Unfinished Business

149 25 0
                                    

"Gavin, our savior!"

Pekikan Fajar mengisi keheningan mobil Gavin yang baru saja berhenti di depan apartemen Irham. Gavin akan bertanya bagaimana bisa makhluk berisik yang menjabat sebagai chief marketing officer di perusahaannya ada di apartemen Irham, tetapi temannya itu sudah menjawab.

"Dia crash di rumah gue semalam karena kebanyakan makan, terus wisata toilet," kata Irham yang duduk di kursi belakang. Kedua matanya terpejam, wajahnya tampak lelah. "Resek banget, gue nggak bisa tidur sama sekali."

Gavin berdecak. "Pantes lo tumbenan minta dijemput."

"Lah, lo niat banget jemput Irham pagi-pagi, padahal apartemennya di Grogol gini. Bucin sangat, Gav?" Fajar dengan cepat menimpali.

"Karena gue nggak tahu bakal ada lo, Nyet!"

Fajar tergelak, sementara Irham membalas, "Biar kita sengsara bersama, Gav. Gue tidur, ya, lo punya badut Ancol buat nemenin lo ngobrol di depan."

Benar saja, tak lama setelahnya Irham sudah terlelap.

"Dia nggak bisa tidur bukan karena gue," ujar Fajar pelan, tetapi jelas.

Gavin melirik sahabatnya yang tidur di jok belakang.

"Gue tahu," sahut Gavin. Setiap awal tahun, tepatnya bulan Februari, Irham akan terlihat muram selama beberapa hari. Pria itu memiliki persoalan yang belum selesai sejak masa putih abu-abu dan masih menunggu waktu untuk menyelesaikannya, bahkan setelah lebih dari satu dekade berlalu. Maka dari itu, Gavin dan sahabat-sahabatnya mencoba meringankan beban Irham semampu mereka. "Kali ini kenapa?"

Fajar menggeleng. "Nggak ngerti juga pastinya gimana, tadi malam dia pulang berantakan. Gue pikir akhirnya kelar tuh masalah, tapi makin ruwet kayaknya. Lo kenal nggak, sih, sama ceweknya?"

Giliran Gavin yang menggeleng. "Cuma tahu kalau mereka seangkatan."

"Turut berduka cita, deh, gue buat kalian para bucin sejak sekolah menengah atas," sahut Fajar.

Gavin menarik bibirnya menjadi satu garis lurus, tidak menanggapi komentar Fajar. Lagi pula, kasus Gavin dan Irham benar-benar berbeda.

Hening membungkus sebelum Fajar membungkukkan tubuh dan tiba-tiba berseru heboh. Memang mustahil ada ketenangan selama Fajar beredar di sekitar.

"Anjir! Beruang piaraan siapa nih?"

Gavin melirik sahabatnya, mengerutkan kening saat melihat sebuah gantungan berwujud boneka beruang kutub.

"Gav, ini bukan punya lo, kan?" cecar Fajar. "Punya siapa nih? Ngaku lo! Semalam jalan sama cewek mana?"

"Pede banget lo itu punya cewek," kilah Gavin.

Meski dalam hati dia tahu benar siapa pemilik gantungan itu. Hanya ada satu perempuan yang menumpang di mobilnya dalam kurun beberapa bulan terakhir. Gavin biasa pergi ke sana kemari dengan banyak perempuan, tetapi belakangan dia kehilangan minat. Mungkin karena komunikasinya dengan Sarah sudah membaik, dia jadi membiarkan harapannya tumbuh lagi. Tanpa sadar, dia menghentikan kencan konyol yang selama ini dia lakukan untuk membunuh sepi. Sementara yang dia lakukan untuk Laisa semalam bukan modus atau usaha mendekati gadis itu. Gavin benar-benar hanya ingin memastikan Laisa sampai dengan selamat di rumah.

Mendengus, Fajar menyodorkan gantungan boneka itu ke hadapan Gavin dengan berapi-api. "Ini jelas barang cewek! Adik gue lagi getol koleksi juga, Bear-Bear apalah namanya. Ngaku lo, Gav, bawa pulang anak siapa lo semalam?"

Gavin tidak membuka suara.

"Eh, Bangsat! Jangan bilang ini punya Laisa?" Fajar membelalakkan matanya berlebihan, Gavin hampir khawatir bola mata sahabatnya itu akan mencelat ke luar. Ketika Gavin tidak lagi menyangkal, Fajar semakin rusuh berkomentar. "Tuh cewek ada yang punya, Bambang! Lo kok main serobot aja? Kayak bukan lo yang biasa, Gav. Lo, kan, punya prinsip anti nikung pacar orang."

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now