istri dari simpanan ayahku. Karena ibu tiriku dan ayahku meninggal waktu itu, jadi aku yang membesarkan Tena, berdua dengan Mas Dody yang kamu lihat tadi. Mas Dody itu adik dari istri simpanan ayahku," jelas Ria sedetail-detailnya.

Mendengar hal itu membuat Fendi terkejut. Jadi ayah Ria memiliki istri simpanan? Sungguh ia baru tahu hal itu. Dan Fendi merasa ikut prihatin mendengar cerita menyedihkan itu.

"Maaf, aku nggak tahu itu. Aku kemarin sempat mengikuti kamu pas pulang dari kantor ini. Aku lihat kamu ngobrol sama anak itu pas di gang sempit. Jadi aku mikir kalau dia anak kamu. Sekali lagi maaf."

Ria terkekeh mendengarnya. "Kamu tuh masih belum berubah, ya? Suka nyimpulin sendiri segala sesuatu tanpa meminta penjelasan ke aku langsung."

"Kapan aku begitu? Bukannya kamu yang selalu menutupi apa pun dari aku? Kamu punya rahasia dan enggak mau bagi sama aku!" balas Fendi pantang kalah.

Mendadak mata Ria memanas mendengarnya. Sontak ia mendongak menatap langit, menatap hamparan awan yang menutupi birunya langit kala itu. Sejenak ia mengembuskan napas sebelum akhirnya berkata, "Ya, Mas. Kamu benar. Aku memang gitu dari dulu. Makanya aku jadi penyebab semua kekacauan di hidup aku. Lebih tepatnya di hubungan kita waktu itu. Tapi coba lihat sekarang. Kamu baik-baik aja, kan? Aku yang hancur di sini ...."

Hening.

Fendi memandangi Ria dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ia amati wajah gadis itu lekat-lekat. Dulu, wajah itu selalu tersenyum untuknya. Namun sekarang tatapan Ria tampak berbeda. Gadis itu seolah menyimpan banyak beban, dan entah kenapa tangan Fendi tergerak ingin memeluk tubuh itu untuk berbagi ketenangan.

Sayangnya, nyalinya tidak cukup untuk melakukan itu. Terlebih statusnya yang bukan siapa-siapa gadis itu.

Hal pahit apa yang dia lalui selama ini, Tuhan? Kenapa Riaku jadi seperti ini? Dan aku ke mana saat dia butuh sandaran waktu itu?

Fendi menyesali semuanya dalam hati. Menyesal karena melepas Ria begitu saja, padahal dulu pernah berjanji akan bersama apa pun yang terjadi.

Bahkan dirinya juga yang memberikan gadis kecil itu cincin dari kawat sebagai ikrar janji mereka. Dan sialnya, karena kelabilannya yang tidak tahan dengan hubungannya dengan Ria waktu itu, Fendi memilih pergi.

Rasanya Fendi ingin mengulang waktu untuk memperbaiki segalanya. Sayangnya itu adalah hal mustahil karena sekarang sudah terlambat untuk memulai kembali ....

Menatap Ria dengan tatapan yang semakin sendu, tangan Fendi bergerak, berniat mengelus rambut itu. Namun sebelum tangannya mendarat di puncak kepala Ria, gadis itu lebih dulu berdiri dari dudukannya.

"Aku rasa waktu kita sudah cukup. Aku mau pulang." Ria berujar dingin.

Fendi mengepalkan tangannya. Menatap Ria lurus-lurus. Pandangannya sulit diartikan.

"Dan satu lagi."

Ria menoleh sedih. "Kamu sebaiknya nggak usah kenal sama aku lagi, Mas. Aku bukan Ria yang kamu kenal dulu. Jadi anggap aja kita nggak saling kenal satu sama lain. Lagi pula, semua udah berakhir, 'kan? Nggak ada yang harus diperbaiki antara kita. Permisi. Maaf mengganggu waktu Mas."

Ucapan itu menusuk jantung hati Fendi. Ia perhatikan tubuh itu lekat-lekat. Ya. Ria benar. Ria sangat berbeda dari versi yang ia kenal dulu. Tubuh itu ringkih, kulitnya kusam tak terawat. Fendi mengepalkan tangannya. Ia merasa jadi manusia bodoh yang tidak mengerti apa pun saat ini.

Dan setelah mengatakan itu, Ria pun pergi meninggalkan Fendi. Lelaki itu hanya diam di tempat, memandangi kepergian Ria bersama sejuta sesal yang terus membayanginya. 

Sialan, Dia [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora