Get To Know You Better

130 27 0
                                    

"Mau gue hack medsosnya?" tawar Fani sambil membanting kertas undangan berwarna magenta itu ke meja. "Sekalian gue isi pakai muka Teletubbies."

    Fajar berdecak. "Kebagusan itu mah. Cukup emot tahi aja buat bajingan kayak gini."

    Irham yang sedang mengejar laporan keuangan bulanan hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada laptopnya. Jarang ada topik yang membuatnya tertarik, dan kandasnya kisah cinta Laisa jelas bukan sesuatu yang menarik baginya.

    "Terus Laisa gimana, Gav?" tanya Adnan yang kini membolak-balik undangan pernikahan Rama. "Tinggal dua minggu lewat dikit nih dari hari H."

    "Ya menurut lo?" sambar Fani tak sabar. "Patah hati, kali! Gila aja ditinggal nikah sama pacar sendiri."

    Fajar menimpali, "Lah, kok, lo yang sewot, Fan? Masih dendam lo ditinggal kawin sama Adnan lima tahun lalu?"

    "Jar!" seru Adnan gusar. "Bangsat, ya, mulut lo!"

    Sementara Fani berkata, "Berita lama! Basi!"

    Gavin menengahi anggota timnya sebelum huru-hara benar-benar terjadi. Dia pun kadang heran pada dirinya sendiri yang bisa melupakan fakta bahwa dua anggota dalam timnya dulu sempat terlibat dalam hubungan asmara yang rumit. Namun, Fani dan Adnan tidak pernah membahasnya. Mereka berdua bekerja sama dengan sangat baik, bermain lebih baik lagi. Keduanya sungguh kompak untuk ukuran mantan. Mungkin seharusnya Gavin curiga, tetapi dia tahu dengan pasti Adnan dan Fani tidak berselingkuh. Adnan terlalu mencintai keluarganya untuk melakukan hal serendah itu. Mereka sungguh hanya berteman.

    "Guys, we don't really know the real story," ucap Gavin. "Dan ini bahkan bukan urusan kita. Kalian nggak segitu dekat sama Laisa buat merasa perlu menghakimi Rama. Ingat, ya, project advertising dipegang Rama. Kita bakal lebih sering ketemu dia."

    "Cih," cibir Fajar. "Lo lihat sendiri ketidakadilan macam ini di depan mata dan sama sekali nggak berniat bantu?"

    "Gue...." Gavin menghentikan ucapannya, hampir membocorkan tentang satu jam yang dia habiskan untuk menemani Laisa menangis kemarin sore. "Intinya, ini bukan urusan kita. Masalah hati itu rumit. Kalian jangan ikut campur."

    Fani mendengus. "Gue sama Fajar sekesal ini karena sempat ngobrol sama Laisa beberapa bulan lalu. Gue tanya tentang hubungan mereka, terus Laisa jawab mereka sudah pacaran sebelas tahun. Dari SMA. Gila, nggak?"

    "Sebelas tahun?" gumam Gavin terkejut.

    "Nah!" Fajar menjentikkan jari. "Kaget, kan, lo? Paham kenapa kami bisa emosi begini?"

    Gavin menggeleng. "Tetap aja bukan urusan kita."

    Fani mengacak rambutnya, kesal. "Susah ngomong sama orang nggak punya hati!" Setelah itu, dia bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Bertepatan dengan kedatangan Laisa.

    "Lo kok masuk hari ini?" tanya Fani.

    Sebelum Fani berbicara yang tidak-tidak, Gavin segera menyeruak dari celah pintu dan mengambil alih pembicaraan.

    "La, ada apa?" tanya Gavin.

    Laisa mengulurkan paper bag yang dibawanya.

    "Balikin kemeja lo," jawab Laisa. "Gue cuci semalam, tadi pas mau jalan ke kantor sudah kering. Lagi panas, sih."

    Gavin menerima kemejanya, lalu Fani bertanya, "Lo baru sampai kantor, La?"

    Ransel Laisa masih bertengger di pundak, dilengkapi celana jin dan kaus yang dipakainya hari ini membuatnya terlihat seperti anak kuliah alih-alih pekerja kantoran.

Painting Flowers (Pain Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang