The Invitation

126 24 1
                                    

Dengan tangan gemetar, Laisa meraih undangan berwarna magenta itu. Dia tidak bisa fokus pada detail lain, hanya tahu bahwa di samping nama Rama, tertulis nama Shinta.

"Kamu bercanda, kan?" tanya Laisa dengan suara serak. Tanpa sadar, air matanya sudah berkumpul di pelupuk mata. "Rama! Ini nggak lucu!"

"Maaf, La."

Air mata Laisa jatuh tidak tertahan. Bukan itu jawaban yang dia inginkan. Dia ingin Rama berkata semua ini hanya lelucon. Sial, gadis itu butuh Rama berkata semua ini bukan kenyataan!

"Gimana bisa?" bisik Laisa. Beruntung kedai kopi tidak dipenuhi pengunjung, jadi air matanya tidak mengundang banyak mata penasaran. Jam pulang kantor memang masih berjarak dua jam dari sekarang.

"Aku nggak pernah niat nyakitin kamu, La, maafin aku." Rama menghela napas, lalu mengalirlah ceritanya. Bagaimana dia bertemu Shinta saat dia melakukan Praktik Kerja Lapangan semasa kuliah, lalu bertemu kembali saat dia meminta break dari Laisa enam bulan lalu. Bagaimana dia merasa menemukan segala hal yang dia cari pada diri Shinta.

Bagaimana Shinta sempurna untuknya, sementara Laisa tidak.

"Kamu tahu aku selalu pengin punya istri yang bukan wanita karier," lanjutnya tanpa rasa bersalah. "Dan, aku nggak bisa maksa kamu buat ngelepas pekerjaan kamu. Shinta ... beda, La. Aku nggak bisa jelasin, tapi dia yang akhirnya bikin aku sadar kalau aku mau bangun masa depan mulai dari sekarang. Maaf karena akhirnya kita jadi seperti ini, La."

Laisa hanya bisa membiarkan tangisnya terus mengalir. Dadanya begitu sesak. Hatinya sangat sakit.

Bukan ini yang Laisa harapkan dari sebelas tahun masa berpacaran. Bukan ini akhir yang Laisa inginkan untuk kisahnya. Dan, jelas bukan ini yang dia pikir akan terjadi setelah dia memberi Rama waktu istirahat terkutuk yang diminta pria itu.

"Maaf, Laisa," ucap Rama lagi.

Betapa Laisa ingin berteriak bahwa permintaan maaf itu sia-sia. Sungguh tidak berguna. Rama menghancurkan Laisa hingga serpihan. Tidak ada yang tersisa untuk diselamatkan.

Hatinya luluh lantak.

Laisa sadar tidak bisa meluapkan perasaannya di tempat umum. Dia hanya akan menimbulkan kecurigaan dari orang-orang dan membuat dirinya sendiri malu. Masih dengan satu tangan menggenggam undangan, Laisa bangkit berdiri dan ke luar gedung. Rama tidak menahannya. Pria itu membiarkan Laisa pergi dari hadapannya begitu saja.

Meski sudah berusaha sekuat tenaga, air mata tetap menetes di pipi. Dia menunduk untuk menyembunyikan tangis, bertepatan dengan tubrukan yang tidak sempat dihindari.

Laisa mendongak, terkejut melihat wajah yang dia kenali.

"Gavin?" gumamnya tanpa sadar.

"Lo ... nangis?" tanya Gavin. Matanya mengerjap bingung. "Kenapa?"

Menggeleng, Laisa mengambil satu langkah ke kiri, berniat pergi dari pintu lobi tempatnya berdiri. Namun, sebelum dia bisa melakukan itu, Gavin meraih sikunya dan membawanya menuju bagian samping gedung. Air mata Laisa terus mengalir, tetapi dia tahan mati-matian isaknya.

"Do you need anything?" tanya Gavin setelah mereka duduk pada salah satu bangku di bagian samping gedung, yang biasanya digunakan sebagai smoking area. Ada beberapa orang di sana, walau jaraknya tidak terlalu dekat.

Laisa membekap mulut, tanpa sengaja menjatuhkan undangan dari tangannya. Gavin meraih undangan itu, membaca nama yang tertera, dan akhirnya memahami situasi meski tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Laisa.

"Bisa nggak lo ... tutupin gue?" tanya Laisa lirih. Nadanya sarat akan permohonan.

Tanpa kata, Gavin mengulurkan kedua tangan dan membawa kepala Laisa ke dadanya.

Dan, pada dada bidang yang sudah dua kali ditabraknya tanpa sengaja, Laisa menumpahkan seluruh isak tangisnya.

***

Gavin tidak tahu apa yang sudah merasukinya.

Alih-alih naik ke lantai 26 untuk internal meeting dengan timnya, dia menjadi a shoulder to cry on untuk Laisa. Atau dalam kasusnya, a chest to cry on, jika hal itu bahkan bisa disebut begitu. Dia bisa merasakan ponselnya bergetar nyaris tanpa henti selama satu jam terakhir, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Gadis dalam dekapannya masih terisak.

Benar, Laisa sudah menangis selama itu.

Tadi saat dirinya lagi-lagi ditabrak oleh Laisa, Gavin terkejut melihat wajah penuh air mata gadis itu. Mereka mungkin tidak kenal akrab, tetapi Gavin tidak mungkin membiarkan Laisa pergi begitu saja dalam keadaan kacau. Tidak Gavin sangka, gadis itu memiliki daya luar biasa untuk menangis. Kini, bagian depan kemejanya sudah pasti basah kuyup karena air mata dan ... ah, sudahlah. Untung Gavin membawa beberapa baju ganti di mobilnya.

"Cowok berengsek!"

Makian itu menyentak Gavin, bersamaan dengan Laisa menegakkan tubuh. Gadis itu mengusap wajahnya kasar.

"Dia bilang, gue nggak mau jadi IRT makanya dia pilih cewek lain buat dinikahi. Gila! Dia pikir gue nggak mau? Gue ini terpaksa! Kalau bisa milih, jelas gue lebih pilih jadi IRT daripada karier. Biarpun kerjaan tetap banyak, seenggaknya jadi IRT itu sama dengan jadi ratu di rumah sendiri. Ngurus ini dan itu sesuai selera hati, nggak perlu sok ramah atau sok baik sama klien nyebelin. Nggak perlu beli make up dan jadi babu orang, terus desak-desakan setiap hari di TransJakarta!"

Rentetan kalimat itu disuarakan dengan menggebu-gebu, membuat Gavin hanya bisa menatap Laisa bersama bisu.

"Berengsek!" hardik Laisa emosi. "Rama berengsek!"

Setelahnya, dia menutup wajah dengan kedua tangan dan kembali terisak.

Gavin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung dengan perubahan situasi terbaru. Apa yang sebaiknya dia katakan?

"Sori, Gav," ucap Laisa kemudian. Tangannya sudah berada di pangkuan, dia menghela napas panjang. "Gue nggak maksud marah-marah dan...." Matanya terbelalak melihat bagian depan pakaian Gavin. "Gue bikin kemeja lo kotor. Lagi. Astaga! Sori banget!"

Gavin tertawa pelan. Ekspresi gadis berwajah sembap di depannya benar-benar lucu.

"Nggak apa-apa, La," sahutnya. "Lo sudah baikan?"

Laisa mengangguk. "Thanks buat bantuan lo."

"No problem," jawab Gavin.

Angin berembus, menarik perhatian mereka pada pohon-pohon palem yang bergoyang. Selama sesaat keheningan menyisip, membawa ketenangan yang sungguh dibutuhkan Laisa. Hari ini berjalan sangat lambat, seolah memaksanya untuk meratapi perih yang ditorehkan oleh Rama.

"Alasan lo?"

Suara Gavin membuat Laisa kembali memandang pria itu.

"Alasan lo harus jadi wanita karier. Alasan lo nggak dikasih pilihan buat jadi yang lain selain itu," kata Gavin.

Laisa menunduk, lalu menghela napas.

"Bokap gue meninggal tiga tahun lalu, kanker," jawabnya pelan. "Nyokap gue nggak kerja, sedangkan adik gue masih SMA. Kalau gue nggak kerja, kami.... Yah, begitulah."

Gavin tidak memberikan respons, yang digunakan oleh Laisa untuk melanjutkan, "Gue tahu, bisa aja gue buka usaha. Online shop atau semacamnya yang memungkinkan gue buat kerja dari rumah. Tapi gue nggak bisa gambling semacam itu. Gue butuh kepastian. Gue harus punya rencana dengan risiko seminimal mungkin."

Keduanya terdiam. Membiarkan awan berarak menutupi matahari, sementara angin kembali menyapa kulit mereka yang terbuka. Laisa menatap Gavin, menunggu hingga pria itu membalas tatapannya sebelum berkata, "Thanks sudah biarin gue ngerusak kemeja lo hari ini."

Gavin bisa melihat dengan jelas duka yang melanda gadis di sisinya, tetapi untuk satu jawaban yang tidak Laisa sadari telah diberikannya, Gavin pun tersenyum.

"Lo harus cuci kemeja gue sebagai ganti rugi," ujar Gavin. Tentu saja bercanda, dia hanya ingin sedikit meringankan suasana hati Laisa. Ternyata berhasil, karena gadis itu tersenyum tipis.

Gavin tidak tahu, keinginannya untuk melihat senyum Laisa akan membelitnya dalam kerumitan di hari mendatang.

***

Painting Flowers (Pain Series #1)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt