10: Surat Dari Aimee

3.2K 496 20
                                    

Pertemuan Laura dan Aimee berakhir begitu saja sore itu di Ofra. Laura yang terkejut akhirnya menguasai diri dan berpamitan dengan singkat pada Aimee.

Dia bersikap seolah tak terjadi percakapan berat di antara mereka.

"Ehm," Laura berdeham setelah tercipta hening yang panjang di antara mereka. "Aku ... harus pergi sekarang. Semoga lancar persiapan ke Eropanya. Aku duluan ya."

Laura pergi begitu saja meninggalkan Aimee seperti seorang pengecut dan tak mendengar kabar apa pun lagi dari Aimee setelahnya. 

Laura hanya sesekali mendapat pesan-pesan dari Tante Rena yang menceritakan singkat tentang kesibukan Aimee.

"Hari ini Aimee ke Jakarta lagi, Lau, tapi pulang hari. Visanya sudah jadi. Mungkin dia ingin bertemu sebentar denganmu kalau kamu sempat."

Aimee tak menghubunginya sama sekali dan Laura pun tak mencoba mengontaknya.

"Aimee akan berangkat tanggal 18 September dini hari nanti ke Jerman. Apakah kamu punya waktu untuk menemuinya di bandara, Lau?"

"Maaf, Tante. Aku harus dinas," balas Laura singkat.

Pesan yang paling baru dari Tante Rena didapat Laura pagi ini saat dia tiba di rumah sakit, berisi kabar bahwa Aimee telah dua minggu tinggal di Jerman dan mulai beradaptasi.

"Nama kotanya Erfurt, sekitar dua setengah jam naik kereta dari Frankfurt. Aimee tinggal di asrama, mulai pandai mengurus diri sendiri. 

Memasak, mencuci baju, belanja. Sebentar lagi perkuliahan di mulai, dia sangat bersemangat, bahkan sudah mulai pergi ke perpustakaan dan membaca-baca. 

Ini nomor ponselnya yang baru di Jerman, barangkali kamu membutuhkannya."

Tante Rena membubuhkan sederet angka yang merupakan nomor telepon Aimee yang baru beserta sebuah foto Aimee yang berdiri di depan gedung bertuliskan Fachhochschule Erfurt. 

Laura tak bisa menjelaskan rasa ngilu di dadanya saat melihat wajah Aimee yang tersenyum di layar ponselnya. Dengan segera Laura menghapus foto itu.

"Dokter Laura?"

Ponsel di tangannya hampir terlempar karena Laura dikejutkan oleh sapaan Suster Gita. Laura mendengus. "Ya ampun, lain kali jangan membuat saya kaget seperti itu."

"Maaf, Dok. Tadi saya sudah mengetuk pintu. Saya cuma mau menyampaikan ada surat untuk Dokter," Suster Gita menghampiri Laura di mejanya dan menyodorkan sepucuk surat.

"Terima kasih, ya."

Suster Gita tersenyum dan pamit. Laura mengamati sepucuk surat beramplop putih dengan tempelan berwarna biru bertuliskan priority. 

Surat itu sedikit kotor dan kusut, pertanda telah mengalami perjalanan jauh dan berpindah-pindah. Tertulis nama Dr. Laura Sudibyo dari departemen bedah dengan alamat rumah sakit tempat Laura bekerja. 

Jantung Laura seolah mencelus saat dia membalikkan amplop tersebut dan melihat nama pengirimnya: Aimee Tandiono, Nordhäuser Straße 78, Erfurt 99089, Germany.

Laura menelan ludah. Tangannya sedikit gemetar ketika membuka amplop itu dengan hati-hati. Ditariknya keluar selembar surat yang terlipat rapi dengan tulisan tangan yang bagus.

"Ci Laura, apa kabar? Sejak pertemuan kita di kafe Ofra aku cukup disibukkan dengan berbagai persiapan untuk berangkat ke Jerman. 

Aku rasa Cici juga sibuk dengan kegiatan sehari-hari di rumah sakit. Itu sebabnya sudah lama kita tidak saling berkirim kabar. 

JAGA MALAM [Wattys 2018 Winner]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang