Busy or...?

140 31 0
                                    

"Kamu akrab sama tim TAR?"

Pertanyaan Rama membuat Laisa mengerjap. "Siapa?"

"TAR, Thumb A Ride," jelas Rama. "Aku sama anak-anak di kantor ngasih sebutan itu biar singkat."

Laisa mengangguk-angguk. "Kayak kue, ya. Kamu meeting sama mereka tadi?"

"Iya," jawab Rama. "Mereka klien baruku. Ternyata satu lantai kantornya sama kamu. Terus, gimana ceritanya kamu bisa akrab sama mereka?"

Menggeleng, Laisa membalas, "Aku nggak akrab sama mereka. Baru kenalan hari ini malah. Tapi, aku kenalan sama Gavin beberapa minggu lalu. Aku nggak sengaja nabrak dia."

Pandangan Rama tetap fokus pada jalan, meski nada penasaran kini menyusup dalam suaranya. "Nabrak gimana?"

"Aku mimisan pas lembur dua minggu lalu," tutur Laisa. "Kita lagi telepon waktu itu, Ram. Karena panik, aku lari ke toilet dan nggak perhatiin jalan. Kebetulan Gavin baru keluar dari toilet dan akhirnya kami tabrakan. Hidungku nabrak dadanya dan dia pakai kemeja putih. Aku panik, dong, apalagi darahku kena kemejanya. Jadi, aku nawarin buat cuci atau ganti sekalian kalau nodanya nggak hilang."

"Terus?"

"Nodanya memang nggak bisa hilang, tapi Gavin nggak minta ganti kemeja baru. Tadi siang aku balikin kemeja itu dan akhirnya ketemu sama anak-anak TAR. Kami kenalan, deh."

Hening.

Laisa menunggu Rama bertanya perihal mimisannya. Namun, mobil Rama masih tidak terisi suara apa pun. Setidaknya sampai ponsel Rama berdering. Dia menepikan mobilnya, tetapi tidak menjawab ponselnya. Justru sibuk mengetik sesuatu.

"Kenapa, Ram?" tanya Laisa.

"Sori, La." Rama masih tidak mendongak dari layar ponsel. "Kita nggak bisa dinner. Nggak apa-apa, kan?"

Laisa menatap Rama dengan bingung. "Ada apa?"

"Ada ... kerjaan," jawab Rama cepat. "Iya, kerjaan penting. Nggak bisa kutunda. Kamu pulang sendiri nggak apa-apa, kan?"

Meski ingin bertanya lebih lanjut, Laisa sudah mengerti kode yang diberikan Rama. Dia turun dari mobil, tidak melepaskan pandangan sementara mobil pria itu bergerak menjauh. Mendesah, Laisa mulai berjalan menuju halte TransJakarta yang untungnya berada tidak jauh dari tempatnya turun.

Sepanjang perjalanan, ingatan Laisa terlempar pada masa awal dia duduk di bangku kuliah. Tepatnya pada salah satu pertengkarannya dengan Rama....

***

"La, ada Rama di depan," ucap Mama dari pintu kamar Laisa.

"Tolong bilang aku nggak mau ketemu dia, Ma," sahut gadis itu. Tubuhnya masih meringkuk di atas tempat tidur, memeluk boneka beruang yang dihadiahkan Rama.

"Yakin?" tanya Mama seraya duduk di sisi Laisa. "Dia bawa tas, kayaknya dari Malang langsung ke sini, belum pulang ke rumahnya. Dia kelihatan capek, La. Kamu tega nyuruh dia pergi gitu aja?"

Laisa mendesah, lalu bangkit untuk duduk. Dia bahkan luput menanyakan alasan Mama yang tiba-tiba begitu peduli pada masalah percintaannya. Namun, Mama memang sangat peduli jika persoalannya menyangkut Rama, sejak mengetahui latar belakang keluarga Rama yang mungkin kaya tujuh turunan. Laisa tidak peduli pada semua itu, dia pun tidak pernah bertanya kepada pacarnya.

"Aku lagi marah sama dia, Ma," keluh Laisa.

Mama tersenyum. "Marah kenapa?"

"Dia...." Suara Laisa menghilang, sebab dia menyadari betapa konyol permasalahan yang dia miliki bersama Rama. Semua bermula dari Rama yang melupakan ulang tahun Laisa, kemudian berfoto dengan salah satu temannya disertai rangkulan erat. Dan, temannya itu seorang gadis cantik!

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now