DELAPAN | Tetap Sendiri

58 10 0
                                    

Ditengah kebingungan dan sedikit lelah dengan pakaian yang ia kenakan, serta hils yang tidak terasa nyaman saat sudah di kenakan terlalu lama, Vaira memilih duduk di bangku yang ada, memijit pelan betisnya yang terasa kaku.

Sebuah mobil sedan putih berhenti tepat di hadapan Vaira, kaca mobil yang terbuka perlahan membuat wanita itu tersenyum lebar saat mendapati Kama, sang adik iparlah yang mengendarai mobil itu, terimakasih atas pertolonganmu Tuhan.

"Vai, ayo masuk." ujarnya dari dalam mobil, dan tentu saja Vaira langsung berdiri dari duduknya, walau dengan sedikit repot akan gaun yang ia kenakan.

"Ya ampun, makasih banget, aku sampai bingung mau hubungin siapa buat tanya alamat rumahnya." ujar Vaira ketika sudah duduk di dalam mobil.

"Maafin Kak Taksa ya, Vai," ujar Kama penuh sesal. "tadi dia kontak aku, katanya ada hal mendesak, jadi aku di minta anter kamu."

Ah, masih ada pikirannya ternyata suaminya itu.

"Syukurlah, aku kira aku akan di halte itu sampai besok." kelakarnya menghilangkan rasa kesalnya pada Taksa, di sambut tawa oleh Kama.

"Kalau ada apa-apa aku siap bantu kamu, telpon aku ya kalau kamu butuh bantuan."

"Kalau butuh aja?"

"Ya, enggak lagi butuh juga gak papa, aku siap terima telpon kamu."

"Makasih Kam, aku berutung bisa ketemu kamu." syukur Vaira, yang di balas dengan senyuman lembut wanita yang kini sedang fokus menyetir itu.

Perumahan Indah Marwa (pim), tulisan besar menyambut mereka di depan  gerbang perumahan, ini hidup baru Vaira. Kalau memang di sini juga akan menjadi nerakanya, Vaira hanya berharap, semoga bukan lapisan yang ke 7.

***

Setelah mengantar Vaira sampai depan pekarangan rumah, Kama pamit karena ia harus kembali ke klinik. Sedangkan Vaira yang masih belum mengenal siapa saja orang yang ada di rumah itu, bedehem pelan.

Di sana berdiri, seorang wanita dengan perkiraan umur kisaran 50tahunan. "Selamat sore Non, saya Mbok Sum." ujar wanita bernama Sum itu memperkenalkan diri.

"Saya Vaira, Mbok."

"Ganti bajunya dulu ya Non, Den Taksa sudah bilang kamarnya di laintai 2, kamar paling pojok sebelah kiri."

"Barang saya, sudah di atas Mbok?"

"Sudah Non, tadi pagi saat datang saya langsung bereskan ke kamar."

"Makasih ya Mbok, saya ke atas dulu."

Setelah berpamitan dengan Mbok Sum, Vaira berjalan menaiki tangga. Di lantai atas ada 3 pintu, yang Vaira tebak 2 kamar tidur dan satu kamar mandi luar.

Kamarnya terletak di paling  pojok, saat masuk dirinya di suguhi sebuah ruangan dengan dinding cream dan terdominasi dengan barang-barang yang terbuat dari kayu, serta balkon yang ada di kamarnya, tentu kamar ini 3 kali lebih besar dari kamarnya yang ada di rumah sang Ayah, tidak lupa ada kamar mandi di dalam kamarnya juga. 

Memutar pintu balkon dengan perlahan, dan angin dari luar langsung masuk begitu pintu kaca itu terbuka. Berderap keluar, dan berdiri diam di balkon yang di lengkapi dengan sebuah kursi dan meja bulat kecil di sana.

Pandangan Vaira menggeledah seluruh penjuru yang terlihat, hingga ia terpaku pada sebuah balkon yang persis sama ada di sebelahnya. Balkon milik kamar sebelah.

Apa Taksa nanti akan tidur dengannya, atau pria itu memilih tidur di kamar sebelah?

****

TAKSA, berjalan tergesah memasuki UGD sebuah rumah sakit, dengan panik pria itu mencari keberadaan Embun yang ternyata kini terbaring di brangkar rumah sakit.

Wanita itu terbaring, dengan jarum infus yang menempel di tangan kirinya, serta tangan kanan yang tergips.

"Kak." panggilnya lemah.

"Kamu bilang gak kenapa-napa?" tanya Taksa yang tidak bisa menyembunyikan kepanikannya.
"Aku takut kamu panik," jawabnya dengan ringisan pelan. "makasih udah nyempetin datang." lanjutnya, melihat Taksa yang masih mengenakan tuksedonya membuat wanita itu menelan salivanya kelat, tenggorokannya terasa di penuhi duri.

"Jadi gimana, yang kamu tabrak gak papa?"

"Kecelakaan tunggal Kak, aku nabrak marka jalan." terangnya, tidak enak karena sudah berbohong pada Taksa.

"Gentala udah tau? kamu pindah ke ruang rawatnya kapan? administrasi gimana?" pertanyaan yang berderet membuat hati Embun terasa menghangat, pria itu masih menghawatirkannya.

"Pertama, Mas Genta sudah tau barusan aku telpon dan dia sedang di perjalanan, kedua aku pindah mungkin sebentar lagi, admin nunggu Mas Gen datang." desahan lega terdengar dari Taksa, kaki pria itu mendadak lemas karena begitu kalut tadi.

Hening di antara mereka, membuat Embun menatap Taksa yang kini menunduk  masih dengan hembusan napas yang memburu. "Maaf aku buat kamu khawatir," ujar wanita itu, merasa tidak enak. "tapi aku beneran gak papa Kak, cuma retak di lengan aja, sedikit kok."

"Sedikit kamu bilang, tangan kamu di gips gitu?"

"Maaf." ujarnya penuh sesal, lalu menarik tangan Taksa dengan tangan kirinya walau ada jarum infus di sana, Embun tidak bisa menahan diri untuk tidak menggenggam tangan Taksa. "tolong temani aku, sekali ini aja." pintanya, ingin menangis tapi ia tahan.

Taksa mengelus lembut puncak kepala Embun, merasa bersalah karena dia merasa wanita itu mengalami kecelakaan ini karenanya.

Dan rasanya pada Embun, tentu masih sama, kecewa memang, tapi rasa sayangnya pada wanita ini masilah sama.

****

Mbok Sum tersenyum lembut saat Vaira berjalan pelan menghampirinya, yang sedang menyiapkan makan malam untuk wanita itu.

"Makan malam Non, Mbok nda tau Non sukanya apa, jadi banyak masaknya." ujar wanita tua itu, membuat Vaira hampir saja menganga karena takjub dengan banyaknya jenis masakan yang Mbo Sum masak untuk makan malam ini.

"Banyak banget Mbok, Vaira makan apa aja kok, gak pilih-pilih."

"Syukurlah kalau begitu, di makan ya Non, Den Taksa belum pulang juga?"

"Aku tunggu aja kali ya Mbok, sebentar lagi kali aja pulang."

Menunggu dengan hampa, dan sesekali melihat ponselnya, Vaira menghela napas berat saat melihat balasan pria itu.

"Non, sudah mulai dingin makanannya, kok belum di makan?" tanya Mbok Sum yang kembali lagi, wanita tua itu tadi keluar sebentar karena persediaan roti untuk besok pagi belum ia beli, setelah kembali ia di kagetkan oleh Vaira yang belum  juga memakan makan malamnya.

"Boleh gak Mbok, ikut makan sama Vaira di sini?" tanya wanita itu yang langsung di jawab dengan keterkejutan Mbok Sum. "Taksa pulang malam, aku gak pingin aja makan malam pertamaku sendirian, ya Mbok?" pintanya dengan memasang wajah paling memelas yang ia punya.

Mbok Sum tersenyum lembut, sebelum mengangguk menyetujui permintaan dari Vaira. "Mbok hangatin lagi ya, biar Non enak makannya." Vaira mengguk.

Ada sedikit rasa haru dalam dirinya, dia  memang memiliki keluarga,  tapi hampir tidak pernah ikut makan bersama keluarganya, dia begitu mendambakan memiliki keluarganya sendiri yang di penuhi kehangatan.

Apakah dia dan Taksa bisa membangun keluarganya?

***
TBC

SERAPHICWhere stories live. Discover now