Crash Into You

617 75 3
                                    

Laisa adalah gadis yang pantang menyerah, tetapi malam ini tubuhnya menyerah.

    Darah tiba-tiba meluncur turun dari hidungnya, membuat bibir tipisnya yang tidak memakai lipstik ternoda warna merah gelap. Tanpa pikir panjang, dia meletakkan ponsel yang tersambung dalam panggilan telepon dan berlari dari ruang kantor.

    Perusahaan e-commerce tempat Laisa bekerja terletak di lantai 26 The Headquarters, sebuah gedung perkantoran bagian selatan ibu kota. Ruang kantornya berada tepat di koridor yang berseberangan dengan toilet, sehingga yang kini dilakukan oleh gadis itu adalah berlari secepat mungkin menyusuri koridor sepi. Tidak heran, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Seluruh ruang kantor yang berada di lantai tersebut bahkan sudah gelap.

    Karena itu, Laisa tidak mengira akan ada orang selain dirinya dan tidak sempat menghindari tabrakan di belokan menuju toilet. Wajahnya membentur dada seseorang.

    "Crap!" umpatnya seraya menarik napas lewat mulut.

    Seakan darah yang masih mengalir dari hidungnya belum cukup buruk, Laisa pun disuguhi pemandangan horor: kemeja orang yang ditabraknya terkena darah. Dan, kemeja itu berwarna putih.

    "Sori!" seru Laisa panik. Dia tidak sempat menyadari ekspresi terkejut pria di hadapannya perlahan berubah. "Gue nggak sengaja. Kemeja lo nanti gue ganti biaya laundry-nya. Atau kalau nodanya nggak bisa hilang, gue—"

    "What are you doing?"

    Kalimat bernada gusar itu berhasil membungkam Laisa.

    "Well, I'm in the middle of apologizing to you. Is it not obvious?" tanya Laisa bingung.

    Pria itu mengembuskan napas, lalu membuka pintu kamar mandi VIP yang berada tepat di sisi mereka. Sepertinya itu tempat yang dia kunjungi sebelum bertabrakan dengan Laisa di koridor. Laisa tidak pernah menggunakannya karena kedudukannya tidak setinggi CEO dan kawan-kawan. Dia tahu ada banyak orang yang tetap memakai kamar mandi VIP tanpa peduli jabatan, tetapi dia tidak bisa seperti itu. Dia dibesarkan untuk tidak mengambil hak orang lain, tidak peduli sekecil apa hal tersebut.

    "Jangan bungkuk, tegakin badan lo," kata pria itu seraya meraih tisu dan menyerahkannya kepada Laisa. "Jepit hidung lo dan tetap napas dari mulut. Tunggu di sini sebentar."

    Setelah mengucapkan rangkaian perintah, pria itu melangkah ke luar. Sebisa mungkin Laisa mengikuti instruksi sambil membersihkan sisa darah di sekitar bibir. Ini bukan kali pertama dia mengalami mimisan, meski tidak sering juga. Mengingat waktu istirahatnya yang terpangkas habis selama akhir pekan kemarin, hal seperti ini seharusnya sudah bisa dia duga.

Pergi untuk menghadiri undangan pernikahan klien di Malang hari Sabtu, dilanjutkan meeting bersama calon klien baru di Surabaya pada hari Minggu, lalu pulang dengan pesawat pertama ke Jakarta pagi ini dan masih harus mengejar laporan hingga dini hari, tentu akan membawa efek samping. Laisa bersyukur hanya mengalami mimisan dan bukan pingsan. Masih ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan, terlebih dengan campaign berupa diskon besar-besaran yang akan dilaksanakan perusahaannya akhir bulan ini.

"Darahnya sudah berhenti ngalir?" tanya orang yang ditabrak Laisa, yang ternyata kembali dengan sebuah handuk kecil di tangan. "Kompres pakai ini."

Laisa menerima uluran handuk berwarna putih yang ternyata menyimpan beberapa es batu di dalamnya, kemudian menempelkan ke hidung. Keheningan menyelimuti mereka dan Laisa baru sadar, dia sama sekali tidak mengenali pria di hadapannya. Setelah satu tahun menempati co-working space itu, Laisa berusaha mengingat "tetangga" di kantornya. Setiap orang berarti peluang yang mungkin dapat membantunya meningkatkan revenue perusahaan. Salah satu yang Laisa sukai dari bekerja di kantor bersama seperti ini adalah keragaman usaha masing-masing perusahaan yang bisa dia ajak bekerja sama.

Laisa berdeham, lalu mengulurkan tangannya. "Gue Laisa dari Jalan-jalan.com," ucapnya. "Sori soal kemeja lo."

Pria di hadapannya membalas dengan jabatan yang tidak terlalu erat maupun longgar, pas. Jenis jabatan yang Laisa yakin akan disukai oleh mendiang papanya. Sejak dulu, papanya selalu berpesan untuk memperhatikan jabat tangan seseorang sebagai langkah awal untuk mengenal. Laisa sendiri tidak pernah terlalu memikirkannya, dia tidak menganggap hal itu serius. Rasanya konyol berusaha mengenal seseorang hanya dari jabat tangan, karena pasti ada banyak faktor lebih penting yang menjadi pertimbangan dalam menilai pribadi orang lain. Namun, entah kenapa belakangan ini ingatan tentang Papa merangsek lebih sering dalam benaknya.

"Gavin," balas pria itu.   

    Laisa memberi senyum singkat sebelum berkata, "Soal kemeja lo gimana? Gue nggak yakin nodanya bisa hilang. Tapi coba dicuci dulu aja, ya?" Ketika Gavin tidak merespons, Laisa buru-buru menambahkan, "Kalau nggak bisa hilang, nanti gue ganti pakai kemeja baru."

    Diam-diam, Laisa berharap sepenuh hati nodanya akan hilang. Menilik dari jam tangan dan sepatu yang dikenakan Gavin, Laisa tidak berpikir pria itu sekadar pegawai sepertinya. Berarti, kemejanya pun bukan sesuatu yang bisa dibeli Laisa tanpa pertimbangan panjang. Tampaknya Gavin memang satu dari segelintir orang yang berhak menggunakan kamar mandi VIP itu.

Namun, menilik wajah Gavin yang masih terlihat sangat muda, tidak seperti para petinggi perusahaan yang biasa Laisa temui, gadis itu jadi mempertanyakan penilaiannya. Sebenarnya siapa pria di hadapannya? Kenapa pula Laisa harus berpikir sekeras ini untuk menebak jabatan seseorang yang dengan mudah bisa dia tanyakan langsung? Mungkin Laisa sudah terlalu lelah. Dia sampai lupa pada fakta bahwa co-working space tempatnya berada saat ini memang didominasi oleh founders berusia muda.

    "Gavin?" panggil Laisa setelah sepi terlalu lama melingkupi mereka. "Lo nggak keberatan kalau kemeja lo itu gue cuci dulu, kan? Seperti yang gue bilang, nanti—"

    Kalimatnya terputus karena tiba-tiba Gavin membuka kancing dan melepaskan kemejanya.

***

Pria itu masih mengenakan kaus putih polos di dalam kemeja, jadi Laisa tidak panik. Dia terima uluran kemeja bernoda darah dari pria itu, lalu kembali bicara.

    "Gue balikin setelah dicuci, ya," ucap Laisa. "Lo dari perusahaan apa? Ruang kantor lo sebelah mana?"

    Gavin memasukkan satu tangan ke saku celana, lalu menjawab, "Thumb A Ride. Ruangan gue lewat pintu di samping lift."

    Laisa mengangguk. "Lo baru pindah ke sini?"

    "Minggu lalu," sahut Gavin. "Baru pindah ke lantai ini lebih tepatnya. Sebelumnya di lantai 21."

    "Thumb A Ride itu bergerak di bidang apa?" tanya Laisa.

    Alis Gavin mencuat naik. "You never heard about it?"

    Laisa mengangkat bahu. "Namanya nggak asing, mungkin pernah dengar. Tapi gue nggak tahu itu perusahaan apa."

    Bibir Gavin sudah terbuka, siap menjawab ketika dering ponsel terdengar. Dia segera mengeluarkan ponsel dari saku celana, mengerutkan kening saat melihat layar, lalu kembali menatap Laisa.

    "See you later, Laisa."

    Tanpa menunggu jawaban, pria itu berjalan keluar dari kamar mandi VIP. Laisa tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Gavin, tetapi sepertinya panggilan penting menilik nadanya yang serius.

    Omong-omong soal panggilan penting....

    "Crap!"

    Laisa bergegas kembali ke ruang kantor, membawa serta kompresan dan kemeja milik Gavin. Dengan panik dia meraih ponsel. Meski tahu kecil kemungkinan orang yang dia hubungi masih berada di ujung sambungan, tetap saja tebersit sedikit rasa kecewa karena telepon sudah terputus. Apalagi ketika tidak dia lihat satu pun pesan akibat kepergian mendadaknya, tidak ada pertanyaan tentang apa yang terjadi atau di mana dirinya berada.

    Mendesah, Laisa menjatuhkan tubuhnya di depan laptop yang kini layarnya sudah berganti hitam. Pada layar itu, samar-samar pantulan wajahnya terlihat. Lamat-lamat dia pandangi wajahnya, berusaha mencari jejak gadis dengan senyum ceria yang dulu selalu dilihatnya. Sekarang, hanya ada seraut wajah pucat dan lelah dengan rambut kusut masai.

    Baru kini Laisa sadari, dia merindukan pantulan wajahnya sendiri.

    Wajah ketika dia tidak terlihat seperti mayat yang berusaha hidup. [ ]

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now