Happiness

184 33 0
                                    

"Na, kenapa duduk di sini?" tanya Laisa cemas.

Adiknya mengangkat bahu. "Lagi pengin aja."

Helaan napas lega dilepaskan Laisa dan dia menjatuhkan diri di sisi adiknya. Langit kota Bekasi hampir gelap seutuhnya, nyamuk pun banyak yang beterbangan di sekitar, tetapi keduanya duduk tenang dengan pikiran berkelana.

Beberapa saat kemudian, Sabrina membuka suara. "Daripada Fisika dan Kimia, kenapa kita nggak diajarin cara untuk bahagia?"

Laisa menoleh pada adiknya yang tampak larut dalam lamunan, lalu mengusap puncak kepalanya. "Lagi pusing sama tugas sekolah, ya? Perlu aku bantuin nggak?"

Gelak Sabrina terdengar di udara. "Kakak dulu anak IPS, yang ada tugas-tugasku malah diisi rumus akuntansi!"

Laisa ikut tertawa, lalu hening membungkus mereka.

"How are you, Na?" tanya Laisa kemudian.

Nada Laisa yang terdengar lembut membuat Sabrina sadar kakaknya bukan sekadar menanyakan kabar. Dulu mereka sering melakukannya, Laisa menyebut sesi itu sebagai pembicaraan heart to heart antara kakak dan adik. Sayangnya sejak Laisa semakin sibuk di kantor, mereka bahkan jarang bertegur sapa. Biasanya, Sabrina berangkat sekolah sebelum Laisa bangun, sementara Laisa baru pulang setelah Sabrina tertidur.

"Pretty good," jawab Sabrina pelan. "Kalau aku bisa lupain fakta Mama jadi selingkuhan Om Bagyo, papanya Keke."

Laisa tertegun. "Laki-laki itu papanya teman kamu? Keke teman kamu dari SMP, kan?"

Sabrina mengangguk lemah. "Keke akhirnya tahu dan dia ngelabrak aku di sekolah tadi."

"Na...." Laisa segera merangkul bahu adiknya, tetapi Sabrina menolak.

"Aku nggak apa-apa, Kak," tukas Sabrina tegas. "Aku nggak peduli sama ejekan orang. Tapi aku nggak mau Mama terus hidup begini. Aku butuh solusi, Kak."

Laisa menggigit bibir, mencoba menenangkan emosinya sendiri. "Mama di mana sekarang?"

"Pergi dijemput Om Bagyo barusan," sahut Sabrina.

Mendesah, Laisa membalas, "Nanti aku coba ngomong sama Mama, Na. Kamu yakin nggak apa-apa? Gimana sama teman-teman di sekolah? Kalau mereka bully kamu, aku yang menghadap ke kepala sekolah kamu buat—"

"It's okay, Kak. Aku bisa handle masalah sekolah," sela Sabrina. "Cuma ... tolong bicara sama Mama."

Laisa mengangguk tanpa ragu. "Aku bakal ngomong sama Mama nanti. Makasih sudah kuat, ya, Na."

Keheningan menyelimuti keduanya sebelum Sabrina menoleh menatap kakaknya. Rambut mereka sama-sama lurus dan sehitam jelaga, tetapi Laisa tidak pernah memotong rambutnya pendek, sedangkan Sabrina selalu memotongnya hingga batas bahu. Selain dari itu, mereka tidak mirip. Laisa jauh lebih cantik dari Sabrina dengan tulang pipi yang tinggi, juga bibir ranum alami. Orang-orang sering berkata Laisa sangat mirip mama mereka. Namun, Sabrina sama sekali tidak iri. Dia tahu lebih baik daripada siapa pun betapa besar pengorbanan yang dilakukan Laisa untuk keluarga mereka. Betapa besar rasa sayang Laisa untuknya. Sabrina tidak bisa meminta seorang kakak yang lebih baik dari Laisa.

"How are you, Kak?" tanya Sabrina. "Everything's okay with Rama?"

"Kami baik-baik aja," jawab Laisa.

Sabrina menggeleng, raut tak percaya mengisi wajahnya.

"You'll turn 28 this year. Bukannya target Kakak dari dulu nikah di umur 28? Terus kenapa sekarang Rama justru makin jarang datang ke sini?" cecarnya.

Painting Flowers (Pain Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang