Bagian 21: SINYAL-SINYAL PETUNJUK

306 28 2
                                    

Dewa Balakosa merasa tidak banyak informasi yang bisa diperoleh dari belajar kelompok bersama Hasna. Sebab tidak ada kesempatan untuk bertanya khusus pada Hasna menyangkut persoalan "Meniti Pelangi" sebagai misi awal mengikuti belajar kelompok bersama Hasna. Akan tetapi, Dewa Balakosa tidak menyesal telah menghabiskan waktu bersama ketiga gadis tersebut. Walaupun bisa dipastikan misi pentingnya gatot alias gagal total, banyak pengaruh positif dapat dia peroleh dari kelompok barunya itu. Paling tidak dia bisa mengenal Hasna lebih dekat. Gadis sederhana yang ternyata luar biasa cerdas. Cara berpikir gadis itu mengagumkan. Upaya untuk memahami bahan pelajaran dan memberikan penjelasan sangat menarik, bahkan terasa jauh lebih baik dari guru-guru di kelas. Selain Hasna, Dewa Balakosa juga menyukai kehangatan dan ketulusan persahabatan yang ditawarkan Fitri dan Maya. Dua karakter lain yang juga membawa pengaruh baik bagi Dewa Balakosa. Pola pikir kreatif Fitri tidak pernah lepas dari kacamata peluang usaha. Maya yang tomboy dan konsisten berprestasi dalam banyak cabang olahraga, memberi warna yang lebih bersinar dalam kelompok belajar tersebut.

Akan tetapi, misi adalah misi. Apalagi sebuah misi penyelamatan, harus tetap diperjuangkan untuk menuju hasil. Sesuai saran Pendamping, Dewa Balakosa melanjutkan pencarian informasi ke target berikutnya, Pak Alfian, ayah Hasna. Sebelum atau setelah belajar kelompok berlangsung, Dewa Balakosa selalu menyempatkan diri untuk mengobrol dengan penulis berusia 41 tahun itu. Seperti sore itu, di teras belakang yang langsung menghadap ke kolam.

"Bagaimana buku Meniti Pelangi-nya Bapak A.T Mahmud?" Pak Alfian membuka pembicaraan sambil menebar pelet. Ikan-ikan berwarna keemasan bergumul di atas air kolam saling berebut makan.

Dewa Balakosa mengangguk. "Bagus."

"Begitu saja."

"Iya."

Pak Alfian berhenti memberikan makan pada peliharaannya. Dia memenuhi Dewa Balakosa dengan tatapan penasaran yang hanya dibalas dengan senyum. Dewa Balakosa mengeluarkan buku Meniti Pelangi dari ransel. Diletakkan buku itu di atas meja di hadapan Pak Alfian.

"Mungkin saya berharap terlalu lebih pada buku ini sehingga saya lupa kalau ini hanya sebuah memoar."

"Oh, ya? Memang harapanmu seperti apa?"

"Saya pikir berbeda."

"Berbeda? Kira-kira seperti apa dalam bayanganmu?"

"Saya awalnya mengira buku ini bercerita tentang seseorang yang punya kekuatan super."

Pak Alfian tertawa. "Saya kira memang Pak A.T Mahmud merupakan salah satu orang super yang kita punya."

"Bukan, maksud saya semacam Superman, Hanoman, atau Gatot Kaca begitu. Orang mandraguna. Sakti. Berilmu."

"Lah Pak A.T Mahmud itu, ya, kayak Gatot kaca, Hanoman juga bisa, bahkan tidak kalah dengan Superman. Dia punya bakat. Dia sakti. Dia berilmu. Dia menciptakan begitu banyak lagu-lagu yang menyentuh dan itu dikenang sepanjang masa. Tidak banyak orang yang bisa berbuat seperti itu. Kecuali orang yang punya kekuatan super. Super sungguh-sungguh. Orang yang punya dedikasi tinggi pada mimpi-mimpinya."

"Maksud saya, super dalam arti harfiah dan eksplisit."

"Apa sih super sebenarnya?" Pak Alfian balik menanyai Dewa Balakosa.

Dewa Balakosa jadi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "Ya, extraordinary. Ya, bisa disebut juga tidak biasa. Luar biasa. Lebih dari yang lain. Istimewa."

"Nah!"

"Tapi, bukan itu yang saya cari, Pak."

"Lalu?"

"Saya tidak sedang mencari orang semacam A.T Mahmud, Michael Faraday, atau Einstein. Saya mencari seseorang yang benar-benar bisa membuat pelangi dan meniti pelangi itu secara nyata."

Pak Alfian terpaku. "Kenapa?"

Giliran Dewa Balakosa yang terpaku. Dia tidak mungkin jujur pada lelaki itu.

"Bukan seseorang yang kamu tanya kalau begitu," sahut Pak Alfian lagi.

Dewa Balakosa menghela napas. "Seandainya itu bukan Tuhan. Mungkinkah kita bisa menemukan orang yang memiliki kemampuan seperti itu? Bukankah dulu listrik juga tidak begitu saja diakui sebagai sesuatu yang bisa dihadirkan manusia? Dulu manusia juga dianggap tidak mungkin terbang seperti burung atau berbicara dari satu benua ke benua lain tanpa bertatap muka? Bukankah dulu segala sesuatu itu selalu dianggap berasal dari Tuhan semata. Tidak mungkin terwujud dengan tangan manusia?"

"Ya, pada akhirnya, kamu mencari orang yang semacam A.T Mahmud juga. Saya tidak tahu persis di mana menemukan orang yang mempunyai kekuatan menciptakan pelangi sekaligus menitinya seperti sebuah jembatan. Tetapi yang saya yakini adalah, orang-orang yang mampu mewujudkan sebuah mimpi, apalagi mimpi yang sangat aneh di mata manusia lain, maka dia adalah manusia super. Manusia istimewa. Mandraguna. Sakti. Digdaya. Seseorang yang tidak pernah berani main-main dengan mimpinya."

"Di mana saya bisa menemukan orang semacam itu, Pak?"

"Seharusnya di mana saja bisa. Karena orang-orang seperti itu akan lahir dari lingkungan mana pun."

"Jadi, saya harus memulai dari mana?"

"Dari mana? Sesungguhnya, secara ideal setiap orang itu mesti punya mimpi, sehingga setiap orang punya peluang untuk menjadi manusia super."

Ibu Hasna datang menyuguhkan dua cangkir teh dan sepiring kue cucur. Pak Alfian menawarkan teh yang tadi disuguhkan istrinya sebelum melanjutkan percakapan. "Menjadi pemimpi itu memang diharapkan ada pada diri setiap orang. Tetapi lagi-lagi, itu hanya sekedar harapan. Karena menjadi pemimpi sejati dan bukan sekedar pengkhayal itu bukanlah pekerjaan mudah. Itu hal berat. Butuh konsistensi. Keseriusan. Terutama sekali keyakinan pada setiap impian. Tidak semua orang mampu menjalani hidup mereka dengan cara yang melawan arus, menjadi berbeda atau bekerja berkali lipat dari orang lain untuk sesuatu yang masih mengawang-awang, ditentang orang, atau bahkan belum pernah dilakukan orang lain. Pemimpi sejati alias golongan superman ini adalah orang-orang yang telah teruji. Mumpuni. Mereka mampu menjadikan mimpi mereka sebagai senjata. Senjata yang mampu melucuti kesombongan. Membawa kedamaian. Membawa perubahan. Meyakinkan manusia lain tentang kehadiran Tuhan. Memberikan makna pada hidup dan kehidupan,"

"Tolong bantu saya, ini penting sekali buat saya, Pak. Saya harus memulai mencari dari mana?"

Pak Alfian terdiam sejenak, lalu menatap Dewa Balakosa lama. "Coba mulai dengan melihat dirimu, melihat teman-temanmu, atau orang-orang di sekelilingmu."

Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang