New CMO

126 27 3
                                    

"Gimana hubungan kamu sama Rama?"

Pertanyaan Mama membuka pagi Laisa. Sabrina yang juga sedang sarapan di meja hanya melirik, sebelum kembali sibuk dengan buku biologi di hadapannya.

"Kenapa Rama nggak pernah ke sini lagi? Kayaknya sudah berbulan-bulan. Kalian putus?" kejar mamanya.

"Kami baik-baik aja, Ma," jawab Laisa seraya meraih selembar roti dan mulai mengolesi permukaannya dengan selai kacang.

"Jangan terlalu sibuk sama pekerjaan, usia kalian bukan remaja lagi. Mulai pikirkan pernikahan," sahut Mama. "Kamu sudah 28 tahun, kan?"

"Ulang tahunku masih beberapa bulan lagi, Ma."

Mama mendesah. "Jangan nunda lama-lama. Mulai diskusikan pernikahan sama Rama."

Laisa menahan diri untuk tidak menghela napas. Mamanya yang paling tahu alasan Laisa tidak bisa segera menikah, sebab Rama ingin istrinya menjadi ibu rumah tangga. Sementara Laisa masih harus membiayai keluarganya, termasuk biaya kuliah Sabrina. Keadaan Laisa dan Rama saat ini bisa dikatakan kompromi terbesar yang pernah mereka lakukan.

"Mama sendiri gimana?" balas Laisa. "Sudah nggak pernah ketemu Om Bagyo lagi, kan?"

"Nggak," jawab mamanya cepat.

Enam bulan lalu, setelah mendapat laporan dari Sabrina di depan pintu, Laisa menunggu mamanya pulang. Gadis itu memaksa mamanya untuk bicara. Teriakan terus terdengar dari rumah mereka hingga malam kian larut dan akhirnya Mama berjanji untuk berhenti menemui Bagyo. Sebagai gantinya, Laisa memberikan jatah bulanan lebih besar agar mamanya bisa terus melakukan hal-hal yang gemar dilakukan dengan teman-teman sosialitanya. Untung saja Laisa sudah mendapatkan kenaikan gaji, jadi tuntutan mamanya itu dapat dia penuhi.

"Na, gimana kuliah kamu?" tanya Laisa pada adiknya. "Sudah selesai soal bayaran kemarin, kan?"

Sabrina mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari buku. Setelah UN selesai dan gadis itu dinyatakan lulus, disusul berita baik bahwa dia diterima di Universitas Indonesia, Laisa memang belum bicara lagi dengan adiknya. Namun, Laisa percaya kepada Sabrina. Dia yakin adiknya akan belajar sungguh-sungguh dan tidak mengecewakannya.

"Kalau butuh apa-apa, langsung bilang, ya, Na." Laisa berpesan.

"Hm," jawab Sabrina tidak acuh.

Setelah itu, mereka bertiga sarapan bersama keheningan. Namun, Laisa memanjatkan syukur dalam hati, karena setidaknya pagi ini tidak ada yang berteriak dan meneteskan air mata di rumahnya.

***

Enam bulan memang berlalu, tetapi hubungan Laisa dengan Rama masih belum maju.

Karena ucapan mamanya tadi pagi, Laisa jadi banyak berpikir tentang hubungannya dan Rama. Meski status mereka tidak jelas, mereka tetap menghabiskan waktu bersama di beberapa hari libur. Rama semakin sibuk, begitu juga Laisa. Gadis itu merasa sedikit khawatir, sebab ini adalah waktu istirahat mereka yang paling lama, tetapi pesan singkat yang Rama kirim setiap hari membuat Laisa berusaha untuk lebih sabar menunggunya.

"La, dengar-dengar CMO baru kita ganteng, lho."

Kalimat pembukaan dari Jana pagi ini membuat Laisa tertawa. Mereka bertemu di lobi dan naik lift bersama.

"Lo dengar dari mana?" tanya Laisa.

"Anak-anak marketing heboh sampai nyebarin fotonya ke grup chat," jawab Jana lirih. Lift yang mereka tumpangi penuh, karena itu urusan bergosip harus dilakukan hati-hati. "Lo, sih, kemarin meeting di luar seharian. Sudah tahu CMO baru datang. Kecolongan, nggak lihat orang ganteng. Sekarang sudah banyak yang ngegebet dia. Lo nggak kebagian."

Painting Flowers (Pain Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang