07: Flashback (3)

2.6K 434 4
                                    

Terus terang kejadian di apartemennya setelah Aimee magang waktu itu membuat Laura sedikit melunak pada Aimee.

Aku takut akan terus-terusan berharap Ci Laura datang menjengukku kalau Cici tau di mana alamat kosanku.

Kata-kata itu begitu menghantui Laura. 

Dia sendiri tak habis pikir, bertahun-tahun dia menganggap seolah Aimee tak eksis dalam hidupnya.

Lalu, tiba-tiba saja sekarang rasa bersalah perlahan menyelinap masuk ke relung hati Laura?

Mungkinkah ini kutukan menjadi orang dewasa? Ketika hal-hal yang dianggapnya tak penting saat masih muda mendadak begitu memberatkan moralnya ketika dia bertambah usia?

Ucapan Aimee begitu lama membebani Laura. 

Sehingga suatu Sabtu, selang beberapa waktu setelah Aimee menyelesaikan magangnya di Jakarta dan kembali kuliah, Laura memutuskan untuk menyetir mobilnya menuju Bandung.

Di kursi belakang mobil Laura ada oleh-oleh kecil yang sengaja dibelinya dulu sebelum dia berangkat. 

Saat Laura tiba di Bandung nanti makanan itu pasti sudah dingin namun Laura berharap Aimee masih mau menerimanya.

Laura tak pernah ke rumah Tante Rena sebelumnya. Setiap kali ada acara keluarga di Bandung, mereka semua selalu berkumpul di rumah saudara Laura yang lain.

Dulu sekali jauh sebelum Aimee lahir, sesekali kali juga keluarga besar itu berkumpul di rumah orangtua Laura. Rumah tempat dia besar itu pun sudah begitu lama tak dikunjungi Laura.

Dia tak ingin pernah lagi menjejakkan kaki di rumah yang hanya membawa kenangan buruk baginya.

"Lau, apa nanti kamu tunggu di pintu keluar tol dan Tante minta Om untuk jemput kamu di sana?" usul Tante Rena saat Laura mengabarkan rencananya untuk datang.

"Tidak usah, Tante. Aku bisa sendiri menggunakan GPS."

Jantung Laura berdegup kencang saat mobilnya berhenti di depan pintu sebuah rumah sederhana.

Rumah itu memiliki dua tingkat dan berpagar rendah yang catnya sudah mengelupas di beberapa bagian. Tante Rena tinggal di sana sejak menikah dengan Om Lim.

Rumah itu sederhana namun teduh, sangat berbeda dengan rumah kedua orangtua Laura yang mewah dan dingin. Apa kabar rumah itu sekarang? Laura membatin.

Sebelum Laura sempat mematikan mesin mobil, dia melihat sosok Om Lim yang melongok dari teras dan berjalan menghampiri pagar.

Ketika Laura turun dari mobil dan menyapanya, Om Lim membalas sambil tersenyum dan membukakan pintu untuk Laura.

"Ayo, masuk," Om Lim mempersilakan, seolah sudah biasa saja Laura bertamu.

Tak ada celetukan basa-basi seperti yang dilontarkan sanak saudaranya yang lain jika Laura datang ke Bandung: "Tumben kamu datang", "Sudah lama sekali kamu tidak pernah muncul", "Sombong sekarang setelah jadi anak Jakarta", dan seterusnya.

"Silakan duduk, Laura. Tante dan Aimee ada di atas, Om panggilkan sebentar ya."

"Terima kasih, Om."

Laura tidak duduk. Mendadak dia antusias dengan seisi rumah keluarga ini. Dia penasaran apa yang sudah dan biasanya mereka lakukan.

Laura menelususi sederetan piala dan medali yang menunjukkan prestasi Aimee. Juara satu, juara dua, juara satu, juara dua.

Begitu terus berulang-ulang tertulis di setiap penghargaan. Ada yang dari bidang akademik, bidang seni bahkan juga olahraga. Aimee betul-betul anak yang berprestasi.

Jika Aimee tidak dididik oleh Tante Rena dan Om Lim, akankah Aimee juga membanggakan seperti ini? Ataukah sebaliknya? Laura ngilu membayangkannya.

Laura memandangi juga foto-foto yang dipajang di ruang tamu. Foto-foto Aimee sejak bayi hingga dewasa.

Foto-fotonya tumbuh besar bersama kedua orangtuanya. Sepanjang hidupnya, Aimee hidup sederhana namun jelas dia besar dalam keluarga yang bahagia dan memperhatikannya.

Ada foto Aimee kecil naik komidi putar di taman hiburan.

Ada foto Aimee dan Om Lim memangku anak singa di kebun binatang.

Ada foto Aimee dan Tante Rena berdiri bersebelahan di dapur sedang membuat kue.

Ada juga foto kelulusan Aimee memegang ijasah SMA dan medali sambil diapit kedua orangtuanya.

Semua foto itu tak dimiliki Laura di rumah orangtuanya yang luas, mewah dan dingin.

"Ci Laura?"

Laura menelan ludah agar tenggorokannya tak lagi merasa tercekat. Dia menoleh dan melihat Aimee turun bersama dengan Tante Rena.

Wajah Aimee berseri melihat Laura, demikian juga dengan Tante Rena. Wajahnya lebih berseri lagi ketika tahu Laura datang membawakan makanan kesukaannya dari Jakarta: nasi ulam.

"Sewaktu di Jakarta, hampir setiap hari aku sarapan nasi ulam ini, Ma," ucap Aimee pada Tante Rena. "Ada yang menjual di dekat kosan, rasanya enak sekali, seperti ini."

Diam-diam Laura pun senang melihat Aimee makan dengan lahap. Aimee terlihat riang, sehat dan baik seperti biasa.

Keluarga Tante Rena mengajak Laura mengobrol banyak sekali hal, mulai dari berita tiap-tiap sanak saudaranya yang sudah lama tak ditemui Laura hingga tentang kejadian-kejadian sehari-hari di toko spare part milik Tante Rena dan Om Lim.

Tentang kota Bandung yang semakin tertata, hingga restoran- restoran baru yang menjadi kegemaran anak muda. Laura bersyukur tak sekali pun Tante Rena menyinggung tentang kedua orangtuanya atau pun kehidupan Laura.

"Lau, terima kasih ya sudah datang," ucap Tante Rena saat Laura berpamitan pulang. "Kamu yakin tidak mau menginap saja? Ini sudah lewat maghrib."

Laura menggeleng. "Terima kasih, Tante," sahutnya singkat.

"Aimee kelihatan sangat senang kamu datang ke sini," Tante Rena menerawang. "Mudah-mudahan berikutnya kamu sering-sering datang, ya?"

Laura hanya tersenyum tipis. Dia tak bisa menjanjikan apa-apa. Dia tak mau menjanjikan apa pun juga.

"Setidaknya, tetaplah kontak dengan Aimee."

Lagi-lagi Laura cuma tersenyum kecil. Langit sudah gelap saat Laura memacu mobilnya kembali ke Jakarta.

Ada perasaan lega bercampur senang dalam batinnya setelah mengunjungi keluarga Tante Rena, membuatnya ikut menggumam kecil melantunkan nada lagu yang tengah terputar di radio.

Jam menunjukkan hampir pukul sebelas malam saat Laura memperlambat laju mobilnya untuk mengantri keluar pintu tol.

Saat itu ponselnya bergetar di kursi penumpang sebelahnya. Dia melirik ada satu pesan masuk dari Aimee. Laura melihat sekilas antrian mobil yang masih panjang di depannya dan membuka pesan itu.

"Ci Laura, terima kasih ya tadi sudah datang dan membawakan nasi ulam kesukaanku. Terima kasih juga karena Cici begitu perhatian, mendatangi kantor tempat dulu aku magang dan bertanya pada teman-temanku apa makanan kesukaanku.

Bahkan Cici sampai ke kosanku dan membeli nasi ulam di situ. Teman-temanku bingung dan bertanya padaku, 'Sepupumu baik dan perhatian sekali?'.

Dan aku menjawab mereka, buatku Ci Laura memang spesial. Semoga kita bisa bertemu lagi dalam waktu dekat ya, Ci. Selamat istirahat."

TIIINNN!!!

Klakson mobil yang terdengar begitu keras membuyarkan konsentrasi Laura. Dia baru menyadari ternyata antrean di depannya sudah kosong.

Laura mendorong persneling dan segera melewati pintu keluar tol. Namun, baru beberapa meter dia menyalakan lampu sein untuk menepi.

Tiba-tiba napasnya terasa sesak. Tiba-tiba dadanya terasa sakit. Tiba-tiba matanya terasa panas.

Laura menyalakan lampu hazard sambil terisak dan di dalam mobilnya dia diam- diam menangis.

~

JAGA MALAM [Wattys 2018 Winner]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang