Bagian 4: BERTEMU DEWI ARUNA

543 52 0
                                    

Pendamping bergegas meninggalkan Rumah Sakit Bersalin Kasih Bunda. Bahkan nyaris berlari di tengah kebingungan menyelesaikan tugas yang sedang berlangsung. Selama ini, ratusan titah terbilang sukses dilaksanakannya dan nyaris tidak menemukan masalah dalam urusan transfer jiwa. Namun untuk kasus Dewa Balakosa, pengalaman maupun jam terbang Pendamping seakan-akan tidak berarti. Pendamping mulai dirundung kecemasan. Waktu pun terus mendesak seolah tidak mau peduli dengan permasalahan Pendamping.

Tiga jam tersisa tanpa rencana yang jelas merupakan pertanda buruk bagi karier seorang Pendamping. Sebab selama ini waktu paling lama tersisa untuk menitiskan jiwa anak dewa dalam sebuah rahim tidak pernah kurang dari tiga puluh jam.

"Ada apa, Dewa?" Pendamping bertanya pada Dewa Balakosa. Tidak ada jawaban. Pendamping terus berjalan tanpa tahu lagi arah langkah kaki menuju. Pikirannya buntu untuk diajak berembuk mengenai jalan keluar. Belum lagi detak jantung berpacu berkali lipat lebih cepat dari biasa. Peluh dingin membasahi busana. Sebentar-sebentar dalam langkah bergegas, Pendamping memperhatikan kedua telapak tangan. Wajahnya akan jadi bertambah pucat apabila kehilangan satu garis. Badannya bergetar hebat. Belum pernah ada catatan kegagalan dalam kamusnya. Dia adalah Pendamping terbaik. Dia selalu terobsesi membantu bayi dewa menemukan rahim untuk bersemayam.

"Pendamping." Tiba-tiba sebuah suara memanggilnya. Pendamping mengangkat kepala dari menekuri telapak tangan untuk mengetahui asal suara.

Sebuah pemandangan luar biasa indah terpampang di depan Pendamping. Dewi Aruna, Dewi tercantik dan teranggun di Kerajaan Surgaloka kini sedang berdiri di hadapannya. Senyum sang dewi tersungging. Aroma aneka bunga seketika menyerbak. Butiran debu kristal perak berkilauan bertebaran di sekitar tubuh Dewi Aruna yang dibalut busana kemben perempuan Jawa berwarna putih perak. Selendang senada terus melambai anggun tertiup angin. Mahkota perak bertengger di atas rambutnya yang berkilauan.

Pendamping bergegas membungkuk dan menundukkan pandangan. Pada saat yang sama, Pendamping baru menyadari lokasi tempatnya menapak terdapat akar pohon beringin besar menjalar hingga di bawah kaki Dewi Aruna yang tak menyentuh tanah.

Pendamping mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia tidak menemukan jalan kota yang dilaluinya tadi. Kini dia berada di tengah-tengah hutan belantara. Walaupun dipaksakan untuk mengingat kembali langkah sebelumnya, tetap dia tidak merasa yakin telah menuju ke sebuah hutan.

"Pendamping, aku yang membawamu kemari." Dewi Aruna seolah menjawab pertanyaan batin Pendamping. "Aku tidak mungkin memasuki dunia manusia segampang dirimu. Aku tidak mempunyai kemampuan itu. Di hutan inilah batas langkahku di dunia manusia. Aku yang telah membimbingmu kemari."

"Hamba siap menunggu perintah, Dewi."

"Aku titahkan padamu untuk mengantarkan Dewa Balakosa pada perempuan pertama yang kau temui."

Pendamping jelas terkejut dan ragu. "Tapi, Dewi, bukankah perempuan itu hilang ingatan? Apakah pantas Dewa Balakosa beribukan seorang perempuan gila?"

"Cobalah. Ini sudah garis nasib Dewa Balakosa. Kita harus merelakan dan hanya bisa berdoa untuk kebaikannya."

Pendamping mengangguk. Sebagai pesuruh dia tidak punya pilihan. Dia hendak bergegas melaksanakan perintah, tetapi langkahnya tertahan karena pikiran yang meragu. "Hamba tidak yakin, Dewi. Apakah waktu yang tersisa akan cukup mengantarkan hamba kembali menemui perempuan gila itu?"

Tiba-tiba Pendamping merasakan raganya terangkat sendiri ke udara. Dia menatap Dewi Aruna. Sang dewi merapal mantra dan mengembuskan bubuk berkilau perak pada sekujur tubuh Pendamping. Sesuatu yang sangat keras dan tajam dirasakan Pendamping menusuk punggungnya dari dalam. Dia berteriak keras menahan rasa sakit yang luar biasa. Kulit punggungnya koyak dan sesuatu keluar dari sana. Dua benda, di sisi punggung sebelah kiri dan kanan. Semacam cakar, bukan. Semacam ranting, juga bukan.

Pendamping tampak panik memandangi sesuatu dari punggungnya terus tumbuh. Semakin panjang, melebar, dan berbulu. Kini kedua benda itu mengepak beberapa kali menimbulkan suara menderu.

"Cepatlah, Pendamping! Waktumu tak banyak!"

Pendamping tersadar dari keterpukauan. Dia membungkukkan badan menghadap Dewi Aruna. "Baik, Dewi."

Pendamping mencoba mengendalikan sayap di punggung yang mempunyai lebar masing-masing mungkin lebih dari dua meter. Tenaga ambung sayap itu luar biasa, hanya tiga kali kepakan saja telah membumbungkan tubuh Pendamping menjauh dari daratan hingga beberapa depa. Sayap tersebut menjadikannya semacam elang raksasa. Dia bisa menukik, membumbung, jumpalitan, salto, atau apapun yang dimau di udara. Kalau saja tidak sedang mengemban tugas, dia pasti sedang menikmati atraksinya sendiri.

Akhirnya, Pendamping tiba di kediaman Surti. Kepakan sayapnya menguncup saat menjejakkan kaki ke tanah. Dia memasuki kamar Surti dan mendapatinya sedang berbaring telentang. Tanpa berpikir lagi, Pendamping segera mendekatkan gelembung Dewa Balakosa pada perempuan tersebut. Benar apa yang diutarakan Dewi Aruna, Dewa Balakosa mampu bersemayam dalam rahim perempuan itu. Pendamping melirik telapak tangannya, hanya tertinggal setengah garis lagi. Dia menghela napas lega.

Balakosa [Telah Terbit]Where stories live. Discover now