Promotion

508 62 0
                                    

Matahari bahkan belum terbit ketika Laisa mendengar teriakan yang bersahutan di dalam rumahnya.

"Apa kamu bilang?"

"Kalau mau jadi selingkuhan, lakuin yang benar, Ma! Sekalian Mama minta rumah mewah supaya kita ke luar dari tempat kumuh ini!"

"Jaga mulut kamu, Sabrina! Jangan kurang ajar!"

Tawa tanpa humor dilepaskan oleh adik Laisa sebelum menjawab, "Mama nggak ngajarin aku apa pun, selain cara buat godain suami orang."

Plak!

Karena suara itu, Laisa segera meloncat turun dari tempat tidur. Selama sesaat dunianya terasa berputar, disusul serangan sakit pada kepalanya. Gadis itu baru sampai rumah menjelang pukul tiga, mengapa orang-orang di rumahnya tidak memberi dia kesempatan untuk beristirahat sebentar saja?

"Oh, sekarang Mama juga ngajarin aku cara nampar orang. Thanks, Ma!"

Laisa menahan tangan mamanya yang hampir terayun lagi, kemudian menarik adiknya menjauh. Yang ditarik terang memberontak, kembali mengeluarkan teriakan meski kini diiringi air mata.

"Aku malu! Aku malu punya Mama kegatelan yang suka ngehancurin rumah tangga orang!"

Setelah berkata begitu, Sabrina berderap ke kamarnya yang berada di sisi dapur, membanting pintu dalam prosesnya.

Laisa memegangi pelipis yang terasa makin berdenyut, lalu duduk di kursi meja makan. Ada tiga kursi mengelilingi meja itu, tetapi tidak ada yang serupa. Jika dilihat lebih jelas, seluruh barang di dalam rumah kontrakan itu tidak mengikuti tema. Semua dibeli Laisa secara random dan berkala dengan alasan murah.

Papanya meninggal karena kanker tiga tahun lalu, ketika Sabrina berada di tahun terakhir masa putih biru. Mereka melakukan segala yang bisa dilakukan untuk pengobatan Papa, tetapi semua berakhir sia-sia. Papa tetap pergi, meninggalkan tiga perempuan dalam keluarganya untuk hidup sendiri. Beruntung hanya harta benda mereka yang tandas, tidak sampai menimbulkan utang. Meski begitu, Laisa tetap harus bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Uang pensiun milik Papa hanya cukup untuk membayar sewa rumah, itu pun seringnya dirampas oleh Mama untuk pergi ke salon atau kafe bersama teman arisannya.

"Apa lagi masalahnya sekarang, Ma?" tanya Laisa lemah. Dia bahkan tidak memiliki tenaga tersisa untuk marah. Sudah terlalu lelah.

Belakangan, Sabrina dan Mama kerap bertengkar. Kadang meributkan makanan, uang jatah bulanan, dan banyak lainnya. Namun, baru kali ini Sabrina mengucapkan kata-kata buruk yang tidak sopan. Adik Laisa memang pendek sumbu, tetapi tidak sampai bersikap begitu. Dalam banyak hal, Sabrina berusaha membantu Laisa. Paling hanya masalah keuangan yang belum bisa diatasi gadis itu, tetapi perihal sekolah dan lainnya sudah bisa Laisa percayakan seluruhnya kepada Sabrina.

Mamanya mengibaskan rambut, berlalu tanpa menjawab pertanyaan Laisa. Gadis itu pun tidak berusaha mengorek penjelasan, sebab perdebatan yang didengarnya tadi sudah cukup menjelaskan. Laisa tidak tahu harus melakukan apa. Dunia seakan berlomba-lomba menambah bebannya, padahal dia merasa sudah mengerahkan segenap daya dan upaya. Apa lagi yang harus dilakukannya untuk keluarga mereka?

Pa, batin Laisa dengan kedua tangan menutup wajah. Seharusnya Papa masih di sini. Seharusnya Papa nggak ngebiarin aku nanggung ini seorang diri....

***

"La, lo sudah reviu desain buat GDN belum?" Pertanyaan Ricky, head of design dari Jalan-jalan.com, menyapa Laisa.

"Ky, gue belum duduk," kata Laisa seraya meletakkan tasnya di meja yang berada di tengah ruangan, menghadap pintu masuk. "Memang kapan lo kirim desainnya ke gue?"

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now