Favorite Series

138 25 0
                                    

Decakan kesal terlontar dari bibir Laisa. Entah sudah berapa kali pesanan ojek daringnya dibatalkan oleh pengemudi. Gadis itu sadar jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, mungkin karena itu tidak ada ojek daring yang bersedia mengantarnya ke Bekasi. Mau tidak mau, dia harus beralih memesan taksi dan merelakan uang yang pastinya tidak sedikit terpakai untuk ongkos. Mungkin dalam waktu dekat, sungguh hanya mi instan yang menjadi menu makan siangnya.

Tepat saat pesanan Laisa dibatalkan lagi, sebuah Range Rover hitam berhenti di depannya. Jendela bergerak turun, memunculkan seraut wajah dengan kening berkerut. Gavin.

"What are you doing?" tanyanya tanpa basa-basi. "Get in."

Kening Laisa ikut berkerut, terlebih pada nada tidak ramah yang terdengar dari Gavin. Rasanya, Laisa seperti sedang dimarahi karena melewati batas jam malam. Padahal mamanya saja tidak pernah peduli jam berapa dia pulang.

"Gue lagi pesan ojol," jawab Laisa.

Kedua mata Gavin melebar. Ekspresinya makin gusar. Tanpa mematikan mesin mobil, pria itu turun dan menghampiri Laisa. Dia membuka pintu penumpang di sisi pengemudi.

"Masuk." Gavin berkata tegas, nadanya memerintah.

Laisa menurunkan ponsel, menatap pria di hadapannya tidak percaya. "Lo kenapa, sih?"

"Gue antar lo pulang," jawab Gavin masih dengan wajah kakunya.

Laisa menyipitkan mata. "I don't take orders from you. Lagian buat apa gue pulang sama lo? Gue bisa pesan ojol sendiri. For all I know, you could be a serial killer."

"Kalau gue jadi pembunuh berantai, gue bakal pilih korban yang nggak merepotkan kayak lo," sahut Gavin datar.

"Maaf, Mas. Mobilnya jangan parkir di sini."

Teguran itu membuat Gavin dan Laisa menoleh. Seorang satpam berdiri tidak jauh dari mereka, menunjuk mobil Gavin yang mesinnya masih menyala tetapi berhenti di dekat trotoar.

Gavin menghela napas, nadanya lunak saat dia berkata, "Masuk, La. Biar gue antar pulang. Ini sudah tengah malam. Kalau lo nggak percaya, silakan buka bagasi buat make sure gue nggak bawa karung, tali, atau gergaji."

Diiringi tatapan satpam yang hampir kehilangan sabar untuk mengusir mereka, Laisa pun masuk ke mobil Gavin. Mobilnya sangat bersih dan menguarkan harum apel.

"Seat belt." Gavin mengingatkan sebelum mengemudi.

Laisa memasang sabuk pengamannya dengan tenaga yang tidak perlu, lalu berkata, "Turunin gue di halte GBK aja. Gue naik taksi."

"Gue antar."

"Kenapa, sih, lo keras kepala banget?" tanya Laisa dengan suara yang tanpa sadar meninggi. Mungkin karena lelah atau mengantuk, tetapi dia tidak bisa bersikap ramah pada orang yang gemar memaksakan kehendak. "Kenapa ngotot banget mau nganterin gue pulang?"

Gavin melirik sekilas. "Karena ini sudah tengah malam. Lo pikir gue bisa ngebiarin lo pulang sendiri, jam segini? Naik ojol pula. Lagian kenapa lo suka banget nongkrong di kantor? Lo segitu cintanya sama kerjaan lo? Bos lo bayar karyawannya berapa sampai loyal begini?"

Betapa Laisa ingin berkata bahwa semua ini bukan keinginannya. Dia juga tidak suka lembur sampai tengah malam, tetapi karena bermain Uno dengan anggota tim TAR tadi, dia lupa waktu hingga melalaikan pekerjaan. Alhasil, sekembalinya dia ke kantor, dia harus menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Namun, Laisa sama sekali tidak menyesal. Dia senang bisa sedikit bermain dan tertawa.

Alih-alih menjawab rentetan tanya Gavin, Laisa membuang wajah ke jendela. Gavin ingin mengantarnya? Silakan. Bukan berarti Laisa akan bersikap manis karenanya. Laisa tetap lebih memilih naik ojek online—atau taksi—dan menghabiskan uang jatah makan siangnya daripada harus berutang budi.

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now