Bagian 8: PRIMADONA YANG KEHILANGAN PAMOR

426 45 0
                                    


Mungkin Diwangkara adalah pemuda tertampan di kelas X-3, sehingga auranya sukses menghipnotis dua puluh lima gadis di dalamnya yang tanpa komando memilih dia secara mutlak sebagai ketua kelas, mengalahkan delapan belas suara berjenis kelamin laki-laki yang terpecah-pecah memilih dua calon lain. Karisma Diwangkara tampaknya tidak berhenti di dalam kelas, lambat laun auranya menjalar ke kelas lain. Setelah kurang lebih empat bulan berjalan, semakin banyak gadis kelas tetangga yang bertandang ke kelas X-3.

Diwangkara merupakan pemuda ganteng yang unik. Dia pendiam dan suka sekali membaca buku. Tidak pernah terlihat bermain basket atau sepakbola seperti umumnya cowok keren yang dikenal Hasna. Dia juga tidak pernah ke kantin untuk mengisi perut, hanya keluar untuk ke perpustakaan atau ke ruang guru ketika dipanggil sebagai ketua kelas. Selebihnya, dia memilih berdiam di kelas ditemani buku tanpa memedulikan siapa pun. Dia sibuk dengan keasyikan soliter. Apalagi dia duduk sendiri tanpa teman sebangku. Hasna menilai Diwangkara lebih kurang bergaul dibandingkan dirinya. Tetapi tampaknya hal itu bukan masalah besar untuk Diwangkara.

Bukan hanya kaum hawa dari kelas sebelah yang seangkatan, kakak kelas juga banyak bermunculan di kelas mereka dengan alasan macam-macam, salah satunya untuk merekrut Diwangkara dalam kegiatan ekstrakurikuler. Diwangkara dengan sikap dingin menolak semua ajakan tersebut. Akan tetapi, kedatangan mereka tidak juga surut ke kelas X-3. Terkadang gadis-gadis itu hanya datang untuk mencuri pandang ke arah Diwangkara. Tidak ketinggalan, geng Tania yang awalnya merasa najis untuk satu kelas dengan Hasna malah menjadi rombongan paling rajin bertandang, nyaris setiap jam istirahat, ke kelas X-3.

Diwangkara telah membawa berkah buat Hasna, karena penindasan Tania berangsur-angsur berkurang. Selama kurang lebih empat bulan, Hasna harus ikhlas diguyur kuah bakso, dijiprati air genangan hujan, atau disemprot air mineral, bahkan pernah dikunci di kamar mandi sekolah. Semenjak Tania mengetahui keberadaan Diwangkara yang duduk persis di belakangnya, perlakuan tersebut pun tidak lagi sekerap biasanya.

"Hasna, gue boleh pinjam catatan Matematika, nggak?" Suatu kali Tania dan geng bertandang ke kelas Hasna sebelum pelajaran dimulai.

Hasna yang baru tiba di bangkunya termenung. "Catatan Matematika?"

"Iya, gue pinjem, ya." nada suara Tania terdengar sangat bersahabat.

Hasna menghela napas sambil melirik Diwangkara yang sudah datang lebih dulu. Sosok itu sedang membaca buku tebal berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Minggu lalu dia membaca Malcolm X: Afro-American Muslim Biografi. Semuanya biografi orang hebat yang juga dipunya ayahnya di ruang perpustakaan pribadi keluarga Hasna. Sebagai seorang penulis, ayah Hasna harus membaca banyak buku. Buku koleksi ayah Hasna terdiri dari berbagai genre. Fiksi, non fiksi, biografi, ensiklopedia, majalah, koran, kumpulan resep, hingga tafsir mimpi. Ayah perlu melahap semua bahan bacaan untuk mengisi tulisannya.

Hasna kembali melirik Tania. Hasna merasa keramahan Tania hanya sebuah kepalsuan yang ditujukan untuk menarik perhatian Diwangkara.

"Maaf Tania, bukannya aku ndak mau, tetapi hari ini kami idak belajar matematika. Jadi aku ndak bawa," jawab Hasna sekenanya.

"Kalau catatan lain gimana? Bahasa Inggris? Fisika?"

Hasna semakin yakin bahwa percakapan di antara mereka cuma sekedar basa-basi.

"Maaf nian, Tania. Bukan aku ndak mau meminjamkan.  Yakin nian awak butuh catatan itu?" 

Tania membulatkan matanya, "Ya iya lah, makanya gue pimjem!"

"Ndak ada, Tania." jawab Hasna datar.

Tania menatap Hasna dengan sorot kesal.

"Bukannya orang cantik ndak harus belajar?"

Pertanyaan Hasna membuat Tania makin berang. Bibirnya mengatup rapat dan tangannya memberi kode ancaman.

"Ya udah kalau elo keberatan meminjamkan catatan, gue pinjam sama Diwangkara aja!" seru Tania.

Akan tetapi, Diwangkara tak berkutik dari lembaran buku yang dibacanya.

"Diwaaang...," panggil Tania dengan suara manja.

Diwangkara mengangkat kepalanya.

Tania tersenyum sangat manis karena merasa berhasil menarik perhatian.

"Punya catatan yang bisa dipinjem, nggak?"

Diwangkara mengerutkan kening. Lalu kembali menekuri bukunya.

"Diwaaang."

Diwangkara mengangkat kembali kepalanya. Kini dia menatap tajam pada Tania. "Catatan apa?"

"Catatan pelajaran apa aja."

"Aku ndak punya catatan pelajaran apa aja," balas Diwangkara datar.

Wajah Tania berubah merah muda, "Gue Tania. Satu sekolah ini nggak ada yang nggak tahu siapa gue. Secara gue anak kepala sekolah."

"Lalu?" sahut Diwangkara acuh tak acuh.

"Bangga loh kalau catatan elo bisa dipinjam anak kepala sekolah."

"Sayangnya aku ndak pernah nyatet. Jadi, aku ndak punya catatan buat dipinjamkan sama anak kepala sekolah." ujar Diwangkara kembali memperhatikan bacaannya.

Wajah Tania bertambah merona.

"O, iya. Satu hal lagi, aku hanya tahu dengan kepala sekolah kita. Maaf nian kalau aku ndak tahu sama anak kepala sekolah," tambah Diwangkara.

Wajah Tania benar-benar berubah sewarna udang rebus. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulutnya.

Hasna menahan tawa.

Tania melirik ke arah Hasna dengan tatapan kesal. Gadis cantik itu menghentakkan kakinya sebelum meninggalkan ruang kelas X-3. Tiga kaki tangannya mengekor seperti anak ayam.

Sementara Diwangkara kembali asyik tenggelam dalam aksara. 

Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang