Bagian 13: PENGEMIS TUA

368 34 2
                                    

Pasar. Seringkali digandengkan dengan kata bebas dan acapkali dihubungkan dengan teori invisible hand kepunyaan Adam Smith. Mekanisme pasar disanjung sebagai mekanisme paling adil dan dinilai paling menghargai posisi konsumen. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu, kalau teori ini sebenarnya diadopsi dari Ibn Taimiyah, sarjana muslim yang menjabarkan teori Muhammad tentang harga dan pasar,

"Hindari banyak bersumpah (palsu) dalam berbisnis, sekalipun bisa terjual, tetapi akan menghapus keberkahan. Berlakulah jujur dan terbuka sebagai pedagang selanjutnya serahkan pada tangan Tuhan untuk menggiring pembeli ke barang niagaan kita."

Tangan tak terlihat Adam Smith merujuk pada tangan Tuhan yang akan membawa keberkahan ketika kita berdagang dengan memperhatikan moralitas berupa kejujuran dan transparansi. Nilai-nilai kebebasan yang diusung pasar menjadikan begitu banyak hal datang dan beredar. Tidak hanya tentang harga dan penawaran, bahkan wujud yang memeriahkan pasar. Sehingga, tidak bisa ditampik, tidak hanya manusia, makhluk setengah manusia, setengah setan, benar-benar iblis, perpaduan makhluk halus, setengah malaikat atau utuh malaikat akan mudah ditemui di dalam pasar. Mereka berseliweran, saling mendukung, saling mengganggu, atau saling tidak peduli satu sama lain. Semua bercampur membawa kepentingan masing-masing.

Dewa Balakosa dan Pendamping mendatangi pasar tradisional terbesar di Jambi, Pasar Angso Duo, untuk membelikan hadiah buat Wak Timah. Sepasang ayam kampung. Sebenarnya, Wak Timah yang tahu masalah harga di pasar. Si nenek pula yang tahu pedagang mana yang timbangannya benar dan pedagang mana yang timbangannya "dibenarkan". Nenek bahkan tahu preman mana yang jadi bosnya preman, atau orang-orang yang mengaku preman dan menakut-nakuti orang-orang yang baru datang ke pasar sebagai pedagang atau bahkan pembeli. Wak Timah punya banyak kenalan di pasar. Namun, Dewa Balakosa tidak ingin mengajak neneknya ke pasar, dia berencana memberikan sang nenek hadiah kejutan.

Dewa Balakosa menoleh ke belakang dan memperhatikan Pendamping yang matanya terus menelusuri los-los berjajar. Dia memperhatikan wajah Pendamping yang tiba-tiba memucat dan langsung menutup mulut menahan muntahan isi perutnya. Entah pemandangan apa yang berhasil didapatinya. Makhluk halus atau manusia asli yang bertingkah, Dewa Balakosa tidak sepenuhnya paham.

Reaksi Pendamping tampaknya tidak main-main. Dewa Balakosa memperhatikan sekitar Pendamping. Tidak ada pemandangan yang menakjubkan hingga membuat isi perut bergolak. Dewa Balakosa tidak sepenuhnya mampu melihat makhluk halus dengan mata telanjang. Terkadang ada makhluk halus yang bisa dilihat, terkadang tidak sama sekali mampu dilihat. Makhluk penyerang kebanyakan adalah sosok gaib yang mampu tertangkap panca inderanya. Dewa Balakosa kembali menelusuri pasar. Membiarkan Pendamping dengan kesibukannya sendiri karena dia meyakini makhluk yang dilihat Pendamping bukanlah makhluk berbahaya. Dewa Balakosa terus menelusuri pasar mencari kios pedagang ayam kampung. Menurut penjelasan Bang Japri kemarin saat memberikan gaji pertama Dewa Balakosa, kios pedagang ayam tidak jauh dari kios pedagang sayuran dan kios pejual bumbu-bumbu giling. Mata Dewa Balakosa liar mengedarkan pandang ke seisi pasar.

***

Pendamping mengekor Dewa Balakosa. Bagi Pendamping, pasar adalah tempat yang terlalu riuh. Kadang dia tak dapat membedakan antara manusia dan bukan manusia. Sesekali dia juga melihat pendamping mengekori manusia seperti yang dia lakukan.

Seorang pengemis tua duduk beralaskan koran di antara pedagang sayur dan telur. Dia menatap Pendamping. Pada awalnya Pendamping mengira orang tua itu buta tapi ternyata tidak karena dia langsung mencengkram kaki Pendamping. Pendamping terkejut luar biasa karena pengemis itu mampu melihat sekaligus menyentuh wujudnya.

"Hei!" teriak Pendamping.

"Aku hanya mampir, Pendamping. Aku tidak bisa lama. Kerajaan langit gonjang-ganjing akibat Dewi Aruna. Waspadalah dengan kedatangannya. Dia telah membunuh pengirim mantera. Aku hanya bisa memberimu ini." Lalu dia menyerahkan pada Pendamping sebutir kristal biru.

"Dewa Astula akan mengirimimu pesan melalui kristal itu," sambungnya lalu melepas cengkraman tangan di kaki Pendamping.

Tiba-tiba tubuh pengemis tua mengejang, menghentak-hentak beberapa kali seperti ayam habis kena sembelih. Pipinya tampak menggembung tidak beraturan, semakin membesar dan bergerak-gerak. Tubuhnya yang tadi menghentak-hentak kini menjadi kaku dan lehernya seolah tertarik ke arah atas. Mulutnya kini terbuka. Dia menganga lebar lalu mengeluarkan suara hoaaak yang menggelegar. Dia muntah, mengeluarkan isi perut yang berupa usus dan sejenisnya. Isi perut itu berwarna kemerahan dan beberapa bagian kehijauan bernanah. Dia lalu ambruk begitu saja, tampak tak bernyawa lagi. Darah segar bercampur busa kehijau-hijauan tersisa di pinggir bibir. Bau busuk langsung menyerbak. Pendamping lekas menutup hidung dan mulut, tetapi aroma itu terlalu busuk untuk diabaikan. Seketika Pendamping diserang rasa mual tak tertahankan. Pendamping pun muntah.

Tidak ada manusia lain yang peduli dengan keadaan Pengemis yang mati mengenaskan itu. Begitu pun Dewa Balakosa. Semua tampak sibuk dengan transaksi yang sedang berlangsung. Pendamping menyeka sisa muntah di pinggir bibir. Tubuh pengemis tua itu berangsur-angsur mengabur laksana kabut. Kabut yang berlahan-lahan sirna menjadi ketiadaan.

Pendamping merasa jantungnya untuk sesaat berhenti berdetak. Dia menelan ludah dan segera mengedarkan pandangan mencari Dewa Balakosa yang kini sudah tidak berada tepat di depannya. Pendamping melirik kristal biru di genggaman. Sebutir kristal yang diperkirakan menyimpan pesan Dewa Astula dari Surgaloka. Apakah pesan itu akan membicarakan Dewi Aruna? Nama itu terngiang kembali di pikiran Pendamping berbarengan dengan ditemukannya sosok Dewa Balakosa yang berjongkok di penjual ayam kampung, memandangi ayam-ayam di dalam kandang.

"Bang, aku jujur bae ndak paham soal ayam. Bisa Abang pilihkan ayam kampung sepasang paling bagus buat dipelihara?"

Penjual ayam mengangguk lalu memilihkan untuk Dewa Balakosa. "Ayam-ayam ini sehat-sehat semua. Bagus buat peliharaan."

"Dijamin ya, Bang. Kalau idak, aku kembalikan lagi ke sini."

"Dijamin. Sing penting situ jangan lupa kasih makan!"

"Kirain kayak Tamagotchi, ndak perlu dikasih makan, Bang."

"Siapa bilang? Tamagotchi malah harus dikasih makan!" protesnya sembari mengeluarkan sebuah benda bulat pipih dari kantung celana.

Otot-otot yang menonjol di lengan atas lelaki itu seolah tengah berteriak mempertontonkan kekekaran tubuhnya. Tampak dadanya naik turun di balik baju kaos yang penuh peluh. Binaragawan alami itu dengan bangga menunjukkan peliharaan virtual miliknya.

"Ginian wae musti mangan apalagi ayam kampung beneran, kan?!"

Dewa Balakosa tersenyum sambil mengacungkan jempol kiri, sementara tangan kanan meronggoh saku celana untuk mengeluarkan beberapa lembar rupiah dan diserahkan kepada si penjual ayam. "Aku beli ayamnya,Bang."

"Oke lah, Dek. Aku jual ayamnya."

"Makasih, Bang."

"Sama-sama."

Dewa Balakosa meraih dua ekor ayam dari si penjual lalu melenggang pulang ke rumah tanpa memperhatikan Pendamping yang terus mengenggam erat kristal biru pemberian pengemis tua yang barusan ditemuinya di pasar.

Balakosa [Telah Terbit]Where stories live. Discover now