Basketball Game

380 50 0
                                    

12 tahun lalu

"Masih ada sisa waktu 30 menit," ucap Pak Syarif lantang dari pinggir lapangan. "Silakan lanjutkan permainan bebas atau kembali ke kelas."

Kor penuh semangat menyambut ucapan guru olahraga berkepala plontos itu. Hampir seluruh teman sekelas Laisa ikut angkat kaki karena setelah ini akan ada ulangan harian untuk mata pelajaran matematika.

"La, nggak balik ke kelas?" tanya Tio, teman akrabnya sejak MOS. "Memang lo sudah belajar?"

"Pertanyaan retoris," jawab Laisa enteng. "Lo kan tahu gue sama matematika tuh nggak bisa cocok. Nggak peduli berapa ratus jam gue paksa otak gue buat belajar."

Tio tertawa, lalu mendribel bola basket di tangannya. "Ikut main aja sama gue. Tuh, anak-anak kelas sebelah juga masih di lapangan. Daripada bengong di kelas dengerin orang komat-kamit rumus, kan?"

Laisa melayangkan pandangan ke seberang lapangan, tempat siswa kelas X-3 melaksanakan jam olahraga, dan melihat ada empat orang tersisa. Meski sudah dua bulan lebih berbagi jam pelajaran yang sama di lapangan ini, gadis itu masih tidak mengenal seluruh siswa dari kelas sebelah.

"Eh, Yo, itu cowok semua," kata Laisa ragu. "Lo nggak salah ngajak gue gabung? Lagian gue kan ikutnya ekskul cheers."

"Lo masih lebih becus soal dribel daripada cewek-cewek lain. Lagian yang satu di ujung itu cewek juga, tampilannya aja kayak cowok. Ayo, kita samperin," sahut Tio tenang.

Sebelum mereka sempat beranjak, dua orang siswa dari seberang lapangan menghampiri lebih dulu. Disusul seorang gadis berambut pendek yang sebelumnya dikira laki-laki oleh Laisa. Mereka langsung sibuk membagi tim, sementara Laisa masih berdiri bingung.

"La!" seru Tio. "Jangan bengong. Lo masuk tim Rama."

Gadis itu mengikuti arah tunjuk Tio, mengerutkan kening melihat dua orang menunggu di bawah ring sebelah kanan.

"Lho, gue nggak sama lo?" balas Laisa.

"Hasil koinnya nggak memihak kita bersama, Beb," jawab Tio dengan satu kedipan mata.

Gadis berambut cepak di sisi Laisa langsung mengeluarkan suara tersedak. "Banci sumur! Gombal aja mulut lo. Buruan ke lapangan!"

Laisa tertawa melihat Tio diomeli seperti itu, sebab selama ini dia selalu lolos dari protes atau ocehan dalam bentuk apa pun ketika berurusan dengan kaum perempuan. Teman semeja Laisa itu memang ada bakat menjadi buaya darat. Tio sendiri bingung, mengapa Laisa tahan berhadapan dengan pesonanya? Setiap kali ditanya begitu, Laisa pasti menjawab dengan satu pukulan atau cubitan di lengan Tio.

Permainan basket three on three itu dimulai tanpa wasit. Memang pertandingan biasa, tetapi Laisa tidak menyangka semua anggota dari tim lawan akan menyerang ganas. Terlebih gadis berambut cepak itu, gerakannya benar-benar gesit. Dia berhasil mencuri tiga angka dari tim Laisa, bahkan sebelum genap dua menit permainan dimulai.

"Gila, si Agnes mainnya nggak tanggung-tanggung!"

Gerutuan itu datang dari pemuda bertubuh kurus di tim Laisa, sementara pemuda lain yang jauh lebih tinggi hanya tertawa pelan. Laisa benar-benar tidak tahu nama mereka, tetapi tahu pemuda tinggi itu salah satu anggota tim basket. Tubuhnya yang menjulang bisa dikenali di mana pun.

"Oi! Nggak serius mending balik ke kelas!" seru Agnes.

Lagi, pemuda tinggi itu hanya tertawa. Dia membawa bola dengan cepat hingga berhenti di luar lingkaran—batas untuk tembakan three point—dan menembak tanpa keraguan. Bola masuk begitu saja, membuat Laisa ternganga.

"Bukan lo doang yang bisa nembak tiga angka," katanya kepada Agnes.

Dia ber-high five dengan pemuda kurus di tim Laisa, lalu kembali melanjutkan permainan. Laisa berusaha sebisa mungkin menghindar dari jalan mereka, tidak ingin merusak alur permainan, tetapi pada satu titik pemuda jangkung mengoper bola padanya. Mengikuti insting, Laisa pun berlari dengan tangan mendribel bola menuju daerah lawan. Begitu berada di bawah ring, gadis itu melempar bola dan ... masuk!

Sorakan penuh kegembiraan menyambut ketika Laisa kembali ke ring sebelah kanan. Si pemuda kurus mengajak tos dan tanpa sadar gadis itu tersenyum.

"Siapa nama lo?"

Pertanyaannya membuat Laisa mengerjap. Pemuda jangkung itu tidak mengajak Laisa tos, justru menatap lurus tanpa jeda. Laisa berdiri bodoh di tengah lapangan karena tatapan pemuda itu, sementara tim Tio sudah mulai mendribel bola.

"Laisa," jawab Laisa akhirnya.

"Gue Rama," balasnya. Senyum lebar tersungging di wajah Rama dan selama sesaat, Laisa seakan kehilangan pegangan. Jantungnya berdebar cepat. "Nice shoot."

Laisa tersenyum mendengar pujian Rama sebelum memusatkan perhatian kembali pada permainan. Kejar-kejaran angka pun tidak terelakkan. Meski seluruh anggota dalam tim Laisa bermain dengan serius, Laisa tetap merasa senang dan tidak ingin permainan berakhir. Kemudian Laisa menyadari bahwa semua itu tidak berhubungan dengan pertandingan basket, melainkan Rama.

***

Painting Flowers (Pain Series #1)Место, где живут истории. Откройте их для себя